tirto.id - "Saya bersaksi, di sini kalau insya Allah saya menerima amanah rakyat Indonesia, saya akan bikin Indonesia berdiri di atas kaki kita sendiri. Kita tidak akan impor apa-apa saudara-saudara sekalian. Kita harus dan kita mampu swasembada pangan, mampu. Kita juga harus dan mampu swasembada energi, swasembada bahan bakar."
Pernyataan ini disampaikan Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02 saat acara Deklarasi Komando Ulama Pemenangan Prabowo-Sandi (Koppasandi) di Jakarta, pada Minggu (4/11/2018). Menurutnya, Indonesia mampu memenuhi semua kebutuhan rakyatnya tanpa harus impor.
Janji kampanye Prabowo ini menuai kritik. Pangkal soalnya, frasa "kita tidak akan impor apa-apa" dinilai terlalu mengada-ngada dan tidak masuk akal. Sampai saat ini, masih ada bahan pangan yang perlu diimpor karena komoditasnya tidak bisa dihasilkan di dalam negeri, seperti kedelai dan gandum.
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori menilai penyetopan impor secara total mustahil dilakukan. Dalam konteks era keterbukaan informasi, Khudori menyebut perlu ada pemikiran realistis yang mampu memahami bahwa pemerintah mana pun tidak akan bisa menghentikan kerja sama perdagangannya dengan negara lain.
Pernyataan Khudori selaras dengan data Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk gandum misalnya, BPS mencatat volume impor di sepanjang semester I 2018 sebesar 4,59 juta ton. Angka ini dilaporkan turun 15,45 persen (year-on-year). Sementara untuk nilainya sendiri turut menyusut sebesar 7,62 persen (year-on-year) dari 1,23 juta dolar AS menjadi 1,13 juta dolar AS.
Selain gandum, Indonesia juga tidak mungkin terlepas dari impor bahan bakar minyak (BBM). Ini mengingat antara produksi minyak mentah dan kebutuhan konsumsi BBM cukup timpang.
Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2018, konsumsi minyak dalam negeri meningkat tajam dari 1,56 juta barel per hari (bph) pada 2015 menjadi 1,65 juta bph pada 2017. Angka ini terasa jomplang lantaran SKK Migas mencatat produksi minyak dalam negeri pada 2015 hanya sebesar 786 ribu bph dan pada 2017 sebesar 801 ribu bph. Artinya, mau tidak mau, kekurangannya dipasok dari impor.
Swasembada Pangan Masih Mungkin
Kendati demikian, Khudori menyebutkan keinginan swasembada pangan masih mungkin dilakukan. Salah satu caranya dengan mengembangkan komoditas pengganti dari bahan pangan yang selama ini didapat dari impor.
Penulis buku Ironi Negeri Beras ini mencontohkan tepung mocaf yang dibuat dari ubi kayu. Menurutnya, apabila tepung terigu yang selama ini pasokannya dipenuhi impor bisa diganti dengan tepung mocaf, ketergantungan impor gandum dapat dikurangi. Namun bukan berarti, tepung terigu tidak impor sama sekali.
“Memang butuh waktu, keseriusan, dan kerja yang intens. Tapi dari pemerintah juga mesti ada kebijakan afirmatif kepada komoditas tersebut. Karena tanpa adanya intervensi, bagaimana perusahaan komoditas subtitusi ini bisa berkembang dalam menghadapi perusahaan tepung terigu yang sudah raksasa,” kata Khudori kepada reporter Tirto, Senin (5/11).
Selain insentif dan dorongan komoditas substitusi, Khudori menyebutkan, perlu ada dukungan untuk menggenjot produksi komoditas berbasis tropis yang jadi unggulan Indonesia. Namun, janji swasembada ini pun harus diiringi dengan sikap pemerintah yang konsisten.
Respons Tim Prabowo
Secara terpisah, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar menilai ada upaya untuk membelokkan inti dari pidato Prabowo.
"Jangan dipelintir pernyataan Pak Prabowo menjadi seolah-olah kita tidak perlu impor apa pun," kata Dahnil kepada reporter Tirto, pada Senin.
Menurut Dahnil, maksud pidato Prabowo adalah komoditas yang bisa diproduksi di dalam negeri tidak semestinya diikuti dengan impor komoditas yang sama. Ia menyebutkan perlu ada perhitungan lebih rinci supaya komoditas yang dihasilkan di dalam negeri bisa lebih unggul ketimbang komoditas yang diimpor.
Dahnil menjelaskan konteks pembicaraan Prabowo itu sejalan dengan fokus yang bakal diusungnya apabila terpilih menjadi presiden. Menurut Dahnil, Prabowo ingin merevitalisasi pertanian sehingga Indonesia bisa berdaulat atas komoditas pangan dan energinya.
Aktivis pemuda Muhammadiyah ini mengklaim Prabowo tidak akan berani berbicara demikian apabila tidak disertaidata penunjang. Ia pun mengaku telah mendengarkan penjelasan Prabowo secara rinci terkait dengan keinginannya untuk merevitalisasi sistem pertanian Indonesia.
"Komoditas yang bisa kita tanam di dalam negeri, seperti beras, enggak perlu impor. Apabila terpilih, dalam 100 hari pertama, beliau akan fokus pada perencanaan kedaulatan dan swasembada," kata Dahnil.
Dahnil berdalih Prabowo tidak mungkin menjelaskan seluruh pemikirannya itu dalam kampanye kemarin. Namun, Dahnil memastikan Prabowo bermaksud baik untuk memutus rantai impor pangan dan energi yang menimbulkan potensi rente.
Keinginan untuk swasembada ini sebenarnya tak hanya diimpikan Prabowo. Presiden Joko Widodo pun sempat berikrar ingin mencapai swasembada pangan, khususnya beras, di awal pemerintahannya. Akan tetapi target rupanya hanya tinggal target, mengingat pemerintah sampai saat ini masih mengimpor beras, jagung, kedelai, gula, garam, hingga BBM.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz