Menuju konten utama

Bercerai dan Tetap Menjadi Orangtua yang Baik

Tak selamanya perpisahan menyebabkan dampak negatif bagi anak-anak.

Gading Martin dan Gisela Anastasia serta buah hatinya Gempita. INSTAGRAM/Gisel_la

tirto.id - Pada 21 November 2018, setelah kabar gugatan perceraiannya dengan Gading Marten menyebar, penyanyi Gisella Anastasia mengunggah foto di akun Instagram-nya. Yang ia unggah di akun @gisel_la itu adalah gambar dirinya bersama Gading dan Gempita, disertai keterangan tentang sikapnya.

"Mohon kebesaran hatinya untuk tidak menyebarkan berita yang tidak betul adanya karena kami ingin terus menjadi partner yang baik untuk mengasihi dan membesarkan Gempita sampai nanti walaupun jalannya tidak sempurna seperti semestinya..."

Kabar tentang perceraian itu direspons juga oleh warganet Twitter dengan tagar #SaveGempi. Gempi adalah nama panggilan Gempita, buah hati Gisella dan Gading. Dengan tagar itu, umumnya warganet menyayangkan perceraian dengan alasan "kasihan anak".

Apakah orangtua yang bercerai otomatis membikin sengsara anaknya?

Urusan pernikahan, perceraian, serta pengasuhan anak tak pernah sesederhana itu. Ada anak-anak yang tidak terurus meski orangtuanya berstatus suami-istri. Di sisi lain, banyak orangtua yang bercerai tetap bisa membesarkan anak dengan baik. Pasangan yang bercerai bisa, seperti diharapkan Gisel, "menjadi partner yang baik untuk mengasihi dan membesarkan" anak-anak.

Sebuah cerita yang dibagikan Azka Corbuzier, anak dari Dedy Corbuzier dan Kalina Oktarani pada 2015, dapat dijadikan gambaran. Unggahan video berjudul "Story of a Broken Home Kid" itu menceritakan kondisi keluarga Corbuzier setelah menikah hingga bercerai. Saat Azka berumur enam tahun, orangtuanya mulai sering bertengkar dan mereka memutuskan bercerai.

Meski memilih tinggal bersama ayahnya, sang ibu tiap hari datang membawakan makan, menyuapi, dan mengurusnya. Mereka tak lagi bertengkar, tetapi tetap memberikan kasih sayang untuk Azka, bahkan masih sering berlibur bersama. Bagi sang buah hati, Dedy dan Kalina memang tak lagi menjadi suami istri, tapi mereka tetap orangtuanya.

“It's not a broken home when you still have the same love from your parents,” tulisnya pada bagian video yang bergambar Dedy, dirinya, dan Kalina bergandengan tangan. "Jika ditanya apakah aku mau mereka rujuk, kujawab tidak karena mereka berhak bahagia."

Cerita senada dituturkan juga oleh Primadita Rahma. Baginya, anak tetap bisa berprestasi meski dibesarkan dalam perceraian. Ia bercerita soal orangtuanya yang berpisah ketika usianya menginjak empat tahun.

Menurut perempuan yang biasa dipanggil Dita ini, mereka memang tidak satu visi ketika memasuki gerbang pernikahan. Meski begitu, selama dua tahun pertama pernikahan hingga ia lahir, orangtuanya berusaha mempertahankan pernikahan, namun gagal.

“Mereka masing-masing punya penghasilan sangat besar. Muncul ego atas pengelolaan keuangan dan tidak ada yang mau mengalah,” ujar Dita mengungkap akar masalah keluarganya.

Cekcok keluarga tak berhenti di situ. Ayah Dita sempat melakukan kekerasan fisik dengan alasan memberi peringatan kepada istrinya. Ayahnya sempat menolak berpisah karena memikirkan Dita, tetapi ibunya memaksa. Akhirnya, pada 1992, mereka bercerai dan kini telah menjalani kehidupan baru dengan keluarga masing-masing.

Dita sendiri menjalani masa kanak-kanak yang bahagia. Ia juga tumbuh menjadi anak berprestasi, sering menyabet juara kompetisi-kompetisi bahasa.

“Saat ini, masing-masing orangtua saya jauh lebih berbahagia. Saya juga belajar menerima dan memaafkan, mereka berhak untuk bahagia. Saya pun juga.”

Tumbuh dalam Hubungan Beracun pun Buruk

Anak biasanya menjadi faktor utama yang menjadi pertimbangan ketika pasangan hendak bercerai. Padahal, tak selamanya perceraian membuahkan dampak buruk bagi anak. Justru anak akan ikut tertekan saat melihat orangtuanya berada dalam hubungan yang beracun, bertengkar, adu mulut, dan fisik setiap hari. Jika sudah begitu, tak jarang dari mereka malah mendukung orangtuanya berpisah.

Kisah selanjutnya dituturkan oleh Lily Noris. Masalah keluarganya bermula saat si nenek tinggal berdekatan dengan rumahnya. Kala itu, Lily sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Menurut Lily, neneknya selalu ikut campur urusan keluarga dan menjadi penyulut prahara rumah tangga ayah dan ibunya hingga sekarang

Orangtuanya masih terus melanjutkan pernikahan dan tinggal seatap karena memikirkan lima orang anak mereka. Anak paling kecil masih berumur enam tahun. Mereka mencoba menampilkan keadaan yang normal dan berjalan baik, tetapi anak-anaknya telah memahami kondisi sebenarnya. Lily, setidaknya, mendukung perceraian jika memang hal itu merupakan jalan terbaik.

“Kasihan ayah sudah tua, seharusnya menikmati masa tua, bukan hidup dalam tekanan dan ketakutan,” katanya.

src="//mmc.tirto.id/image/2018/11/23/perceraian--mild--quita-01.jpg" width="859" height="1527" alt="Infografik Membesarkan anak dalam perceraian" /

Lain cerita yang dituturkan Laksmi Wijayanti. Ia lahir dari orangtua yang sejak awal menikah tidak memiliki kecocokan. Meski sering beradu argumen dan melakukan kekerasan fisik, orangtua Laksmi tak pernah menampakkan itu semua di depan Laksmi. Ia hanya mengetahui sisa-sisa kekerasan rumah tangga itu lewat luka dan lebam di tubuh ibunya.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, sejatinya sang ibu telah lama mengeluh ingin berpisah. Namun, hal itu diurungkan. Persepsi bahwa anak akan tumbuh dengan lebih baik dengan keutuhan orangtua menghalangi niatnya. Kemudian, ayahnya memutuskan menikah lagi sebelum bercerai, memaksa sang ibu menerima poligami sepihak.

“Sejak kelas tiga SD saya sudah berpikir seharusnya mereka bercerai sejak awal. Tapi hal itu baru terealisasi saat saya jadi mahasiswi, sekitar tahun 2007 lalu,” tutur Laksmi.

Setelah keputusan diketok pengadilan, ia mengaku merasakan kelegaan luar biasa.

Seperti diceritakan Lily dan Laksmi, tak semua keutuhan orangtua membikin anak bahagia. Pada kasus-kasus tertentu, ada anak yang justru berharap orangtuanya berpisah untuk mengakhiri stres orangtua dan anak-anak.

Tips Mengasuh Anak bagi Orangtua yang Bercerai

Ketika memutuskan untuk berpisah, yang terpenting adalah komitmen orangtua dalam mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Laman Raising Children memberi beberapa tips untuk membantu anak mengatasi perpisahan orangtuanya. Pertama, anak-anak perlu diajak berdiskusi tentang perpisahan orangtuanya dengan bahasa yang sederhana, jelas, dan jujur.

Mereka tak perlu mengetahui secara rinci masalah orangtuanya, tetapi anak-anak berhak tahu apa yang terjadi. Mereka juga perlu diberi pemahaman bahwa semua akan kembali baik seperti sedia kala.

Orangtua juga perlu meluangkan waktu untuk menjawab pertanyaan anak dan perlu kepekaan untuk bisa membaca maksud tersirat mereka. Terkadang anak sulit menyatakan maksudnya, jadi lebih baik tanyakan kekhawatiran mereka dan tenangkan dengan kata-kata sederhana.

Jika perlu, mintalah orang lain seperti kakek-neneknya untuk berbicara pada mereka. Terkadang, lebih mudah bagi anak-anak berbagi perasaan dan pikiran dengan orang lain.

Terakhir, biarkan anak membuat keputusannya sendiri, misalnya dalam perkara tempat tinggal atau jadwal berkunjung. Jangan lupa untuk terus menjaga komunikasi, rutinitas, kebiasaan yang akrab, dan berbincang tentang perasaan mereka sebelum dan sesudah perceraian.

Baca juga artikel terkait PERCERAIAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani
-->