tirto.id - Inggit Garnasih merupakan istri kedua Soekarno. Dia dikenal sebagai salah satu sosok yang berjasa menemani sang proklamator di masa-masa sulit sebelum kemerdekaan.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengusulkan Ibu Inggit Garnasih agar mendapat gelar pahlawan nasional. Namanya pernah diajukan pada peringatan Hari Pahlawan 2008 dan 2012. Namun, lantaran kekurangan persyaratan, pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditunda.
Lalu, pada 2023, atas permintaan Megawati Soekarnoputri, perempuan yang pernah dinikahi oleh ayahnya itu kembali diusulkan menjadi pahlawan nasional. Sayangnya, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tertanggal 6 November 2023, Inggit dinyatakan tidak lolos untuk menerima gelar pahlawan nasional.
Lantas, apa perjuangan Inggit Garnasih sehingga namanya diusulkan beberapa kali sebagai pahlawan nasional? Sebelum beranjak ke pembahasan tersebut, artikel ini akan menjelaskan biografi Inggit Garnasih terlebih dahulu.
Biografi Inggit Garnasih
Inggit Garnasih lahir pada 17 Februari 1888 di Desa Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung. Ibu Inggit Garnasih bernama Amsi sedangkan ayahnya, Ardjipan.
Inggit Garnasih muda dikenal sebagai kembang desa sehingga banyak lelaki yang berusaha untuk mendekatinya, termasuk presiden pertama Indonesia, Soekarno. Lantas, apakah istri pertama Soekarno Inggit?
Inggit bukan istri pertama Soekarno. Sebelum menikah dengan sang proklamator, Inggit Garnasih sudah menikah dua kali.
Suami pertama Inggit Garnasih adalah patih di Kantor Residen Priangan bernama Nata Atmaja. Setelah bercerai, Inggit dipersunting oleh Haji Sanusi, pengusaha yang aktif di organisasi Sarekat Islam.
Awal mula pertemuan Inggit dengan Soekarno adalah ketika sang proklamator masih menjadi mahasiswa di Technische Hoogeschool te Bandoeng. Ketika itu, Inggit menjadi induk semang atau ibu kos yang menampung Sukarno.
Sebelum akhirnya menikah pada 24 Maret 1923, keduanya menjalani cinta terlarang lantaran masih memiliki pasangan masing-masing.
Pernikahan dua sejoli ini digelar setelah Soekarno bercerai dengan istri pertamanya, Siti Oetari. Di sisi lain, Inggit juga akhirnya bercerai dengan Haji Sanusi demi menikah dengan Soekarno.
Peran Inggit Garnasih cukup besar terutama dalam hal mendampingi suaminya yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Perempuan asal Bandung tersebut setia mendukung Sukarno selama masa penahanan dan pengasingan, termasuk ketika sang proklamator dibui di penjara Banceuy dan Sukamiskin, Bandung, serta selama pengasingannya di Ende, Flores, dan Bengkulu.
Akan tetapi, setelah melalui jalan terjal yang panjang perjuangan Inggit Garnasih untuk Soekarno, juga bangsa Indonesia, akhirnya usai. Pada pertengahan 1943, keduanya berpisah. Penyebabnya adalah Soekarno yang ingin melakukan poligami sedangkan Inggit tentu saja enggan.
Setelah resmi berpisah, Soekarno akhirnya menikahi remaja putri bernama Fatmawati yang ditemuinya semasa pengasingan di Bengkulu.
Ibu Inggit Garnasih wafat pada 13 April 1984, dalam usia 96 tahun, setelah memberikan pengampunan kepada Sukarno dan Fatmawati. Lantas bagaimana perjuangan Inggit Garnasih semasa hidupnya?
Perjuangan Inggit Ganarsih
Perjuangan Inggit Garnasih banyak dilakukan ketika dirinya masih menjadi istri Soekarno, selama lebih kurang 20 tahun (1923-1943).
Peran Inggit Garnasih sangat besar bagi perjuangan nasional Indonesia, terutama melalui dukungannya terhadap Bung Karno. Meskipun perannya tidak terlihat secara langsung dalam aktivitas politik formal, Inggit selalu mendukung Bung Karno selama masa-masa sulit perjuangan.
Mengutip makalah seminar nasional “Perjuangan Ibu Inggit Garnasih” (2008) oleh Mumuh Muhsin Z., untuk mengetahui perjuangan Inggit Garnasih bagi negeri, cukup dengan mengetahui apa kontribusi yang telah diberikan Bung Karno. Sebab, dalam setiap kiprah Bung Karno selalu ada andil besar Ibu Inggit Garnasih.
Sebagai istri Bung Karno, Inggit tidak hanya menjadi pendamping emosional melainkan juga material. Ia membuka rumahnya sebagai tempat berkumpulnya para mahasiswa dan pemuda yang terlibat dalam perjuangan, termasuk ketika PNI dibentuk. Inggit rela menyediakan ruang, makanan, dan minuman, untuk mendukung diskusi dan perencanaan aksi politik.
Inggit juga turut serta dalam aktivitas ekonomi untuk menghidupi keluarga dan membiayai perjuangan. Dengan berbagai keterbatasan, ia menjahit baju, membuat kutang, jamu, rokok, bahkan menjadi agen sabun dan cangkul. Seluruh usaha ini dilakukannya agar Bung Karno dapat fokus pada perjuangan politik, termasuk menyelesaikan studinya.
Ketika Bung Karno ditahan dan diasingkan, dia tetap setia mendukung. Peran Inggit Garnasih banyak berkaitan dengan dukungan moral juga ekonomi. Saat Soekarno dalam tahanan, tak jarang Inggit datang menjenguk lalu menyelipkan uang di dalam bekal makanan, tidak lain untuk membantu Bung Karno mendapatkan "hak istimewa" sebagai tahanan.
Selama diasingkan di Ende, Flores, Inggit terus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mendukung perjuangan sang suami. Bahkan, ketika Bung Karno membutuhkan buku bacaan demi menunjang perjuangan bangsa, Inggit dengan kreativitasnya mencari cara untuk mendapatkan uang.
Peran Inggit Garnasih tidak hanya menjadi pendamping dan penyokong Bung Karno dalam perjuangan politik, melainkan juga tulang punggung keluarga. Perannya sebagai penjahit, agen, dan pengumpul dana, merupakan kontribusi nyata dalam perjalanan panjang perjuangan Indonesia prakemerdekaan.
Terhadap perjuangan Inggit Garnasih, Bung Karno mengakui bahwa dirinya telah berutang budi sangat besar. Sang proklamator menyatakan, itu adalah utang budi yang tak akan terlunaskan seumur hidupnya. Tercatat tidak kurang dari tiga kali Bung Karno mengakui hal tersebut di depan umum.
Pertama, pada 3 Desember 1931, dalam suatu acara penyambutan kebebasannya dari penjara Sukamiskin. Kedua, pada 2 Januari 1932, dalam Rapat Kongres Indonesia Raya di Surabaya. Ketiga, di dalam autobiografinya.
Bung Karno menyatakan bahwa Ibu Inggit Garnasih merupakan tulang punggung sekaligus tangan kanannya yang setia selama separuh usianya. "Selama ini kau djadi tulang punggungku dan menjadi tangan kananku selama separo umurku," Bung Karno mengungkapkan penghargaannya kepada Inggit Garnasih, sebagaimana disampaikan kepada Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1996).
Pernyataan terima kasih ini bukanlah sekadar kata-kata hiasan atau omong kosong. Tito Asmara Hadi dalam buku Fajar Yang Luka (2000) menyebut, peran Inggit Garnasih sangat signifikan dalam mengelola rumah tangga, sebuah tugas yang tidak ringan, terlebih ketika saat itu Bung Karno tidak memiliki waktu untuk mencari nafkah, apalagi membiayai perjuangannya.
Apakah Soekarno dan Inggit Punya Anak?
Soekarno dan Inggit Garnasih tidak memiliki keturunan dari darah daging mereka sendiri. Akibat dari ketidakmampuan Inggit untuk melahirkan, Soekarno menceraikannya pada 1942. Alasan perceraian ini didorong oleh keinginan Soekarno memiliki anak kandung.
Meski demikian, dilansir dari Jurnal Sajaratun Pendidikan Sejarah Universitas Flores Vol. 4, No. 01 (2020), Soekarno dan Inggit memiliki dua anak angkat, yaitu Ratna Djuami dan Kartika. Ratna Djoeami diadopsi pada Juni 1923 ketika masih bayi.
Walaupun selama 20 tahun menjalin hubungan rumah tangga dan tidak dikaruniai anak, Inggit menjalani peran ibu angkat dengan penuh kasih sayang terhadap kedua anaknya.
Begitu juga timbal balik sang anak kepada Inggit. Ketika terpaksa merelakan Soekarno menikahi Fatmawati, anak Inggit Garnasih, Ratna Djoeami dan menantunya, Asmara Hadi, selalu menemani dan menguatkan mentalnya.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin