tirto.id - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggagas pembentukan Pusat Koordinasi Multi Bahaya di Kawasan Asia Tenggara.
Gagasan ini mengemuka dalam AEIC Strategic Meeting Forum di sela-sela agenda KTT ke-42 ASEAN.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan, gagasan tersebut merupakan respons terhadap semakin kompleksnya fenomena multi-hazard yang berpotensi terjadi di kawasan ASEAN.
“Tidak hanya Indonesia, semua negara di kawasan Asia Tenggara juga menghadapi situasi yang sama di mana bencana yang menghantam terjadi begitu banyak dan dalam waktu bersamaan. Frekuensi kejadiannya pun semakin sering dengan intensitas meningkat dan durasinya makin lama,” ungkap Dwikorita di Labuan Bajo, dikutip Jumat (12/5/2023).
Pertemuan tersebut dihadiri Perwakilan Malaysia, Timor Leste, Myanmar, dan Philipina, serta Kementrian Luar Negeri, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI), IOTIC-UNESCO, pakar kebencanaan dari Institute Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dwikorita menyampaikan, BMKG selaku institusi yang mengoperasikan ASEAN Earthquake Information Center (AEIC) memandang perlunya memformulasikan rencana strategis di kawasan untuk mengantisipasi berbagai ancaman bencana tersebut.
Kesamaan kompleksitas latar belakang tataan tektonik dan lokasi geografik di kawasan ASEAN, lanjut dia, sangat mungkin menjadikan seluruh wilayah negara ASEAN memiliki potensi multi-hazard di mana kejadian bencana geologi bersamaan dengan kejadian bencana hidrometeorologi, atau yang dikenal sebagai bencana Geo-Hidrometeorologi.
“Isu ini harus mendapat perhatian semua kepala negara ASEAN, karena dari pengalaman yang sudah-sudah, kejadian gempabumi dan tsunami yang kompleks dan menimbulkan banyak korban jiwa, justru terjadi pada saat sistem peringatan dini bahkan Standar Operasional Prosedur (SOP) belum disiapkan, akibatnya kita tidak dapat meminimalisir dampak dari bencana tersebut,” tambahnya.
Strategi ini, kata Dwikorita, merupakan bentuk mitigasi bersama negara-negara di Kawasan Asia Tenggara yang memiliki banyak kesamaan.
“Gempa yang terjadi di Turki beberapa waktu lalu menjadi peringatan buat semua negara-negara yang rawan bahwa bencana seperti itu bisa terjadi kapan saja dengan dampak yang lebih buruk jika tidak segera dilakukan upaya mitigasi secara komprehensif,” ujar Dwikorita.
Sementara itu, Pakar dari ITB sekaligus juga Ketua Ikatan Ahli Bencana Indonesia, Harkunti mengatakan bahwa negara-negara ASEAN melalui AEIC diharapkan dapat mengimplementasikan dua tujuan dari UN DECADE OCEAN SCIENCE.
Tujuan tersebut adalah capaian agar pada tahun 2030, komunitas-komunitas yang berada di wilayah berisiko tsunami memiliki kapasitas kesiapsiagaan dan resiliensi, sekaligus memastikan peringatan dini yang terimplementasi dengan baik.
“Jadi, baik Early Warning dan Early Action dapat diimplentasikan dengan baik,” tutur Harkunti.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Indonesia menyambut baik gagasan yang dikemukakan BMKG tersebut dan akan mengupayakan untuk mengangkat isu tersebut di KTT ASEAN Ke-42.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan Filipina Ishmael Narag mengatakan, bahwa seluruh member AEIC harus bekerja sama dan berkolaborasi untuk menghadapi tantangan bumi kekinian.
“Tidak hanya terkait pada penguatan sistem pendukung monitorin AEIC, tetapi juga kerjasama saintifik, melakukan riset bersama, agar penguatan kapasitas keilmuan dari negara-negara anggota AEIC akan semakin meningkat,” ujarnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri