Menuju konten utama

Biografi Raden Ayu Lasminingrat dan Jejak Perjuangannya

Raden Ayu Lasminingrat merupakan tokoh perempuan asal Jawa Barat yang pernah diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Biografi Raden Ayu Lasminingrat dan Jejak Perjuangannya
Foto Raden Ayu Lasminingrat. (FOTO/budaya.jogjaprov.go.id)

tirto.id - Kesusastraan Sunda, yang saat ini sudah menjadi mata pelajaran di beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jawa Barat, merupakan hasil buah pikiran Raden Ayu Lasminingrat.

Peran sebagai salah satu pelopor kesusastraan Sunda itulah yang membuat pemerintah daerah Jawa Barat mengusulkan nama Ayu Lasminingrat agar mendapat gelar pahlawan nasional. Selain itu, ia memiliki andil besar dalam mengembangkan pendidikan perempuan di Indonesia.

Raden Ayu Lasminingrat diusulkan untuk diberi gelar pahlawan nasional pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2023. Akan tetapi, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023 tertanggal 6 November 2023, Raden Ayu Lasminingrat dinyatakan belum lolos.

Lantas, siapa itu Raden Ayu Lasminingrat yang sempat diusulkan memperoleh gelar pahlawan nasional? Untuk mengetahuinya lebih lanjut simak profil lengkap Raden Ayu Lasminingrat berikut.

Latar Belakang Keluarga Raden Ayu Lasminingrat

Raden Ayu Lasminingrat merupakan putri dari pasangan Raden Haji Muhammad Musa dan Raden Ajoe Rija (istri ketiga). Raden Ayu Lasminingrat memiliki tiga adik perempuan yakni Raden Ayu Ratnaningrum, Nyi Raden Peorbakoeseomah, dan Raden Ajoe Lenggang Kencana.

Lantas, Raden Ayu Lasminingrat lahir pada tanggal berapa? Tanggal lahir Raden Ayu Lasminingrat adalah 29 Maret 1854. Perempuan kelahiran Garut ini nantinya dinikahkan sebagai istri kedua Bupati Garut Raden Djenon (Raden Adipati Aria Wiratanoedatar VII), setelah suami pertamanya, Raden Tamtoe Somadiningrat, meninggal.

Raden Ayu Lasminingrat termasuk keturunan keluarga ningrat. Raden Haji Muhammad Musa, ayahnya, merupakan anak dari seorang Patih Kabupaten Limbangan. Dari garis sang ibu, Ayu Lasmi tercatat sebagai keturunan Dalem Wiratanoedatar II, Bupati Cianjur.

Deddy Effendy dalam buku Raden Ajoe Lasminingrat 1843-1948, Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia (2011) menjelaskan, sejak kecil, ayah R.A. Lasminingrat sudah pergi ke Mekkah untuk mempelajari agama Islam. Oleh karenanya, pada 1853, Raden Haji Muhammad Musa diangkat menjadi Hoofd (Penghulu atau Kepala Penghulu di Kabupaten Limbangan).

Ayah Raden Ayu Lasminingrat juga dikenal sebagai pelopor sastra cetak dan cendekiawan Sunda. Dia bersahabat dengan orang Belanda bernama Karel Frederick Holle, pemilik perkebunan Teh Waspada di Cikajang, serta pejabat Departemen, van Binnenlandsch Levyssohn Norman.

Dari relasi persahabatan tersebut, Raden Haji Muhammad Musa memiliki perhatian khusus pada bidang pertanian dan pendidikan di Kabupaten Garut. Ayahnya dan kedua sahabatnya tersebut pun berpengaruh kuat dalam pertumbuhan Raden Ayu Lasminingrat.

Meski berasal dari keluarga bangsawan, Raden Ayu Lasminingrat tidak mengenyam pendidikan bangku sekolah, sebab kala itu di Garut belum ada sekolah khusus wanita. Oleh ayahnya, pendidikan Raden Ayu Lasminingrat diserahkan kepada kawannya yakni Levyssohn Norman.

Lasminingrat dibawa ke Kabupaten Sumedang untuk belajar bersama putri-putri priyayi lainnya. Tinggal bersama Norman, Lasminingrat belajar berbahasa Belanda dan pendidikan ala Barat.

Oleh karena itu, bisa dibilang Norman punya peran besar dalam pendidikan Raden Ayu Lasminingrat. Berkat dia, Lasminingrat menjadi perempuan Indonesia pertama yang mahir dalam menulis dan membaca bahasa Belanda. Lantas, dengan bekal pendidikan tersebut, apa jasa-jasa Raden Ayu Lasminingrat?

Jasa dan Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat

Jasa dan perjuangan Raden Ayu Lasminingrat setidaknya mulai banyak terlihat ketika suami pertamanya meninggal dunia. Kala itu, dia akhirnya kembali lagi ke tanah kelahirannya, Garut, untuk bekerja bersama saudara dan ayahnya. Lalu, apa pekerjaan Raden Ayu Lasminingrat?

Sekembalinya ke Garut, Raden Ayu Lasminingrat melakukan pekerjaan seperti ayah dan saudaranya, Kartawinata dan Lenggang Kencana, yakni menerjemahkan buku-buku bacaan anak-anak sekolah. Di sisi lain, untuk menghilangkan kegundahan hati setelah ditinggal suaminya, Lasminingrat menyibukkan diri dengan membaca dan menulis.

Beruntung, sang ayah bersahabat dengan Holle yang dapat membantu mendapatkan buku bacaan untuk Lasminingrat dan saudaranya yang melek huruf Belanda (latin). Dari Holle pula mereka belajar mengarang dan menerjemahkan buku-buku yang bagus dalam bahasa Sunda.

Bersamaan dengan itu, gagasan pendidikan bagi kaum perempuan pun mulai tumbuh di kepala Lasminingrat. Namun, semangat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agak tersendat setelah ayahnya menikahkannya dengan Raden Djenon (Raden Adipati Aria Wiratanoedatar VII), yang kala itu tengah dicalonkan sebagai bupati Garut.

Akan tetapi, perjuangan Raden Ayu Lasminingrat tidak terhenti. Dia tetap berupaya mengembangkan pendidikan perempuan di Indonesia. Lasminingrat memulainya dengan memberikan dukungan khusus atas berdirinya Sekolah Istri Dewi Sartika di Bandung.

Pada 1904, sekolah rintisan Dewi Sartika itu berdiri dengan bantuan, dorongan, dan sumbangan pemikiran Raden Ayu Lasminingrat. Ia meminta kepada suaminya untuk menyampaikan saran kepada Bupati Bandung agar menyetujui pendirian sekolah tersebut.

Perjuangan Raden Ayu Lasminingrat dalam mendukung pendirian Sekolah Keutamaan Istri tidak hanya mencakup aspek perizinan, tetapi juga perlindungan terhadap gagasan dan cita-cita Dewi Sartika. Bupati Bandung, Raden Martanagara, bersedia membantu dan mendukung gagasan Dewi Sartika, dan sekolah ini akhirnya berhasil didirikan pada 16 Januari 1904.

Jasa-jasa Raden Ayu Lasminingrat tidak cuman soal itu. Pada 1907, ia juga mendirikan Sekolah Keutamaan Istri di Garut. Sekolah ini didirikan untuk mendidik perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk keterampilan soal rumah tangga.

Meskipun menghadapi tantangan dari tradisi yang tidak mendukung pendidikan perempuan, Raden Ayu Lasminingrat berhasil membuka sekolah ini dengan dukungan suaminya sebagai Bupati Garut.

Pendidikan yang diberikan di Sekolah Keutamaan Istri mencakup pembelajaran menulis, membaca, dan keterampilan perempuan seperti menjahit, menyulam, merenda, dan berbagai kerajinan tangan. Pada 1911, sekolah ini diakui oleh pemerintah Hindia Belanda, lalu berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi.

Sekolah rintisan Lasminingrat itu pun terus berkembang hingga kota-kota lain. Hingga akhirnya, pemerintah Hindia Belanda memberikan penghargaan Raden Ayu Lasminingrat yakni bintang mas atau gouden ster atas jasanya.

Peran aktifnya dalam menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Sunda dan mengenalkan budaya internasional kepada anak-anak Indonesia berpengaruh signifikan terhadap kemajuan pendidikan perempuan di Indonesia. Konsistensi perjuangan Raden Ayu Lasminingrat di bidang pendidikan juga diperlihatkan saat terjadi peristiwa Bandung Lautan Api.

Kala itu, Lasminingrat, yang terpaksa harus mengungsi ke Waspojok Bayongbong, tidak hanya diam berpangku tangan. Di pengungsian, dia bergaul dengan masyarakat setempat, mendidik anak-anak, dan mengajar mengaji di masjid.

Setelah tinggal cukup lama di pengungsian, Raden Ayu Lasminingrat mengalami sakit dan harus ditandu untuk dibawa pulang ke Garut. Hingga akhirnya pada 10 April 1948, perempuan berhati baja dan berjiwa mulia itu berpulang menghadap Yang Maha Kuasa.

Buah Pemikiran Raden Ayu Lasminingrat

Buah pemikiran Raden Ayu Lasminingrat banyak tertuang dalam karya sastra Sunda yang ditulis atau diterjemahkannya. Karya-karyanya tersebut memiliki dampak signifikan bagi masyarakat.

Masih berdasarkan buku Raden Ajoe Lasminingrat 1843-1948, Perempuan Intelektual Pertama di Indonesia (2011), Raden Ayu Lasminingrat merupakan perempuan Sunda pertama yang menonjol dalam bidang sastra.

Buku Carita Erman dan Warnasari Jilid I, II menjadi salah satu buah pemikiran Raden Ayu Lasminingrat. Buku-buku itu mencerminkan adaptasi cerdas terhadap lingkungan dan budaya setempat.

Pada 1875, Lasminingrat menerbitkan Tjarita Erman. Itu menjadi buku bacaan pertama untuk anak-anak sekolah dengan tiras mencapai 6105 eksemplar. Buku ini ditulis dalam aksara Jawa dan Latin, dan mengalami cetak ulang pada 1911. Selanjutnya, M.S. Cakrabangsa menerjemahkannya ke dalam bahasa Melayu pada 1919, dengan cetakan ke-2 dan 3 muncul pada 1930.

Dalam Carita Erman, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Indonesia, mencakup 15 pasal atau bab yang membahas berbagai aspek kehidupan, mulai dari Hikajat Erman hingga pengalaman perjalanan petapa. Isinya merangkum nilai-nilai moral, kebijaksanaan, dan keindahan alam, menunjukkan kedalaman pemikiran Raden Ayu Lasminingrat dalam mengeksplorasi berbagai aspek kehidupan melalui sastra.

Berkat jasa-jasa Raden Ayu Lasminingrat, kesusastraan Sunda tumbuh di masyarakat Sunda dan mengalami evolusi secara terus menerus dari masa ke masa. Sastra Sunda dipengaruhi oleh berbagai elemen dari luar, termasuk Hindu-Buddha, Islam, Jawa, dan Eropa, terutama Belanda.

Baca juga artikel terkait HARI PAHLAWAN atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin