tirto.id - Saat masih berusia 14 tahun, Sukarno sudah berani menaksir dan mendekati noni-noni muda Belanda. Sukarno tak merasa sungkan—alih-alih rendah diri menghadapi lawan jenis dari bangsa kulit putih. Jiwanya yang masih labil, terus berkelana dari satu kembang ke kembang lainnya.
“Hanya inilah satu-satunya jalan yang kuketahui untuk memperoleh keunggulan terhadap bangsa kulit putih,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (1965) yang kemudian diterjemahkan Abdul Bar Salim dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1966).
Rika Melhusyen, Pauline Gobe, Laura Kraat, dan Mien Hessel’s adalah nama-nama gadis-gadis Belanda yang ditaksir Sukarno muda. Untuk mendapatkan hati para gadis itu, Sukarno rela menjemput dari rumah gadis bermata biru yang diincarnya ke sekolah, membawa buku-buku mereka berjam-jam, sampai mengantar mereka pulang kembali dengan sepeda. Sayangnya, gayung tak bersambut. Diskriminasi terhadap kaum pribumi masih begitu kental terjadi, bahkan terhadap Sukarno yang tergolong kalangan keluarga terhormat.
“Kamu inlander kotor. Kenapa kamu berani-beraninya mendekati anakku? Keluar!” usir Tuan Hessel’s saat mengetahui anaknya—Mien—terlihat begitu akrab dengan Sukarno (Majalah Tempo, edisi Juni 2001: 25). Meski begitu, Sukarno tidak pernah kapok. Pengalaman buruknya di kala remaja semakin memupuknya jadi pria yang begitu lihai menjerat hati wanita.
“Tuhan menciptakan wanita penuh dengan keindahan. Saya kira setiap laki-laki normal senang melihat keindahan yang ada pada diri wanita,” kata Sukarno (Sewindu Dekat Bung Karno, 1988: 43).
Namun siapa sangka, pernikahan Sukarno dimulai pada usia yang begitu muda. Sukarno belum genap 20 tahun pada saat itu. Wanita pertama yang Sukarno nikahi adalah Siti Oetari (16 tahun), putri pertama dari tokoh Serikat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto pada 1921.
“Bapak kos” Sukarno muda saat masih sekolah di Hogere Burger School, Surabaya. Pertemuan dengan Oetari terjadi satu tahun sebelumnya. Gadis mungil, lugu, dan pendiam, “Lak engkaulah bakal istriku kelak,” kata Sukarno merayu (Bung Karno: Panglima Revolusi, 2014: 262). Tak berselang lama setelah Sukarno meneruskan pendidikan di Technische Hogere School, Bandung. Sukarno tinggal di rumah Haji Sanusi yang tinggal bersama istrinya, Inggit Ganarsih.
Dalam Soekarno: Kuantar ke Gerbang (2014: 3) Inggit menceritakan bagaimana kedatangan Sukarno di Bandung. “Ia mengenakan peci beludru hitam kebanggaannya dan pakaian putih-putih. Cukup tinggi badannya. Ganteng. Anak muda yang pesolek. Perlente,” kata Inggit.
“Sejak bertemu dan bersalaman, pemuda itu sudah menyenangkan. Ia gampang bergaul dan mau menerima apa yang aku hidangkan dengan roman muka yang menggembirakan,” aku Inggit (ibid: 6).
Paras yang ganteng, gagah, dan perlente memang membuat wanita incaran Sukarno jadi mudah jatuh hati. “Daya tarik serta taraf intelektualnya yang tinggi menjadikan Sukarno seorang master dalam menaklukkan hati wanita,” kata Bambang Widjanarko, ajudan pribadi Sukarno selama delapan tahun dalam wawancara Tempo pada 1999.
Sejarah kemudian mencatat, setelah bertemu Inggit, Sukarno kemudian mengembalikan Oetari ke orang tuanya di Surabaya, alias menceraikannya tak lebih dari tiga tahun setelah pernikahan mereka. Di sisi lain, Sukarno diam-diam jatuh cinta kepada Inggit.
Hal ini karena—menurut Sukarno—Haji Sanusi adalah seorang suami yang setiap malam terus-menerus menghabiskan waktunya di luar rumah. Meninggalkan istrinya sendirian. “Dia kesepian. Aku kesepian. Perkawinannya tidak betul. Perkawinanku tidak betul. Adalah wajar, hal-hal yang demikian (cinta) kemudian tumbuh,” kata Sukarno dalam Kisah Istimewa Bung Karno (2010: 36).
Inggit lebih tua 15 tahun dari Sukarno. Rentang usia yang juga menunjukkan bahwa Inggit juga jauh lebih dewasa dalam bersikap. Wanita sunda ini seperti seorang ibu yang memberi perlindungan kepada anaknya. Setelah bercerai selama empat bulan dengan Haji Sanusi, pada pertengahan 1923, Inggit disunting Sukarno.
Mengarungi suka-duka 20 tahun perkawinan, Inggit setia menemani Sukarno. Bahkan saat Sukarno dipenjara di Sukamiskin oleh pemerintah kolonial Belanda karena kegiatan politik, Inggit menjadi penghubung pesan antara suaminya dengan para pejuang secara sembunyi-sembunyi.
Itulah kenapa, di depan para peserta Kongres Indonesia Raya di Surabaya pada 1932, Sukarno menjuluki istrinya sebagai “Srikandi Indonesia”. (Bung Karno Panglima Revolusi, 2014: 263).
Bencana bagi Inggit datang saat Hassan Din datang ke Bengkulu, tempat pengasingan Sukarno di mana Inggit juga ikut serta. Tamu ini datang bersama putrinya, Fatimah.
“Rambutnya seperti sutera di belah tangan dan menjurai ke belakang berjalin dua. Dengan senang hati aku menyambutnya sebagai anggota keluarga kami,” kesan Sukarno terpesona melihat Fatimah (Kisah Istimewa Bung Karno, 2010: 37-38). Inggit sudah merasa bahwa suaminya mulai jatuh hati kepada Fatimah. Dugaan yang ternyata benar.
Sukarno ingin menikahi Fatimah tanpa menceraikan Inggit. Enggan untuk dimadu, pada zaman pendudukan Jepang, Sukarno menikahi Fatimah yang 11 tahun lebih muda, setelah sebelumnya menceraikan Inggit dengan baik-baik. Nama Fatimah kemudian diubah Sukarno menjadi Fatmawati yang berarti bunga teratai. Nama yang kemudian dikenal sebagai First Lady Indonesia ini adalah ibu dari Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Pernikahan dengan Fatmawati kemudian menunjukkan bahwa Sukarno tidak peduli akan usia-usia wanita yang ia nikahi.
Setelah Inggit yang terpaut belasan tahun lebih tua, lalu menikahi Fatmawati di usia 20 tahun, Soekarno juga mempersunting dua remaja Heldy Djafar dan Yurike Sanger saat keduanya masih berusia 18 tahun. Bahkan dengan janda beranak lima seperti Hartini yang sudah berusia 29 tahun pun Sukarno tidak masalah. Paling tidak, hanya satu hal yang membuat para istri Sukarno punya persamaan: semuanya cantik.
Hingga pada satu waktu Sukarno berpesan kepada ajudannya, Bambang Widjanarko.
“Di dalam hal lain, istri dapat memaafkan dan melupakan perbuatan suami yang salah. Tetapi mengenai affair dengan wanita lain…” kata Sukarno yang juga menjelaskan cara pandangnya mengenai wanita (Bung Karno Panglima Revolusi, 2014: 270), dengan bahasa Belanda ia melanjutkan, “zij kan wel vergeven maar nooit vergeten.”
“…ia dapat memaafkannya tetapi tidak akan pernah melupakannya.”
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Suhendra