tirto.id - Seluruh akses ke Provinsi Papua, baik dari udara atau laut, resmi ditutup sesuai arahan Gubernur Lukas Enembe. Pembatasan ini rencananya berlangsung sampai 9 April 2020 dan berpotensi diperpanjang.
"Namun untuk angkutan barang dan bahan makanan tetap akan dibuka," kata Gubernur Enembe, dikutip dari Antara.
Pergerakan masyarakat pun dibatasi, khusus untuk wilayah adat Animha, Lapago, dan Mepago. Setelah berkoordinasi dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pemerintah juga memutuskan meniadakan ibadah di ruang publik selama 14 hari, pun demikian dengan tempat-tempat hiburan.
Pasar hanya diperbolehkan beroperasi pukul 6 pagi sampai 2 siang, kemudian dilanjut pasar mama-mama yang diizinkan buka pukul 2 siang sampai 8 malam.
Semua kebijakan dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran pandemi Corona COVID-19 yang mulai menjangkiti Bumi Cenderawasih. Data per Kamis (26/3/2020) pukul 12 siang, sudah ada 7 orang positif terinfeksi COVID-19--4 orang di Jayapura dan 3 di Merauke. Sementara jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 38 orang, lalu orang dalam pengawasan (ODP) 820.
Tidak Mampu
Angka penderita di Papua sebetulnya lebih rendah ketimbang beberapa provinsi lain di Indonesia, terutama yang ada di Pulau Jawa. Di DKI Jakarta, misalnya, ada 515 orang dinyatakan positif, per Kamis pukul 12 siang. Sementara Yogyakarta jumlahnya 16, Jawa Barat 78, Jawa Tengah 40, dan Jawa Timur 59.
Namun beda dengan Papua, provinsi-provinsi tersebut tidak sampai menutup total akses.
Alasan utama kenapa pemerintah Papua bergerak cepat menutup akses sehingga agak berbeda dengan pemerintah provinsi lain adalah infrastruktur kesehatan mereka tidak siap sama sekali menangani penderita COVID-19 yang lebih banyak.
Berdasarkan perhitungan dinas kesehatan setempat, jika penutupan dan langkah-langkah antisipatif lain tidak dilakukan, diperkirakan 20 persen populasi atau sekitar 800 ribu penduduk akan terjangkit dan sebagian di antara mereka akan mengalami gejala berat sehingga butuh penanganan khusus.
"Kami memang tidak mampu mengatasi kondisi begini. Kami punya banyak sekali keterbatasan," kata juru bicara penanganan COVID-19 di wilayah Papua, Silwanus Sumule saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/3/2020).
Ia lantas menggambarkan bagaimana buruk dan terbatasnya infrastruktur kesehatan di sana: hanya ada tujuh dokter spesialis paru-paru di seluruh provinsi, total ruang isolasi di semua rumah sakit hanya ada 200, itu pun cuma 2 yang sesuai standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). 198 ruang isolasi lain hanya mengandalkan HEPA filter untuk membatasi udara di dalam ruangan.
Apa hanya itu? Tidak. Papua juga punya masalah keterbatasan ventilator, alat bantu pernapasan yang dapat meringankan beban pasien terinfeksi COVID-19. Hanya ada 60 ventilator yang siap digunakan di seantero Papua.
Seluruh keterbatasan ini bukan karena Papua tidak punya uang, tegas Silwanus, tapi memang akses untuk memperoleh alat-alat tersebut nyaris nihil.
Pemerintah sebetulnya telah berkoordinasi dengan pusat, namun sejauh ini bantuan yang didapat baru alat perlindungan diri (APD) sebanyak 1.000 buah.
"Ventilator kalau memang ada dukungan dari pusat itu sangat kami butuhkan. Ventilator dan HEPA filter itu kami butuh banget. Kalau dapat 100 saja sudah senang banget saya," kata Silwanus.
Saking kritisnya keadaan, dalam wawancara dengan media lokal Silwanus Sumule bahkan menegaskan jika saat ini ada yang datang ke Papua dan di sana terpapar COVID-19, kemungkinan besar orang tersebut akan "mati" karena "ngurusin kami punya warga saja kami tidak mampu."
Maka satu-satunya jalan adalah tidak dulu ke Papua, dan oleh karena itu ia menilah langkah penutupan dari gubernur sudah tepat.
Juwita Puspita, seorang dokter di Puskesmas Agats sekaligus sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk Kabupaten Asmat, memberi pernyataan senada. Ia misalnya mengatakan tidak ada satu pun dokter spesialis paru di kabupaten tersebut.
Ia juga mengatakan "penyediaan APD di puskesmas sangat minim," kepada reporter Tirto. Saat ini di fasilitas kesehatan tingkat pertama itu para tenaga medis terpaksa menggunakan jas hujan, alih-alih baju hazmat. Mereka juga tak memiliki goggles dan krisis masker serta sarung tangan.
Dalam konteks kesehatan yang lebih luas tidak hanya terbatas pada penanganan COVID-19, Papua memang merupakan provinsi tertinggal. Data Kementerian Kesehatan tahun lalu menyebut Papua adalah provinsi dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) paling rendah di Indonesia. Nilai IPKM Papua adalah 0,4888, bahkan lebih rendah dari angka nasional sebesar 0,4888.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino