Menuju konten utama
Profil Ilmuwan Muslim

Biografi Al-Farabi dan Penemuannya di Bidang Filsafat

Berikut ini biografi Al-Farabi dan penjelasan singkat mengenai penemuannya dalam bidang filsafat.

Biografi Al-Farabi dan Penemuannya di Bidang Filsafat
Ilustrasi Ilmuwan Muslim Al-Farabi

tirto.id - Al-Farabi merupakan filsuf Islam pertama yang secara sungguh-sungguh mengkaji filsafat Yunani Klasik. Ia mampu memahami, menjabarkan, dan mengkomparasi filsafat Yunani Klasik Plato dan Aristoteles dengan filsafat Islam. Tak mengherankan jika Al-Farabi disebut sebagai salah satu filsuf kaliber dunia. Bahkan ia punya julukan terhormat The Second Master atau Guru Kedua setelah Aristoteles. Berikut ini biografi Al-Farabi dan penemuannya dalam bidang filsafat.

Disampaikan oleh Muhsin Mahdi dalam Alfarabi Philosophy of Plato an Aristotle: “Karya ilmiah atau filsafat Al-Farabi, terutama mengenai komentar dan tafsirnya terhadap karya Plato dan Aristoteles membentuk reputasinya sebagai filsuf besar di samping Aristoteles".

Biografi Singkat Al-Farabi

Profil Al-Farabi cukup sulit untuk diidentifikasi karena sedikitnya sumber valid yang memuat kisah hidupnya. Mengutip dari "Epistemologi Al-Farabi: Gagasannya Tentang Daya-daya Manusia" yang terbit di Jurnal Filsafat (2007), latar belakang kehidupan Al-Farabi sangat sedikit diketahui secara pasti.

Informasi tentang Al-Farabi kebanyakan diperoleh dari penulis biografi Arab abad pertengahan yang dapat dirunut mulai dari abad ke-10 M sampai abad ke-13 M.

Catatan paling awal terdapat dalam karya Ibnu Al-Nadzim (w. 380H/990M) dalam kitab Al-Fihrist. Ia hanya memberikan beberapa catatan kecil tentang para guru dan murid Al-Farabi serta beberapa anekdot yang kebenarannya diragukan (Nasr, 2003 : 221).

Al-Farabi atau Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Lharkhan bin Uzalagh Al-Farabi dilahirkan di Wasij Distrik Farab (yang juga dikenal dengan nama Otrar) di Transoxiana (sekarang Uzbekistan) pada 257H/870 M dan wafat di Damaskus pada 950 M. Al-Farabi dikenal dengan nama Alpharabius atau Avennasr di kawasan Eropa.

Ayah Al-Farabi merupakan seorang opsir tentara keturunan Persia. Sejak kecil Al-Farabi sudah memiliki ketertarikan dan kecakapan dalam bidang bahasa. Ia menguasai bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Bahkan, ada yang menyebutkan Al-Farabi bisa berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa, tetapi yang secara aktif ia kuasai hanya empat bahasa, yakni bahasa-bahasa yang disebutkan di atas.

Masa muda Al-Farabi diisi dengan belajar bahasa dan sastra Arab di Baghdad kepada Abu Bakar As-Saraj. Pada saat bersamaan, ia juga belajar logika dan filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus bin Yunus, seorang Kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani.

Selanjutnya, Al-Farabi pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil dan berguru kepada Yuhana bin Jilad. Tak lama kemudian, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat dan menetap di sana selama 20 tahun sembari membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani serta mengajar.

Pada usia 75 tahun, tepatnya pada tahun 330 H (945 M), Al-Farabi pindah ke Damaskus dan diberi amanah sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang besar sekali. Namun, ia memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan.

Selama di Damaskus, Al-Farabi bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fikih dan kaum cendekiawan lainnya. Fokus Al-Farabi adalah mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fikih, dan mantik (logika). Hampir sepanjang hidup, Al-Farabi terbenam dalam dunia ilmu sehingga tidak dekat dengan penguasa-penguasa Abbasiyah waktu itu.

Pemikiran Al-Farabi di Bidang Filsafat

Pemikiran Al-Farabi banyak dipengaruhi karya filsafat Yunani. Dalam artikel "Pemikiran Filsafat Al-Farabi" yang termuat di Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin (2016), usai ratusan kali membaca karya metafisika Aristoteles, keingintahuan Al-Farabi belum terpuaskan.

Setelah itu, Al-Farabi berupaya menjelaskan kembali konsep metafisika penciptaan alam dari wujud tunggal yang abadi dengan penjelasan yang lebih detail dan sempurna.

Menurutnya, alam tercipta melalui pelimpahan atau emanasi yang berlangsung dari akal pertama hingga akal kesepuluh secara serentak dan bertingkat. Pandangan ini membuktikan bahwa Al-Farabi dipengaruhi oleh Neoplatonisme.

Al-Farabi menyimpulkan bahwa alam berasal dari zat yang Maha Tunggal, kekal dan suci melalui pelimpahan (emanasi). Penciptaan alam diawali dengan adanya semua alam ini berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan, kemudian melimpah menghasilkan (mumkin al-wujūd).

Argumen lain yang dijadikan dasar oleh Al-Farabi adalah keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai fungsinya. Hal ini menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud yang tunggal dan tersistem sedemikian rupa.

Menurut Harun Nasution, filsuf Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, terdapat perbedaan cara pandang antara kaum Mu’tazilah yang berusaha memurnikan tauhid dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan, kaum sufi yang mensucikan Tuhan dengan cara peniadaan wujud hakikat yang tampak selain wujud Allah, dan kaum filosof Islam yang dipelopori oleh Al-Farabi.

Al-Farabi, melalui teori emanasinya (al-faidh al ilāhiy), hendak men-taqdis-kan (mensucikan) Tuhan dengan jalan meniadakan "arti banyak" dalam diri Tuhan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemikiran filsafat, tasawuf, dan wahyu sama-sama ingin mengokohkan ke-esa-an Tuhan melalui metode yang berbeda.

Baca juga artikel terkait PROFIL ILMUWAN MUSLIM atau tulisan lainnya dari Nurul Azizah

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Nurul Azizah
Penulis: Nurul Azizah
Editor: Abdul Hadi