Menuju konten utama
Slamet Iman Santoso

Bertungkus Lumus Memimpin Kampus UI di Peralihan Rezim

Di era Demokrasi Terpimpin, Slamet Iman Santoso tak takut beda pendapat dengan Bung Besar. Turut menakhodai UI di situasi genting peralihan rezim.

Bertungkus Lumus Memimpin Kampus UI di Peralihan Rezim
Header Slamet Iman Santoso. tirto.id/Fuad

tirto.id - Artikel terakhir dari empat seri artikel tentang Slamet Iman Santoso. Artikel sebelumnya dapat dibaca di sini.

Usai turut terlibat dalam pendirian Universitas Indonesia, lalu berkhidmat di Fakultas Kedokteran, dan lalu mengembangkan Fakultas Psikologi, per tahun akademik 1961/1962, Slamet Iman Santoso memasuki ring satu kepemimpinan Universitas Indonesia. Dia ditunjuk untuk mengisi posisi Pembantu Rektor I Bidang Akademik. Secara struktural, dia kini merupakan orang kedua sesudah Rektor UI Mayor Jenderal dr. Teuku Muhammad Sjarief Thajeb.

Tak lama berselang, Slamet pun ketiban sampur dengan ditunjuk menjadi Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Dengan itu, pada 1961, Slamet memegang tiga kursi jabatan sekaligus: Wakil Rektor, Dekan Fakultas Psikologi, dan Dekan FKIP.

Karena fokusnya terbelah tiga, Slamet mengambil jalan tercepat untuk membereskan persoalan di FKIP. Dia mengupayakan agar FKIP memiliki pengajar yang lebih profesional dan memiliki linearitas antara bidang yang diajarkan dengan jurusannya. Sebagai mula, Slamet mengirimkan beberapa pengajar yang belum punyai gelar kesarjanaan ke perguruan tinggi yang sesuai dengan cabang ilmu yang diampunya.

Tetapi, waktu saya menangani Jurusan Ekonomi FKIP, saya terbentur soal kepartaian. Pemimpin Jurusan Ekonomi FKIP adalah anggota PKI, sedangkan Fakultas Ekonomi UI adalah anggota PSI. Jadinya macet,” kenang Slamet dalam autobiografinya Warna-Warni Pengalaman Hidup (1992, hlm. 263).

Pada tahun-tahun itu, situasi ini lumrah lantaran jargon “politik adalah panglima” yang merasuk sampai ke lingkungan akademik. Sudah begitu, masih dipanasi pula dengan sengitnya persaingan antarpartai.

Ribut-ribut IKIP

Satu masalah lagi yang bikin pening Slamet adalah polemik pendirian Institut Pendidikan Guru (IPG). Pendirian lembaga ini diprakarsai oleh suatu faksi di dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang mendapat beking PKI.

Dalam suatu rapat dekan FKIP se-Indonesia, Slamet menganjurkan agar eksistensi institut itu tidak perlu dihiraukan. Sebaliknya, FKIP jangan sampai kalah saing dan karenanya haruslah meningkatkan mutunya.

Gagasan Slamet yang frontal itu lagi-lagi memicu pertentangan hingga Presiden Sukarno pun turun tangan. Secara politis, Sukarno memutuskan IPG dan FKIP harus lebur menjadi lembaga baru Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Masalah administrasinya kemudian menjadi domain Departemen Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan.

Karena diputuskan dari atas, Slamet tak bisa bertindak lain selain menjalankannya. Maka putar otaklah dia mencari cara mengintegrasikan dua lembaga itu. Dia lalu memutuskan bersurat kepada pimpinan IPG dan memintakan daftar pengajar dan mahasiswa IPG untuk keperluan integrasi.

Sekalipun surat tersebut saya kirim berulang kali, sampai-sampai saya harus mengirim telegram, saya tak pernah mendapat jawaban. Jadi, integrasi pun terlaksana awur-awuran saja,” ungkap Slamet dengan polos (1992, hlm. 266).

Pada akhirnya, Slamet tak kuasa juga menahan kesemrawutan yang disebabkan oleh campur tangan politik. Dan kegeraman Slamet pun meluap pada Hari Sarjana 1962. Sementara dekan lain dan wakil mahasiswa menyampaikan orasi menyanjung Manipol-USDEK dan Sukarno, Slamet justru menyampaikan pidato yang terdengar frontal.

Tugas ahli psikologi adalah menempatkan manusia berdasarkan the right man in the right place. Kalau itu dilaksanakan, maka Manipol-USDEK akan terlaksana. Jangan sampai terjadi the right man in the wrong place, the wrong man in the right place, apalagi the wrong man in the wrong place!”

Sontak, audiens terlongo-longo. Sukarno pun menangkis tak kalah ligatnya. Sengaja, nama Slamet menjadi satu-satunya guru besar yang tak disebutkan saat Sukarno naik panggung.

Tak habis di situ, beberapa bulan kemudian, Slamet dipanggil Komando Tertinggi (KOTI) untuk keperluan interogasi. Dia dapat tuduhan serius sebagai anti-Manipol dan anti-Bung Karno. Tak kehilangan ketenangan, Slamet meminta interogator menunjukkan letak perkataannya yang anti-Manipol.

Jadilah, sang interogator membolak-balik kertas pidato Slamet sampai interogasi macet 10 menit lamanya. Hasil interogasi itu keluar tiga pekan kemudian dengan bunyi keterangan aneh: “Slamet Iman Santoso.... orangnya jujur dan blak-blakan, tanpa tedeng aling-aling.... tetapi tidak berbahaya.... sebab tidak mempunyai pengikut!”

Bertahan dengan Kelakar

Karakter Slamet yang blakasuta dan prinsipiel sebagai seorang akademisi menjadi awal berbagai kejadian yang menggambarkan “perang dingin” antara UI dan rezim Demokrasi Terpimpin. Aspirasi Slamet di masa ini tak pelak diliputi berbagai anekdot yang menyuarakan keputusasaan, tapi juga tanda akal sehat yang menolak menyerah.

Misalnya, Slamet pernah ditanya oleh “utusan Istana”, mengapa dia tidak pernah diundang Sukarno seperti halnya rekan-rekan sejawat sesama dokter, seperti Prof. Sarwono Prawirohardjo, Prof. Soedjono Poesponegoro, Prof. Ouw Eng Liang, atau Prof. Asikin Widjajakusumah.

Slamet pun menjawab sekenanya bahwa keputusan itu adalah caranya untuk menjaga kehormatan nasional.

Maksudnya?”

Begini. Profesor Sarwono adalah ahli kandungan. Jadi kalau beliau datang ke Istana, itu barangkali Ibu Fatmawati sakit atau perlu diperiksa terkait kandungan. Profesor Soedjono ahli penyakit anak-anak, jadi barangkali Guntur atau adik-adiknya sakit. Prof. Ouw Eng Liang ahli penyakit gigi, mungkin salah satu penghuni istana sakit gigi. Prof. Asikin ahli penyakit dalam, mungkin batu ginjal Presiden ngadat. Lha, saya ini ‘kan ahli penyakit syaraf dan kejiwaan, jadi kalau saya datang ke istana....”

Sang utusan keluar sebentar. Ketika masuk, ia terpingkal-pingkal dan membalas Slamet dalam bahasa Jawa, “mBok manawi mangsuli sampun makaten (Kalau menjawab, mbok jangan begitu!)”

Slamet pun terkekeh-kekeh, “Lha, habis bagaimana?”

Satu-satunya masa terberat bagi Slamet waktu itu adalah pada zaman gemuruh Manifesto Kebudajaan. Salah seorang putri Slamet, Boen S. Oemarjati, adalah salah satu penandatangan manifesto yang keluar pada 17 Agustus 1963 itu. Sialnya, kediaman Slamet di Jalan Cimandiri 26 terletak persis berdepan-depan dengan kantor pusat Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) di Jalan Cidurian 19.

Oleh karena anak saya menandatangani Manifesto Kebudajaan itu, maka saya mendapat julukan Manike-Baas atau boss Manikebu dan rumah saya pun dijuluki Manike-huis atau rumah Manikebu,” terang Slamet.

Sikapnya yang prinsipiel menolak acuh pada kabar itu. Konsistensi juga dia tunjukkan saat menolak tekanan pihak eksternal yang menuntut H.B. Jassin dipecat dari UI hanya karena keterlibatannya mendukung Manifesto Kebudajaan.

Di Tengah Kemelut 1965

Pada pertengahan 1964, Sukarno menunjuk Rektor Sjarief Thajeb menjadi Menteri PTIP untuk Kabinet Dwikora I. Lalu, Prof. Soemantri Brodjonegoro dipilih menggantikannya sebagai UI-1. Soemantri agak rikuh memangku jabatan itu lantaran ada pembantu rektor seperti Slamet yang notabene seorang yang dituakan di UI.

Pak Slamet ketika itu hanya berkata ringan, dalam bahasa Jawa, ‘Sudahlah, jalan saja, tidak apa-apa. Kamu jadi Arjuna, nanti saya yang jadi Semarnya’,” catat Nizam Yunus dalam biografi Soemantri Brodjonegoro Teguh di Jalan Lurus (2007, hlm. 100).

Perkataan ini tepat dan benar-benar terbukti saat UI harus memilih jalan di simpang pergantian kekuasaan 1965–1966.

Sebagai rektor, Soemantri disibukkan dengan berbagai aktivitas seremonial dan agenda-agenda kunjungan kerja yang membuatnya lebih banyak menangani kegiatan luar kampus. Pada 28 September 1965, dia masih sempat menghadiri Hari Sarjana sekaligus meresmikan peletakan batu pertama kampus baru di Ciputat. Dua hari kemudian, dia diminta ikut ke Tiongkok dalam rombongan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) meninjau industri dan perkembangan teknologi di sana.

Karenanya, saat Gerakan 30 September dideklarasikan di RRI pada 1 Oktober 1965 pagi, Slamet-lah yang harus in-charge menghadapi situasi Jakarta yang tegang.

Pagi itu, dari Salemba 4, saya menelepon ke Departemen Pendidikan Tinggi dan lain instansi untuk mencari keterangan, bantuan, ataupun instruksi. Ternyata semua kosong blong,” ujar Slamet dalam autobiografinya (1992, hlm. 293).

Slamet tidak berani meninggalkan Rektorat di Salemba 4 karena berita masih simpang-siur. Sebagai Wakil Rektor UI, dia mesti bersiap jika UI membutuhkan pimpinannya. Keadaan ini berlangsung sampai beberapa hari kemudian. Pembagian peran baru bisa dia kerjakan sesudah Soemantri kembali dari Tiongkok, 10 hari setelah G30S.

Pada bulan-bulan selanjutnya, Soemantri tetap disibukkan dengan berbagai kunjungan ke luar sehingga tanggung jawab rumah tangga UI lebih banyak ditangani oleh Slamet. Berbagai keputusan yang lahir saat Slamet in-charge antara lain dukungan terhadap Tritura dan aksi-aksi mahasiswa pada awal Januari 1966, menolak tekanan untuk memberangus para eksponen KAMI, hingga mempersiapkan rapat terakhir saat Sukarno memutuskan pembubaran UI pada 2 Maret 1966.

Infografik Slamet Iman Santoso REV

Infografik Slamet Iman Santoso. tirto.id/Fuad

Mendukung Orde Baru

Ketika Soeharto berhasil mengamankan situasi, Slamet pun turut aktif memimpin ragam seminar terbuka di UI yang menggariskan cetak biru untuk rezim Orde Baru. Partisipasi proaktif ini kemudian menjadi salah satu pertimbangan Orde Baru kemudian menunjuk Slamet menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung pada 1966 hingga dipensiunkan pada 1972.

Saat menjadi anggota DPA, Slamet punya banyak gagasan, mulai dari soal serius seperti ideologi dan ekonomi hingga yang remeh seperti soal fasilitas AC di ruang sidang DPA. Tak semua dihiraukan karena Slamet yakin, “....dalam kumpulan orang serius, bijaksana, filosofis, saya hanya ‘orang nakal’ dari lapangan yang sudah biasa menghadapi realitas. Mana sendirian lagi!”

Di kampusnya, Slamet tetap menjabat Pembantu Rektor I dan Dekan Fakultas Psikologi. Meski begitu, dalam kegiatan sehari-hari, cukup banyak tugas Rektor Soemantri yang ditangani olehnya. Pasalnya, Soemantri diangkat sebagai menteri pada 1967 dan 1973 dan tak sekali dia jatuh sakit dan harus dirawat.

Berdasarkan ‘konvensi’ yang ada, seharusnya Prof. Slamet yang menggantikan Prof. Soemantri. Apalagi selama Prof. Soemantri sakit, Prof. Slamet adalah care-taker Rektor UI,” catat Antony Z. Abidin dkk dalam Mahar: Pejuang, Pendidik, dan Pendidik Pejuang (1997, hlm. 113).

Pada 18 Desember 1973, Soemantri berpulang dalam usia 47 tahun. Dewan Guru Besar yang bersidang lantas memilih Slamet sebagai salah satu kandidat pengganti. Namun, Slamet menolak atas pertimbangan usia dan kepantasan.

Secara usia, Slamet merasa bahwa jabatan rektor lebih pantas dipegang oleh yang lebih muda. Secara kepantasan, Slamet menilai tidak fair jika dia harus diadu dengan muridnya sendiri, Dekan Fakultas Kedokteran Prof. Mahar Mardjono, untuk jabatan rektor.

Karena Slamet mengundurkan diri, Mahar lantas menjadi calon tunggal dan seterusnya terpilih sebagai Rektor UI untuk masa jabatan 1974–1982.

Slamet kemudian juga melepaskan cukup banyak tugas-tugas di UI. Karenanya, dia jadi punya cukup banyak waktu luang. Meski begitu, dia masih dipercaya untuk mengurus seleksi mahasiswa baru.

Pun Slamet masih membuka praktik konseling hingga menyatakan penutupan praktik per 1 Januari 1979.

Meski sudah lewat kepala tujuh, Slamet masih juga dipercaya mengetuai Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional dan menjadi staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pemikirannya tentang pendidikan masih amat “didengar” dan dipertimbangkan di dua lembaga ini.

Di luar aktivitas resmi, Slamet sesekali masih menulis artikel di surat kabar, terutama terkait pendidikan. Pun masih kuat menyetir sendiri VW kodok putih dan bepergian ke mana saja. Namun, Slamet terus terang tidak suka berolahraga.

Pagi-pagi itu ‘kan hawanya segar, kok dipakai buat berkeringat, lebih baik dipakai tidur,” ujar Slamet suatu ketika.

Ketika ke kampus, dia tetap spontan dan tak kehabisan anekdot. Saat melihat mobil pejabat diparkir tidak sesuai alur, dia mengambil kertas, menulis ejekan “Barang siapa parkir miring, otaknya juga miring!”, lalu menempelkannya di kaca depan mobil itu.

Mahaguru yang meyakini prinsip “orang pandai menyederhanakan hal ruwet dan orang bodoh meruwetkan soal sederhana” itu menyempurnakan pengabdiannya sebagai dokter dan pendidik pada usia 97 tahun, pada 9 November 2004.

Baca juga artikel terkait UNIVERSITAS INDONESIA atau tulisan lainnya dari Chris Wibisana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Chris Wibisana
Penulis: Chris Wibisana
Editor: Fadrik Aziz Firdausi