tirto.id - Membuka awal tahun ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani punya hajatan besar bersama DPR untuk meloloskan rancangan undang-undang (RUU) tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam sebuah rapat di Komisi XI awal Januari lalu, Sri Mulyani memulai fase baru pembahasan revisi UU PNBP yang sempat tertunda sejak 2012. PNBP selama ini diatur dalam UU yang sudah berumur 20 tahun yaitu UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP.
“Kami berterima kasih atas penyerahan DIM [daftar inventarisasi masalah]. Ini menunjukkan DPR bersama dengan pemerintah akan bersama-sama melakukan proses perubahan UU Penerimaan Negara Bukan Pajak,” kata Sri Mulyani.
Upaya revisi ini memang sulit tak dikaitkan dengan keinginan pemerintah mengejar pemasukan negara dari PNBP agar lebih besar. Apalagi, pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang fokus menggenjot infrastruktur yang butuh dana besar. Sesuai dengan namanya, PNBP merupakan seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Baca juga: Delapan Strategi Menkeu Tingkatkan Penerimaan Pajak
Seperti diketahui, penerimaan PNBP dalam dua tahun terakhir ini terus tertekan akibat harga komoditas sumber daya alam (SDA) yang anjlok. Realisasi PNBP pada 2015 hanya mencapai Rp255,62 triliun, turun 32 persen dari realisasi 2014. PNBP 2015 tercatat yang terendah sejak 2009 seiring rontoknya bisnis pertambangan.
PNBP yang berasal dari sektor SDA sempat menembus Rp240,8 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya mengalami penurunan menjadi Rp101 triliun pada 2015, dan makin susut jadi Rp64,9 triliun pada 2016.
Melihat realisasi PNBP yang mengecil, pemerintah terus memutar otak demi menyerap pendapatan lebih besar lagi, atau minimal mencapai target yang dipatok 2017 sebesar Rp260 triliun. Target ini memang lebih rendah dari realisasi PNBP 2016 senilai Rp262 triliun. Kondisi penerimaan negara dari PNBP yang sedang tak menggembirakan diperparah dengan penerimaan perpajakan setiap tahun hampir tak pernah tercapai target.
Baca juga:Target Pajak, Antara Ambisi dan Realisasi?
Revisi UU PNBP setidaknya bisa jadi jurus baru pemerintah untuk memaksimalkan kas negara. Namun rencana revisi UU mendapat banyak respons yang beragam dari berbagai kalangan. Ada yang pro ada juga yang kontra. Anggota DPR Komisi XI Michael Jeno, menilai penerimaan negara dari PNBP saat ini memang belum maksimal. Menurutnya, potensi penerimaan PNBP seharusnya sudah menembus Rp400 triliun.
“PNBP kita masih kecil kontribusinya terhadap pemasukan negara, baru sekitar Rp250 triliun. Padahal dalam kajian yang ada, potensi PNBP jauh lebih besar dari itu. Tentu butuh kerja keras," katanya dikutip dari Antara.
Berseberangan dengan Jeno, Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai revisi UU PNBP tersebut justru membuat beban hidup rakyat kian bertambah. Salah satu yang paling disorot Rizal antara lain menyangkut pelayanan pemerintah di sektor pendidikan. Menurutnya, pendidikan seharusnya bebas dari pungutan biaya tak kecuali dari komponen PNBP.
Dari Urusan Cerai Hingga Daftar Kampus Negeri
Dalam draft RUU PNBP, pemerintah memang berencana untuk memungut biaya dari layanan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Pungutan yang dimaksud adalah dari uang pendaftaran dalam rangka ujian saringan masuk perguruan tinggi negeri.
Selain pendidikan, pemerintah juga menyasar layanan publik lainnya untuk dapat dipungut biaya. Misalnya, izin senjata api, izin mempekerjakan tenaga kerja asing, pengujian obat dan makanan hingga bagian dari sertifikasi tanah.
Baca juga: Berapa yang Diperoleh Negara dari Kenaikan Tarif STNK/BPKB?
Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Vennie, mengatakan tarif PNBP untuk layanan pertanahan masih mengacu pada PP No. 128/2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Kementerian ATR.
Menilik PP No. 128/2015, sertifikasi atau pendaftaran tanah sudah dikenakan tarif PNBP. Pelayanan pendaftaran tanah terbagi atas dua hal yakni pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Untuk pendaftaran tanah pertama kali, terdapat tujuh jenis pelayanan yang dikenai tarif PNBP. Sedangkan, pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah ada sebanyak 22 jenis pelayanan. Kisaran tarif pelayanan mulai dari Rp50.000 sampai dengan Rp50 juta. Masuknya sektor pertanahan dalam draf RUU PNBP, menandakan sektor ini jadi ladang tambahan untuk menggenjot penerimaan negara.
Selain itu, pencatatan cerai juga bakal dipungut biaya, menyusul pencatatan nikah dan rujuk yang lebih dulu kena biaya PNBP. Masuknya PNBP dalam ranah proses cerai memang tak mengherankan bila melihat potensi penerimaan negara. Angka perceraian di Indonesia terbilang tinggi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kasus penceraian periode 2012-2015 terus bertambah.
Pada 2012, jumlah penceraian tercatat sebanyak 346.480 kasus. Pada tahun berikutnya, angka perceraian sempat turun ke 324.247 kasus. Namun, pada 2014 dan 2015 meningkat masing-masing 344.237 kasus dan 347.256 kasus.
Rencana pungutan biaya PNBP di sektor pendidikan hingga pendaftaran cerai di kementerian agama, memunculkan pertanyaan soal potensinya. Apakah akan signifikan?
Menilik Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016, porsi penerimaan PNBP dari badan layanan umum (BLU) terbilang kecil ketimbang PNBP lainnya, yaitu penerimaan dari sumber daya alam (SDA) dan PNBP lainnya.
Sepanjang 2016, penerimaan dari BLU menyumbang 16 persen, atau senilai Rp41,95 triliun dari total penerimaan PNBP sebesar Rp261,97 triliun. Penerimaan SDA menyumbang 25 persen, dan penerimaan PNBP lainnya menyumbang 45 persen.
Kendati demikian, pertumbuhan penerimaan PNBP dari BLU pada 2016 cukup positif, yakni naik 18 persen dari realisasi 2015 sebesar Rp35,31 triliun. Hal ini berbanding terbalik dengan penerimaan PNBP dari SDA yang justru melorot 36 persen, menjadi Rp64,9 triliun.
Pendapatan dari PNBP lainnya tumbuh paling tinggi yakni mencapai 44 persen atau sebesar Rp117,99 triliun dari realisasi 2015 sebesar Rp81,69 triliun. Adapun, pendapatan dari laba BUMN mencapai Rp37,13 triliun, atau turun 1 persen.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai fokus sasaran pemerintah meningkatkan PNBP, terutama dari layanan publik tidak tepat, dan justru menimbulkan persoalan baru.
“Biaya dari layanan publik yang meningkat berpotensi mengerek inflasi. Kalau inflasi sudah naik, maka angka kemiskinan juga pasti ikut naik. Jadi kontraproduktif nantinya,” ujar Bhima kepada Tirto.
Menurut Bhima, pemerintah lebih baik fokus terhadap penerimaan PNBP dari SDA dan dividen BUMN. Ia menilai pungutan PNBP dari SDA dan BUMN belum maksimal karena proses administrasi yang belum tertib.
Ia mencontohkan PNBP dari PT Freeport Indonesia. Berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditemukan bahwa Freeport tidak membayar PNBP sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dilansir dari Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS)Semester I-2017, BPK menghitung kekurangan PNBP dari Freeport dari 2009 sampai dengan 2015 mencapai US$445,96 juta atau setara Rp5,97 triliun dengan kurs Rp13.400 per US$.
“Ini baru Freeport, belum dari kontraktor-kontraktor lainnya, baik di batu bara maupun migas (minyak dan gas). Bahkan, volume ekspor batu bara juga enggak pernah sesuai, ini kan artinya administrasinya belum beres,” kata Bhima.
Sri Mulyani dan DPR masih ada waktu untuk menggodok lebih matang soal rencana penerapan PNBP terbaru khususnya yang menyentuh dengan pelayanan publik. Persoalan ini memang sudah jadi konsen pemerintah, akhir Agustus lalu Sri Mulyani dipanggil Presiden Jokowi di Istana membahas soal PNBP. Ia mengungkapkan pemerintah tetap akan menyeimbangkan fungsi pelayanan kepada masyarakat dengan kebutuhan untuk penerimaan negara terutama dari BLU pendidikan dan kesehatan.
"Jangan membebani masyarakat. Penetapan PNBP oleh kementerian dan lembaga harus dipertimbangkan hati-hati dengan mempertimbangkan aspek daya beli masyarakat," kata Sri Mulyani.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra