tirto.id - “Malah abdi mantri guru/dikukut basa keur leutik/dilebetkeun ka sakola/saban sasih nampi gajih/pasihan ti Kangjeng Holla/abdi nuhun laksa keti."
Sebait guguritan Sunda itu dibacakan oleh anak-anak sekolah Sunda saat peresmian Tugu Tuan Holla di alun-alun Garut, 29 Oktober 1899. Baris-barisnya menggambarkan rasa terima kasih kepada Holla atas jasanya menyekolahkan seorang guru sedari kecil.
Jika nama seseorang diabadikan menjadi sebuah nama dari tugu peringatan di alun-alun, tentu orang itu bukan orang sembarangan. Siapakah si Tuan Holla yang disanjung itu?
Holla sebenarnya adalah cara orang Sunda, khususnya orang Garut, menyebut Holle. Nama lengkapnya adalah Karel Frederik Holle. Ia seorang juragan teh kelahiran Amsterdam, Belanda. Lahir pada 1829, ia dijuluki "friend of the native" oleh Emilius Hubertus Kerkhoven, penyusun Kerkhoven, A History of Our Family — buku sejarah dinasti pengusaha perkebunan teh besar di Priangan Timur.
Dibandingkan orang-orang Belanda pada umumnya di masa itu, Karel Holle memang dikenal sangat dekat dengan orang-orang bumiputra. Ia bahkan tak segan berpakaian layaknya orang Sunda kebanyakan. Terlebih, ia dikenal bersahabat kental dengan Haji Muhamad Musa, seorang penghulu lokal dan penulis Sunda terkemuka.
Holle pertama kali menginjakkan kaki di pulau Jawa pada 1843. Mulanya, ia bekerja sebagai pegawai pemerintah kolonial. Lepas sepuluh tahun berdinas, ia memutuskan pensiun dini dan membuka Perkebunan Teh Waspada di Cikajang, Garut. Berkelindan dengan bisnis, ia sekaligus menyalurkan minat besarnya akan kebudayaan Sunda.
Patron Literasi Sunda
Karel Holle memulai petualangan literernya sebagai kolektor naskah Sunda. Seperti keterangan dosen Program Studi Asia Universitas Nanzan, Jepang, Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 (2013), sebagian besar koleksi Holle adalah naskah beraksara Arab pegon.
Latar belakangnya sebagai kolektor serta persahabatannya dengan Haji Musa membuka jalan baginya untuk mengembangkan minat pada kebudayaan literer Sunda yang kaya.
Tuan Holla, sebagaimana sapaan orang-orang Sunda di sekitarnya, kemudian menginisiasi usaha penerbitan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian. Ia bahkan sudah mulai merintisnya sejak masih berdinas di pemerintahan kolonial.
"Karel Frederik Holle mulai mendukung pendidikan masyarakat Sunda setelah 1851, ketika ia dan saudaranya Andriaan Walraven Holle menerbitkan buku fabel. Sampai 1880-an ia berperan penting dalam produksi buku-buku berbahasa Sunda oleh penulis-penulis Sunda," tulis Moriyama (hlm. 119).
Fabel itu — berjudul Tjarita koera-koera djeng monjet — kemudian dianggap sebagai pelopor buku pegangan siswa di Jawa Barat. Disusun dalam bahasa Sunda sehari-hari yang sederhana, fabel itu lantas beredar di sekolah-sekolah di Priangan. Melihat keberhasilan Holle dan saudaranya, pada 1861 pemerintah memberi dana sebesar 1.200 gulden kepada Holle untuk mempersiapkan penerbitan buku-buku bacaan dan diktat sekolah berbahasa Sunda.
Berkat usaha mereka, penerbitan buku-buku bacaan berbahasa Sunda menjadi bergairah, bahkan perlahan menggeser buku-buku berbahasa Melayu.
Tak hanya itu, Holle juga menjadi semacam pengarah bagi penulis-penulis lokal Sunda. Karya-karya penulis Sunda yang masyhur seperti Haji Musa, Adi Widjaja, dan Hasan Mustapa kebanyakan hadir atas dorongannya. Penulis-penulis yang diorbitkan Holle terutama berasal dari lingkaran persahabatannya di Limbangan, Garut. Sehingga muncul apa yang disebut Moriyama sebagai "lingkaran Holle."
Sahabat Tani
Tak hanya menulis dan jadi pengarah penerbitan, nama Holle menjadi besar salah satunya karena ia juga memperkenalkan teknik pertanian baru di Priangan Timur. Untuk itu, dia menulis wawacan tentang cara bertani dan mendorong para petani menerapkannya.
Seperti diungkap oleh sejarawan Universitas Pajajaran Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), Holle menerbitkan serial budidaya padi, jagung, kelapa, aren, waluh, dan labu dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbow van Nederlandsch-Indie. Seri artikel itu diterbitkan di bawah tajuk De Vriend van den Landman pada 1871.
"Karena tulisan Holle dinilai bermanfaat, dibukukanlah semua ini dalam seri De Vriend van den Landman sejak 1874 hingga 1899 sebanyak belasan jilid. Yang lebih penting di balik proyek pembukuan itu adalah penerjemahannya ke berbagai bahasa daerah meliputi Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, dan Makassar," tulis Fadly (hlm. 83).
Usaha Holle itu berangkat dari pemikiran bahwa tanah Priangan dianugerahi potensi tanah yang subur. Tetapi, kondisi itu kontras dengan kehidupan penduduknya, khususnya para petaninya, yang ala kadarnya. Jika lahan subur itu berhasil diolah dengan baik, sudah tentu rakyat Priangan akan lebih makmur.
Cara-cara pertanian baru itu disusun oleh Holle setelah melalui pengamatan di desa-desa sekitar Garut. Ia juga melakukan uji coba di perkebunannya sendiri.
"Pengujian yang dilakukan di perkebunannya berupa pembuatan teras-teras di pelerengan, mengatur penyuburan lahan, menabur benih di lahan-lahan kosong seperti padi, bahan-bahan makanan yang menguntungkan, sayur-sayuran dll, mengerjakan pembudidayaan ikan dll, semua itu kini menjadi berarti dan penting bagi penduduk Pribumi," tulis C.W. Janssen penulis biografi Karel Holle, sebagaimana dikutip Fadly (hlm. 84).
Seri naskah tentang pertanian lain yang juga disusun oleh Karel Holle adalah Handleiding voor de Koffiecultuur (Pedoman Penanaman Kopi), Handleiding voor het uit zaaien van padi (Pedoman penyebaran/pembibitan padi), dan Nota betreffende de padicultuur (Ikhtisar tentang penanaman padi).
Her Suganda dalam Kisah Para Preanger Planters (2014) menulis, "Sehingga sejak itu, para petani tidak lagi menanam padi dengan cara menebarkan benih begitu saja. Bibit padi terlebih dulu disemai di persemaian, baru kemudian dipindahkan. Mereka menamakan sistem bercocok tanam padi tersebut dengan sistem holle."
Atas usaha-usaha itulah ia kemudian dikenal sebagai "Tuan Holla sahabat para petani."
Holle dan Islam
Meski demikian, Holle tetaplah orang Belanda dan ia hidup di masa yang penuh ketegangan. Pandangan-pandangannya tak lepas dari syak wasangka kolonial. Kaum Bumiputra pun menaruh curiga padanya atas posisinya sebagai penasihat pemerintah kolonial.
Tentang perkara ini, Moriyama (hlm. 5) menulis, "[Holle] Sangat serius dan sangat peduli pada kebudayaan lokal, tapi punya pendapat sendiri bagaimana sebaiknya 'sahabat-sahabat Sundanya' itu dibantu, sekalipun gagasan itu belum tentu sesuai."
Bersentuhan dengan orang Sunda sama juga bersentuhan dengan Islam. Untuk soal ini, ia lagi-lagi dapat wawasan dari sahabatnya, Haji Musa. Kabarnya, atas petunjuk Haji Musa pula Karel Holle lantas masuk Islam dan berganti nama jadi Said Muhamad ben Holle.
Dianggap berpengalaman dan berpengetahuan luas, pemerintah kolonial lalu memanfaatkannya dengan menjadikan Holle sebagai Adviseur Honorair voor Inlands Zaken alias Penasihat Kehormatan untuk Urusan Pribumi pada 1871.
"Dari kantornya itu, Holle bekerja secara serius tentang urusan Islam dengan Moesa sebagai informan kuncinya. Dia melancarkan suatu proyek yang bertujuan mengurangi pengaruh Islam bagi Muslim Hindia Belanda, terutama bagi masyarakat Sunda," tulis Jajat Burhanudin dalam Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (2017, hlm. 290).
Holle dan Haji Musa bekerja sama meneliti tren Islam masa dengan melawat ke Aceh pada 1871 dan kemudian ke Singapura pada 1873. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan yang kontroversial: Fanatisme terhadap Islam adalah sumber bahaya.
Rekomendasi pertamanya bagi pemerintah kolonial adalah menjauhkan unsur-unsur Islam Arab melalui sekolah. Kebijakan ini dimulai dari penerapan aksara Jawa atau Latin di sekolah, menggantikan aksara Arab pegon yang saat itu lebih populer di Priangan.
Lebih jauh, Holle menengarai bahwa fanatisme Islam berhulu dari para haji yang baru pulang dari Makkah. Karena itulah, ia kemudian merekomendasikan pula untuk tidak mengangkat pegawai dari kalangan haji atau ulama yang pernah ke Makkah. Ia sendiri juga berusaha menarik para menak dan penghulu agar lebih kooperatif dengan pemerintah kolonial.
"Meskipun sarannya tidak selalu diikuti, Holle sesungguhnya telah membangun fondasi bagi apa yang menjadi kebijakan kolonial terhadap Islam," tulis Jajat.
Pada akhirnya, sejarah tak pernah hitam-putih, ia penuh warna. Begitu juga tokoh yang melakoninya, termasuk Karel Holle. Terlepas dari itu semua, masyarakat Sunda faktanya mengenang Tuan Holla dengan rasa hormat. Ia meninggal pada 3 Mei 1896 dan kemudian dimakamkan di daerah Tanah Abang, Batavia.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara