Menuju konten utama

Benarkah Jenazah Korban Gempa & Tsunami Sebabkan Wabah Penyakit?

Selama ini, kita memahami teori salah tentang manajemen penanganan jenazah pasca-bencana.

Benarkah Jenazah Korban Gempa & Tsunami Sebabkan Wabah Penyakit?
Warga mencari korban gempa dan tsunami yang tewas di RS Bhayangkara, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Sudah tiga hari sejak gempa dan tsunami melanda Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah pada Jumat sore (28/9/2018). Mayat dari korban meninggal akan segera dimakamkan secara massal pada hari ini. Seperti kebanyakan anggapan, tim evakuasi khawatir jenazah yang dibiarkan terlalu lama justru akan menimbulkan wabah penyakit baru, benarkah demikian?

Sementara ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban tewas sebanyak 832 orang. Data per Minggu (30/9/2018) pukul 13.00 WIB menyebutkan, sebanyak 821 korban meninggal dari Palu dan 11 di Donggala. Jumlah korban meninggal diperkirakan masih bisa bertambah lantaran pendataan di daerah terdampak selain Palu, masih terhambat. Listrik, jaringan komunikasi, dan akses jalan pun belum pulih.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan para korban meninggal akan segera dimakamkan secara massal guna mencegah penyebaran penyakit. Keterangan tersebut juga diafirmasi Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo. Ia menegaskan pemakaman akan mulai dilakukan pada hari ini, Senin, 1 Oktober 2018.

"Mengingat sebagian besar [jenazah] sudah mulai membusuk. Apabila tak segera dimakamkan, akan menimbulkan penyakit," kata Dedi.

Wabah Terjadi Jika Jenazah Meninggal karena Penyakit

Anggapan bahwa pemakaman korban meninggal pasca-bencana harus dilakukan sesegera mungkin guna menghindari penyakit sudah menjadi pemahaman umum. Pada bencana tsunami Aceh pada 2004 lalu, seperti diberitakan oleh Tempo, sempat diusulkan pembakaran mayat korban karena penguburan massal dianggap tidak cukup mengakomodir pemakaman korban. Ada kekhawatiran timbul epidemi apabila mayat tak segera ditangani.

World Health Organization (WHO), organisasi kesehatan dunia di bawah PBB telah menerbitkan panduan tentang manajemen evakuasi jenazah pasca-bencana. Dalam panduan sebanyak 194 halaman tersebut, WHO menyatakan bahwa mayat dari bencana alam tidak menyebabkan wabah penyakit. Secara repetitif mereka menegaskan bahwa selama ini kita mempercayai teori yang salah.

Korban bencana alam lazimnya tewas karena trauma, tenggelam, atau kebakaran sehingga tidak mengandung organisme penyebab epidemi. Kecuali kematiannya disebabkan oleh penyakit yang sangat menular seperti ebola, demam lassa, TBC, atau kolera, dan ketika bencana terjadi di daerah endemik penyakit yang sangat menular. Pada kasus terakhir, manajemen perawatan jenazah perlu diterapkan secara khusus, sebab vektor tertentu seperti lalat, kutu, binatang pengerat, atau lainnya dapat menularkan mikroorganisme di dalam mayat.

Namun, risiko kesehatan yang ditimbulkan secara langsung pada kasus terakhir pun terbilang kecil. Jenazah hanya menimbulkan risiko kesehatan terbatas, karena ketika mayat mengering, maka suhu tubuh akan turun dengan cepat. Bakteri dan virus yang paling resisten pun akan mati ketika tak memiliki inang, sehingga sulit terjadi proses transfer mikroorganisme dari mayat ke vektor, dan dari vektor ke populasi manusia. Jenazah di daerah endemik penyakit hanya menjadi pembawa agen etiologi, tanpa menjadi penyebab epidemi.

Bau dari tubuh membusuk juga bukan risiko kesehatan, apalagi pada daerah berventilasi bagus. Penggunaan masker untuk alasan kesehatan yang berkaitan dengan bau mayat tidak diperlukan. Kecuali masker khusus untuk keselamatan dalam beberapa keadaan, misalnya menghadapi gas beracun, asap, partikel, dll.

“Jika Anda mendengar pernyataan tentang perlunya penguburan massal atau pembakaran jenazah untuk menghindari epidemi, bantah mereka dengan rujukan ini,” demikian tertulis dalam laporan WHO.

Infografik Penanganan mayat pasca bencana

Manajemen Perawatan Jenazah Pasca-Bencana

Masih merujuk pada pedoman perawatan jenazah dari WHO, di tahun 1994, Zaire, Afrika Tengah sebanyak 12 ribu pengungsi Rwanda meninggal karena epidemi kolera. Saat itu terdapat keyakinan, wabah menyebar cepat dari jenazah para korban. Namun hasil penelitian menunjukkan faktor lain berupa kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan kurangnya air minum sebagai penyebab utama penyebaran kolera.

“Mayat-mayat mencemari sumber air minum,” laporan WHO menyebut.

Risiko diare bisa didapat dari air minum yang terkontaminasi feses jenazah. Setelah meninggal, otot tubuh akan berubah menjadi rileks termasuk kandung kemih dan usus sehingga membuat kotoran yang tersisa, keluar. Manajemen buruk dalam memperlakukan jenazah korban bencana alam dapat membuat kotoran ini merembes dan mengontaminasi sumber air.

WHO tegas menyatakan pengumpulan jenazah bukan hal paling mendesak setelah bencana. Prioritas utama adalah menyelamatkan dan merawat korban selamat. Manajemen perawatan jenazah menitikberatkan pada proses identifikasi dan dokumentasi secepatnya, sebelum tubuh terdekomposisi. Jika memungkinkan, jenazah disimpan menggunakan kontainer, sisa-sisa tubuh harus disimpan atau dikubur sementara untuk penyelidikan forensik di masa depan.

“Tubuh perlu diberi kode unik yang wajib ada di semua foto. Harus ada informasi rinci ditempel pada tubuh, kantong mayat, dan pemakaman.”

Untuk menghindari ancaman binatang pemakan bangkai, sebaiknya jenazah dimakamkan dengan kedalaman tanah 90 cm sampai 1,2 meter. Peti mati untuk meletakkan jenazah harus terbuat dari bahan yang cepat terurai. Sebaiknya, pemakaman dipilih di sekitar zona penyangga dengan tumbuhan berakar agar membantu menghilangkan mikroorganisme pada jenazah.

Yang harus diperhatikan, guna mencegah kontaminasi air dari jenazah, antara tempat pemakaman dan sumur minimum berjarak 250 meter. Jarak aman antara tempat pemakaman dan aliran air adalah 30 meter dan dari saluran air 10 meter. Sisa-sisa mayat harus dikubur di atas permukaan air tanah untuk melindungi air tanah.

WHO memberi tips mengurangi pencemaran air dengan melarang pelepasan produk sampingan kimia yang persisten ke lingkungan dan memberi desinfektan rutin pada air untuk mencegah penyakit.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani