Menuju konten utama

Bintang Berjatuhan dari Trunojoyo

Beberapa jenderal polisi aktif menerima tugas di luar institusi Polri. Sebagian bahkan rela menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dengan menerima jabatan direktur jenderal di beberapa kementerian. Benarkah terjadi surplus jenderal di Mabes Polri?

Bintang Berjatuhan dari Trunojoyo
wakapolri komjen pol badrodin haiti (kanan) memasuki ruang upacara kenaikan pangkat perwira tinggi di mabes polri, jakarta, kamis (5/2). badrodin haiti melantik kepala badan reserse kriminal polri komjen pol budi waseso dan juga melantik 12 perwira tinggi polri, dua di antaranya berpangkat inspektur jenderal (irjen) pol serta 10 lainnya berpangkat brigadir jenderal (brigjen) pol. antara foto/m agung rajasa

tirto.id - Para jenderal polisi itu harus rela melepas seragam meski belum masuk masa pensiun. Sebab, mereka harus bertugas di luar institusi Polri. Berlebihnya jumlah jenderal dibanding jabatan yang tersedia, disebut-sebut menjadi penyebab mereka rela meninggalkan penugasan di korps yang telah membesarkan mereka.

Paling mutakhir, dua bintang yang rela menanggalkan seragam adalah Irjen (Pol) Syahrul Mamma dan Irjen (Pol) Pudji Hartanto Iskandar. Keduanya memilih beralih status menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dengan menerima jabatan sebagai direktur jenderal (dirjen) di dua kementerian berbeda. Mereka rela meninggalkan markas besar di Trunojoyo.

“Itu sudah melalui fit and proper test (uji kelaikan dan kepatutan) dan sudah lulus juga," kata Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, di Jakarta, Senin (28/3/2016), ketika dikonfirmasi tentang mutasi jabatan kedua bawahannya ke jabatan sipil tersebut.

Syahrul Mamma, mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, mengemban tugas menjadi Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) di Kementerian Perdagangan. Dia dilantik menjadi Dirjen PKTN oleh Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, pada Selasa (29/3/2016).

Sedangkan Pudji Hartanto, mantan Kapolda Sulsel dan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Mabes Polri, menjadi Dirjen Perhubungan Darat di Kementerian Perhubungan. Pada Kamis (7/4/2016), Menteri Perhubungan Ignasius Jonan melantiknya.

Kedua jenderal bintang dua ini agaknya menyusul beberapa jenderal aktif yang telah lebih dulu meninggalkan Mabes Polri di Jalan Trunojoyo. Mereka di antaranya Irjen (Pol) Basaria Panjaitan, Staf Ahli Sospol Kapolri yang menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Atau Irjen (Pol) Ronny Franky Sompie, mantan Kapolda Bali yang menjabat Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM, sejak Senin (10/8/2015).

Ada 230 Jenderal Aktif

Banyaknya jenderal polisi yang harus bertugas di luar institusi Polri memang kemudian memunculkan pertanyaan. Benarkah terdapat kelebihan jenderal yang masih aktif di tubuh Polri?

“Kelebihan enggak, pas saja,” kata Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar, Kepala Divisi Humas Mabes Polri, kepada Tirto.id.

Hal senada disampaikan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) periode 2012-2016, Brigjen Pol (Purn) Safriadi Cut Ali. Menurutnya, tidak ada kelebihan jenderal di institusi Polri.

“Jadi kalau bilang kelebihan jenderal, saya tegaskan 100 persen tidak. Enggak ada jenderal yang kelebihan di institusi Polri,” katanya.

Secara angka, jumlah jenderal polisi memang lebih banyak dari jabatan yang struktural yang ada di Polri. Boy Rafli menjelaskan, saat ini ada 136 jabatan di Polri yang diperuntukkan bagi para jenderal. Sementara total jumlah jenderal yang aktif ada 230 orang, dengan strata beragam dari bintang satu sampai bintang empat. Ini berarti jumlah jenderal melebihi jabatan yang ada.

Namun, menurut Boy Rafli, jumlah jenderal tersebut masih sesuai dengan strata posisi jabatan yang ada. Sebab masih ada jabatan non-struktural, seperti menjadi guru utama atau dosen utama di lembaga pendidikan Polri, yang disebut dengan Widyaiswara. Masih ada pula jabatan sebagai Analis Kebijakan (Anjak) Utama.

Mengenai adanya jenderal yang menjadi pejabat kementerian, Safriadi menyatakan bahwa penunjukan mereka lebih karena kompetensi, bukan karena “dibuang” oleh Mabes Polri. Misalnya Syahrul Mamma yang andal di bidang reserse, dinilai sesuai menjadi Dirjen PKTN karena akan menghadapi masalah pidana. Sebab, dunia perdagangan tak bisa dilepaskan dari cyber crime atau kejahatan internasional.

“Secara kompetensi dan profesionalisme, dia punya kemampuan. Kedua, kalau nanti hal terkait masalah pidana dan memerlukan kordinasi dengan Bareskrim Polri, akan lebih mudah,” ujarnya.

Mabes Polri boleh menegaskan tidak ada kelebihan jumlah jenderal. Namun, Indonesia Police Watch (IPW) menyampaikan hal yang sebaliknya. IPW mengungkap adanya kelebihan puluhan jenderal di Polri, dengan sebagian besar belum mendapatkan posisi baru alias menganggur.

Berdasarkan data IPW yang dikutip dari Antara, setelah adanya mutasi terhadap 28 perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) pada Desember 2005, terlihat adanya surplus jenderal yang jumlahnya mencapai 43 orang. Komposisinya, dua jenderal bintang tiga (Komjen), 10 jenderal bintang dua (Irjen) dan 31 jenderal bintang satu (Brigjen). Padahal pada tahun 2004, masih berdasar data IPW, Polri sudah mengalami kelebihan 30 jenderal. Yakni, tujuh jenderal bintang dua dan 23 jenderal bintang satu.

Tak cukup sampai di situ. Pada tahun 2010, IPW kembali mengingatkan bahwa setiap tahunnya terdapat 25 hingga 30 persen jenderal menganggur di tubuh Polri. Saat itu, Polri tercatat memiliki 240 jenderal dengan jumlah Komjen bintang tiga hingga delapan orang.

Penyebab Surplus Jenderal

Mengapa Polri berlimpah jenderal? Bambang Widodo Umar, pengajar di Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia memiliki analisa tersendiri. Menurut Guru Besar Sosiologi Hukum yang pernah berdinas selama 30 tahun sebagai polisi ini, kelebihan jenderal di Polri salah satunya disebabkan karena mekanisme pengembangan karier di Polri. Selain itu juga disebabkan oleh kriteria kenaikan pangkat seorang pati di Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi) yang tertutup.

“Seharusnya kriteria kenaikan pangkat dibuka kepada publik. Seperti pengabdian seorang perwira, pendidikannya, jasa-jasanya, loyalitasnya, termasuk kelemahannya. Itu semua harus diberi indeks atau angka,” ujar alumni Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1971 ini.

Masih menurut Bambang, sejauh ini, penilaian yang dilakukan terhadap seorang perwira polisi tidak disandarkan pada sistem atau mekanisme pengembangan karier. “Artinya, kenaikan pangkat seleksinya tidak terlalu ketat, hanya sekadar memberi kehormatan atau kedekatan. Akibatnya, rasionya (jenderal) belum tepat betul. Kelebihan jenderal pun disalurkan keluar institusi,” ujarnya.

Pola pengembangan karier yang sudah berlangsung selama puluhan tahun terbukti menghasilkan surplus jenderal di Polri. Sangat disayangkan jika kemampuan mereka dianggurkan begitu saja. Karena bagaimanapun, seorang jenderal polisi pastilah sumber daya manusia terbaik di jajaran korps Bhayangkara.

Baca juga artikel terkait POLRI atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

Reporter: Kukuh Bhimo Nugroho
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti