tirto.id - Sekitar 20 tahun lalu, saat masih duduk di bangku SMA, saya dan teman-teman sekelas diberi tugas oleh guru mata pelajaran bahasa Sunda untuk berbincang dengannya dalam bahasa Sunda lewat sambungan telepon.
Kami diberi waktu seminggu untuk melakukan satu kali saja sambungan telepon. Kecuali seorang teman, sisanya tidak ada satupun siswa (termasuk saya) yang melakukan tugas tersebut dengan beragam dalih.
Saat bersemuka lagi di dalam kelas, guru kami sangat marah. Ia khawatir bahasa Sunda terancam eksistensinya karena kami, yang ia sebut generasi muda, enggan mempelajarinya.
Dalam kegusarannya, ia menyelipkan satu pendapat: bahasa Sunda merupakan salah satu bahasa daerah di Nusantara yang cukup unik.
Guru kami menambahkan, selayaknya bahasa Prancis atau bahasa Slovak, bahasa Sunda memiliki huruf "é" (e taling atau dalam bahasa Sunda disebut e curek) untuk mendampingi "e" (biasa) dan "eu" dalam tata bahasanya.
Menurutnya, bahasa Sunda lebih lugas dalam memanipulasi alfabet latin untuk mewakili suara (vokal) dibanding bahasa-bahasa lain yang ada di Indonesia. Hal ini melekat dalam bahasa Sunda atas andil Pemerintah Kolonial Belanda.
Prasangka Awal
"Etnisitas, ditentukan oleh bahasa," tulis Mikihiro Moriyama, peraih gelar PhD dari Universiteit Leiden melalui disertasinya tentang bahasa Sunda, dalam "Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java" (Southeast Asian Studies, Vol. 34 1996).
Bahasa mendefinisikan budaya serta nilai-nilai kehidupan dari suatu etnis yang direpresentasikannya. Maka ketika suatu etnis tak memiliki bahasa sendiri, etnis tersebut lebih pas dianggap sebagai sub atau cabang dari etnis yang lebih besar yang ditandai dengan kepemilikan bahasa sendiri.
Orang Sunda, orang-orang yang mendiami sisi barat Pulau Jawa, "paham dengan definisi tersebut," tulis Moriyama.
Jauh sebelum Belanda tiba di Nusantara, lewat bahasa yang dimilikinya, orang-orang Sunda merasa berbeda dengan etnis-etnis lain. Perasaan berbeda ini dipertegas dengan sejumlah bukti sejarah.
Lewat karya sastra berjudul Bujangga Manik dan Carita Parahiyangan, misalnya, perasaan berbeda ini didukung oleh keberadaan "bahasa Sunda Lama" yang lahir selain atas kecakapan sendiri, juga dipengaruhi bahasa Jawa Lama, bahasa Kawi, yang berbeda dengan bahasa Jawa modern saat ini.
Dan terinspirasi huruf Palawa dari India, bahasa Sunda Lama memiliki respresentasi tulisan tersendiri--berbeda dengan tulisan Jawa maupun huruf Arab--sejak abad ke-16.
Namun, sebelum Belanda tiba, perasaan berbeda ini tak begitu kuat terpatri dalam benak orang Sunda. Menurut Moriyama, hal ini kemungkinan terjadi karena masyarakat Sunda terbagi dalam dua strata yang berbeda, yakni para aristokrat dan kalangan umum perdesaan.
Sejak pertengahan abad ke-18, aristokrat Sunda terkagum-kagum dengan pemanfaatan bahasa Jawa oleh tetangga mereka di Jawa dalam ruang-ruang resmi pemerintahan, terutama di pengadilan dan istana.
Karena menganggap bahasa Jawa lebih baik, aristokrat Sunda menginisiasi "involusi budaya", menyematkan sangat banyak kosakata dan tata bahasa Jawa dalam bahasa Sunda.
Akhirnya, selain bahasa Jawa umum digunakan untuk berinteraksi di Tanah Pasundan, lahir juga "bahasa Sunda Baru" serta varian lain bahasa Jawa yang dituturkan orang Sunda bernama "Jawareh" (Jawa Sawareh) alias "Setengah Jawa". Bahasa ini mendampingi aksara Arab (pegon) yang kemudian menjadi sangat populer dimanfaatkan untuk berinteraksi dalam bentuk tulisan--andil dari popularitas Islam.
Involusi budaya ini membuat Belanda dan orang-orang Barat lainnya menganggap Sunda (baik orang maupun bahasanya) sebagai sub etnis Jawa.
Lewat "A Comparative Vocabulary of the Malayu, Javan, Madurese, Bali, and Lampung Language" yang termuat sebagai lampiran buku The History of Java (1817), misalnya, Thomas Stanford Raffles memasukkan Sunda dalam kolom Jawa karena meyakini bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa.
Sementara oleh Belanda, bahasa Sunda diyakini sebagai dialek pergunungan dari "bergjavanen" atau orang-orang Jawa yang tinggal di daerah pergunungan.
Menurut Moriyama dalam studinya yang lain, "Language Policy in the Dutch Colony" (Southeast Asian Studies, Vol. 32 1995), kala Belanda menguasai Tatar Priangan, keyakinan bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa diimplementasikan oleh Belanda dalam dunia pendidikan.
Saat Belanda membangun sekolah bagi masyarakat di pelbagai daerah di Pulau Jawa demi memproduksi pejabat-pejabat daerah melalui Keputusan Kerajaan 1848, bahasa Sunda tidak diikutkan sebagai mata pelajaran.
Semangat Baru
Beberapa tahun kemudian, berlandaskan "grondslagenbesluit inderwijs" atau Ketetapan dalam Prinsip-Prinsip Pendidikan yang dikeluarkan Belanda, yang meminta dunia pendidikan--salah satunya--menomorsatukan bahasa ibu, akhirnya bahasa Sunda diperkenalkan dalam ruang-ruang kelas di Jawa Barat.
Terlebih, diprakarsai kerja akademik yang dilakukan Andries de Wilde, bahasa Sunda atau "de Soundasche" dibuktikan berbeda atau independen sebagai bahasa.
Namun, dalam kerja akademik itu pula bahasa Sunda disebut "umumnya memanfaatkan huruf Jawa dalam berkirim surat (tulisan), dan untuk sebagian kalangan, khususnya pemuka agama, memanfaatkan huruf Arab."
Akibatnya, meskipun akhirnya bahasa Sunda diajarkan, huruf Jawa dan Arab (pegon) dipilih untuk merepresentasikan bahasa ini secara tulisan. Tercetak dalam 180.000 kopi dari 62 judul buku yang diedarkan Belanda untuk mendidik masyarakat Sunda berbahasa Sunda.
Pada 1861, dipaparkan Moriyama dalam disertasinya berjudul "Sundanese in Aksara Walanda" (Universiteit Leiden, 2003), bos perkebunan teh cum Penasihat Pemerintah Kolonial di bidang Hubungan Masyarakat bernama K. F. Holle, ditunjuk Pemerintah Kolonial untuk melipatgandakan jumlah buku berbahasa Sunda dengan modal sebesar 1200 gulden.
Bersama temannya seorang pribumi, Moehamad Moesa, tugas tersebut berhasil dijalankan dengan cepat sehingga buku berbahasa Sunda bertambah banyak.
Namun, pada buku-buku bahasa Sunda ciptaan Holle, huruf Arab atau aksara Pegon dihapus, digantikan dengan huruf Jawa dan huruf latin atau "aksara Walanda." Keputusan ini diambil Holle karena ia merasa huruf Arab, atas konotasinya dengan Islam, berbahaya bagi Belanda.
Menurut Moriyama, keputusannya untuk mengganti huruf Arab dengan huruf latin dilakukan karena "huruf ini diasosiasikan dengan modernitas serta pencerahan."
Yang unik, dalam buku-buku berbahasa Sunda versi pertama yang diadakan/dicetak Holle, buku-buku tak dicetak berbeda, satu versi berhuruf Jawa dan satunya lagi berhuruf Latin. Melainkan buku dicetak dalam "dwi-huruf" Jawa dan Latin.
Hal ini membuat Pemerintah Belanda marah karena ongkos produksi menjadi tinggi. Akhirnya, saat Holle kembali ditunjuk untuk mengurusi pengadaan buku berbahasa Sunda, huruf Jawa ditanggalkan.
Keputusan ini dipengaruhi riset mutakhir yang dilakukan Belanda soal bahasa Sunda serta tuntutan sejumlah cendekiawan Sunda. Holle percaya bahwa bahasa Sunda, tatkala diimplementasikan dalam bentuk tulisan, tak dapat diwadahi dengan baik dan lugas oleh huruf Jawa.
Sebagai contoh, Holle berpendapat dalam risetnya berjudul Kitab Cacarakan Sunda, tentang vokal "é".
Pada 1912, dengan diterbitkannya Palanggeran Noelisken Basa Soenda koe Aksara Walanda oleh Commissie voor de Inlandsche School-en Volkslectuur, pendapat Holle dinaikkan statusnya menjadi aturan hukum. Alfabet Latin, dengan tambahan fonem dan ragam aturan lain, akhirnya sah menikah dengan bahasa Sunda.
Editor: Irfan Teguh Pribadi