tirto.id - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus terus membenahi mekanisme pengembangan karier di institusinya. Saran itu dilontarkan Bambang Widodo Umar, pengajar di Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, yang juga pernah meniti karier sebagai polisi selama 30 tahun, sejak 1971 hingga 2001.
“Jadi yang terjadi, penilaian tidak disandarkan kepada sistem atau mekanisme pengembangan karir. Artinya, kenaikan pangkat seleksinya tidak terlalu ketat, hanya sekadar memberi kehormatan atau kedekatan,” katanya kepada Tito.id, yang mewawancarainya pada Selasa (26/4/2016).
Maka wajar jika kemudian bertumpuk sejumlah jenderal di tubuh Polri. “Akibatnya, rasionya (jenderal) belum tepat betul. Kelebihan jenderal pun disalurkan keluar institusi,” ujar alumni Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1971 tersebut.
Apa saja saran Bambang agar mekanisme pengembangan karier di kepolisian menjadi profeional? Berikut wawancara dengan penerima penghargaan Satya Lencana Dwija Sista3 dan bintang Bhayangkara Nararya tersebut:
Ada yang mengatakan bahwa kenaikan pangkat perwira tinggi (Pati) di kepolisian tak transparan?
Iya, kriteria itu tertutup di Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi). Seharusnya kriteria kenaikan pangkat dibuka kepada publik. Seperti pengabdian seorang perwira, pendidikannya, jasa-jasanya, loyalitasnya, termasuk kelemahannya. Itu semua harus diberi indeks atau angka.
Misalnya indeks 1-10 untuk seorang perwira yang sekolah di Sespimti (Sekolah Pimpinan Tinggi) atau Akpol (Akademi Kepolisian). Kemudian berapa banyak pendidikan yang sudah dia tempuh, berapa nilainya, tugas di lapangan bagaimana, kemudian jasanya apa saja.
Kalau ternyata seorang perwira melakukan penyimpangan, nilainya harus dikurangi. Selanjutnya ditotal nilainya. Penilaian seperti itu terus diakumulasi, mulai dari lulus Akpol hingga lulus perwira tinggi. Jadi merupakan rapor personal seorang perwira polisi.
Memang belum ada kriteria seperti itu?
Saya melihat tidak ada rapor seperti itu di kepolisian, sehingga yang terjadi dalam kenaikan pangkat ukurannya subyektif. Kenaikan pangkat menurut komandan atau pimpinannya. Penilaian orang kan pasti subjektif. Apalagi ada hak prerogatif pimpinan. Ini tidak rasional dan harus diubah menjadi sistem pengembangan karir dengan nilai angka. Rapor seorang perwira dari Akpol, PTIK, dan Sespim dicatat terus setiap tahun.
Jadi yang terjadi, penilaian tidak disandarkan kepada sistem atau mekanisme pengembangan karir. Artinya, kenaikan pangkat seleksinya tidak terlalu ketat, hanya sekadar memberi kehormatan atau kedekatan. Akibatnya, rasionya (jenderal) belum tepat betul. Kelebihan jenderal pun disalurkan keluar institusi.
Kalau menggunakan sistem pengambangan karir, maka akan lebih selektif dan adil. Kalau sekarang ini, kecemburuan antar personel polisi masih terjadi.Tapi kalau penilaian berdasarkan kriteria dengan angka-angka tertentu, maka yang bicara angka dan bukan orang.
Sebagai pembanding, bagaimana penilaian kepangkatan jenderal di luar negeri?
Seperti yang saya bilang tadi, mereka pakai sistem. Ada kriteria dan tolok ukur yang jelas. Sekolahnya, penugasannya, jasanya, juga loyalitasnya. Empat kriteria ini ada indeksnya dan terus dinilai, sehingga bukan pimpinan kesatuan yang menilai. Rapor dia sendiri yang menentukan. Malaysia dan Singapura sudah menggunakan sistem seperti itu.
Sebenarnya berapa biaya sekolah untuk menjadi seorang jenderal?
Enggak ada biaya. Kalau dia berprestasi dan objektif, maka dia bisa masuk sekolah. Kalau ada syarat uang, maka keliru itu. Kalau prestasi dan profesionalisme bisa dibeli, maka akan menghancurkan kualitas dan profesionalitas polisi.
Bagaimana seharusnya rasio jenderal di Polri?
Ada bentuk piramida dalam organisasi, di mana sampai ke puncak makin kecil jenderalnya. Berapa jumlah jabatan untuk para jenderal di Mabes Polri, saya enggak tahu. Kalau mendengar dari beberapa anggota kepolisian, jumlah perwira menengah seperti kombes (komisaris besar) kelebihan. Jadi jumlah job untuk pangkat itu kurang, tapi banyak dari mereka yang sudah punya pangkat sama. Akibatnya, mereka ditempatkan sebagai Anjak (Analis Kebijakan) sambil menunggu penempatan.
Misalnya ada bintang satu di-Anjak, padahal itu bukan job untuk bintang satu. Jadi dia mendapatkan bintang dari tempat lain, terus kemudian masuk ke Anjak. Para perwira yang di-Anjak itu banyak. Berapa jumlahnya, bisa ditanya ke mereka.
Apa artinya dengan adanya fakta seperti itu?
Ini artinya perlu suatu perhitungan-perhitungan matematis, sehingga mendudukkan orang tidak asal kasih pangkat atau tidak asal atas kemauan pimpinan. Kalau hal seperti itu terus terjadi, maka akan ada kelebihan pati (perwira tinggi). Kalau kelebihan pati, nanti mereka ditugaskan di dapartemen atau di tempat lain. Artinya manajemen personalia kurang rasional.
Apa benar untuk mendapat bintang bukan hanya berdasar prestasi, tapi juga politik?
Nah itu juga. Memang sulit dibuktikan, tetapi saya juga mendengar seperti itu. Untuk mendapatkan bintang harus ada kerabat. Kalau orang kritis, sulit dapat bintang di kepolisian. Coba lihat Kapolri sebelumnya (Timur Pradopo, masa jabatan 22 Oktober 2010-25 Oktober 2013). Dia dari bintang dua langsung naik ke bintang tiga dan bintang empat untuk menjadi Kapolri di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Langkah seperti itu harusnya tidak dibenarkan.
Pemolitikan kepolisian melalui posisi pimpinan Polri, menjadikan personel kepolisian tidak berkompetisi secara sehat di dalam karier melalui proses profesionalisme yang mereka bangun sendiri. Akhirnya mencari cantolan lain agar mendapat pangkat. Tindakan seperti itu tidak profesional. Siapa di atas yang senang, dia bisa menaikkan pangkat. Nah, kebijakan seperti ini kurang sehat untuk kepentingan polisi ke depan.
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti