Menuju konten utama

Pagi Bintang Dua, Siang Bintang Tiga, Malam Bintang Empat

Di Kepolisian Republik Indonesia (Polri), pernah terjadi pangkat seorang jenderal melenting dua tingkat hanya dalam 18 hari. Kepentingan politik penguasa untuk menunjuk Kapolri jadi penyebab. Padahal, kepentingan politik justru merusak profesionalitas Polri. Menurut Bambang, proses politik dalam menentukan Kapolri telah menjadikan personel kepolisian tidak berkompetisi secara sehat di dalam karier melalui proses profesionalisme yang mereka bangun sendiri.

Pagi Bintang Dua, Siang Bintang Tiga, Malam Bintang Empat
Kapolri Komisaris Jenderal Polisi Timur Pradopo (kanan) dan pejabat lama Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri (kiri) melakukan salam komando usai upacara serah terima jabatan di markas Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo

tirto.id - Jenderal (Pol) Timur Pradopo barangkali bisa disebut polisi paling beruntung di negeri ini. Bagaimana tidak, hanya dalam rentang 18 hari, bintang di pundaknya bertambah dua. Selepas naik menjadi Komjen atau bintang tiga pada 4 Oktober 2010, Timur Pradopo naik jadi bintang empat pada 22 Oktober. Kenaikan pangkat itu berbarengan dengan pelantikannya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Loncatan karier seperti yang dialami Timur Pradopo, Kapolri periode 2010-2013 itu memang tidak mungkin terjadi jika tidak dilatarbelakangi kepentingan politik. Presiden SBY agaknya lebih memilih Timur Pradopo ketimbang kandidat lainnya. Kenaikan pangkat instan pun dilakukan agar Timur Pradopo bisa melenggang menjadi Kapolri.

Padahal, sebenarnya saat itu Kompolnas telah mengajukan dua nama Komjen kepada Presiden SBY sebagai kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri yang pensiun pada 10 Oktober 2010. Kedua calon itu adalah Komjen (Pol) Nanan Sukarna yang menjabat Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) dan Komjen (Pol) Imam Sudjarwo Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri.

“Dia (Timur Pradopo) dari bintang dua langsung naik ke bintang tiga dan bintang empat untuk menjadi Kapolri di zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Langkah seperti itu harusnya tidak dibenarkan,” kata Bambang Widodo Umar, pengajar Program Pascasarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia, kepada Tirto.id.

Kenaikan pangkat Timur memang fenomenal. Pada Senin pagi 4 Oktober 2010, Timur yang menjabat Kapolda Metro jaya masih berpangkat irjen. Pengangkatan Timur memang terkesan mendadak. Maklum, dia baru empat bulan menjabat Kapolda Metro Jaya sejak 22 Juni 2010 menggantikan Irjen Pol Wahyono.

Namun, pada Senin siang, seusai mengikuti rapat kabinet di Istana Negara, Kapolri Bambang Hendarso Daruri melantiknya menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Baharkam) yang merupakan job bagi jenderal bintang tiga. Pangkat Timur pun secara otomatis dinaikkan menjadi Komjen. Tiga hari kemudian, jabatan Kapolda Metro Jaya diserahkan kepada Irjen (Pol) Sutarman.

Saat itu, Kapolri Bambang Hendarso Daruri menolak jika pengangkatan Timur disebut mendadak. “"Ini adalah satu yang biasa dalam proses regenerasi. Prosesnya berjalan seperti biasa. Bukan mendadak. Pak Kabaharkam (Komjen Iman Haryatna) memang pensiun tanggal 15 Oktober, saya tanggal 10," katanya.

Hal yang ternyata lebih mencengangkan, pada Senin malamnya, SBY ternyata mengajukan nama Komjen Timur Pradopo sebagai calon Kapolri kepada DPR. Artinya, pada malam itu juga, secara tak resmi Timur sudah menyandang gelar jenderal atau berbintang empat. Oleh sebab itulah, muncul ungkapan 'pagi bintang dua, siang bintang tiga, dan malam bintang empat'.

Kalimat itu terlontar dari Bambang Soesatyo, anggota DPR dari Fraksi Golkar yang mengritisi kenaikan pangkat Timur. “Pagi bintang dua, siang bintang tiga, malam bintang empat. Ini sangat mengganggu. Saya khawatir ini akan merusak sistem jenjang kepangakatan dan jenjang karier yang ada di tubuh Polri," katanya saat itu.

Sulit Dibuktikan

Apa yang dikhawatikan Bambang Soesatyo ternyata juga membuat resah Bambang Widodo Umar. Dia juga mendengar bahwa jenjang kepangkatan jenderal di tubuh Polri bisa dipengaruhi oleh kepentingan politik kekuasaan. “Memang sulit dibuktikan, tetapi saya juga mendengar seperti itu. Untuk mendapatkan bintang harus ada kerabat. Kalau orang kritis, sulit dapat bintang di kepolisian,” katanya sembari mencontohkan proses pengangkatan Timur Pradopo menjadi Kapolri.

Bagi Bambang Widodo Umar, cawe-cawe penguasa dalam pemilihan perwira tinggi untuk menduduki posisi Kapolri telah menjadikan personel kepolisian tidak berkompetisi secara sehat di dalam meniti karier.

Persoalannya, berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, pada pasal 11 ayat 2, Presiden memang memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dengan mengajukannya ke DPR.

Menurut Bambang, proses politik dalam menentukan Kapolri telah menjadikan personel kepolisian tidak berkompetisi secara sehat di dalam karier melalui proses profesionalisme yang mereka bangun sendiri. “Akhirnya mencari cantolan lain agar mendapat pangkat. Tindakan seperti itu tidak profesional. Siapa di atas yang senang, dia bisa menaikkan pangkat. Nah, kebijakan seperti ini kurang sehat untuk kepentingan polisi ke depan,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait POLISI atau tulisan lainnya dari Kukuh Bhimo Nugroho

tirto.id - Politik
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Kukuh Bhimo Nugroho
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti