Menuju konten utama

Bekas Napi Korupsi yang Menggugat Larangan KPU

Gugatan dilayangkan lantaran aturan tersebut dianggap bertentangan dengan undang-undang dan melanggar hak asasi.

Bekas Napi Korupsi yang Menggugat Larangan KPU
Petugas KPU memperlihatkan alur pendaftaran bakal calon Anggota Legislatif yang akan mendaftarkan diri untuk caleg DPR RI di Gedung KPU RI, Jakarta, Rabu (4/7/2018). ANTARA FOTO/ Reno Esnir

tirto.id - Aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang melarang eks terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual pada anak untuk menjadi bakal calon anggota legislatif (caleg) digugat sejumlah politikus yang pernah menjadi terpidana. Gugatan dilayangkan lantaran aturan tersebut dianggap bertentangan dengan undang-undang dan melanggar hak asasi.

Para penggugat adalah Patrice Rio Capella, Al Amin Nur Nasution, Sarjan Tahir, dan Darmawati Dareho. Keempatnya merupakan bekas terpidana kasus korupsi yang diproses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka keberatan dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Menurut Patrice Rio Capella, gugatan diajukan karena ia dan tiga penggugat lainnya menilai PKPU 20/2018 menghilangkan hak sipil dan politik warga untuk menjadi wakil rakyat.

“Tidak boleh hak warga negara secara konstitusi hilang dalam kondisi dan alasan apa pun, itu HAM lho. Kecuali atas putusan pengadilan atau UU yang membatasi,” ujar lelaki yang akrab disapa Rio ini saat dihubungi melalui telepon oleh sejumlah wartawan, Selasa (10/7/2018).

Anggapan PKPU 20/2018 melanggar UU dan HAM muncul karena terdapat ketentuan pada pasal 4 ayat 3 yang berbunyi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi,”

Menurut Rio, KPU seharusnya tidak menghilangkan hak orang yang hendak menjadi caleg, terlebih larangan tersebut hanya berdasarkan asumsi dan tidak berlandaskan hukum. “Itu tak bisa jadi alasan yuridis seseorang dihilangkan haknya [menjadi caleg],” ujar Rio.

Ia balik mempertanyakan tujuan larangan ini. Rio berkata, tak ada jaminan anggota parlemen akan lebih kredibel jika dari awal proses seleksinya tidak melibatkan mantan terpidana kasus korupsi.

“Ukurannya apa? Kan mereka hanya jadi caleg saja, belum tentu terpilih. Lihat di daerah, ada orang yang terpaksa tanda tangan atas perintah atasan, tidak ngapa-ngapain, kemudian kena [kasus korupsi]. Jadi apakah orang seperti itu juga akan kehilangan haknya?” kata Rio berdalih.

Di balik gugatan ini, Rio mengklaim mereka tidak berhubungan dengan parpol mana pun. Gugatan tersebut, sebut politikus asal Bengkulu ini, murni muncul karena para penggugat merasa dirugikan sebab menyandang status mantan terpidana kasus korupsi.

Kasus Hukum Para Penggugat Aturan KPU

Patrice Rio Capella, Al Amin Nur Nasution, Sarjan Tahir, dan Darmawati Dareho, yang menggugat PKPU 20/2018 merupakan bekas terpidana kasus korupsi. Mereka terlibat kasus rasuah yang berbeda-beda.

Rio Capella

Rio terjerat kasus penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah badan usaha milik daerah di Provinsi Sumatera Utara yang disidik Kejaksaan Agung. Rio menerima gratifikasi dari Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti, sebesar Rp200 juta melalui Fransisca Insani Rahesti, pegawai staf magang di kantor OC Kaligis.

Pemberian tersebut dilakukan agar Rio membantu “mengamankan” kasus bansos yang ditangani Kejaksaan Agung karena nama Gatot tercantum sebagai tersangka perkara tersebut. Atas perbuatannya, Rio dijerat Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Di persidangan, Rio Capella divonis hukuman pidana penjara selama 1,5 tahun oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat pada 21 Desember 2012. Ia kemudian menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung dan bebas pada 22 Desember 2016.

Al Amin Nur Nasution

Al Amin Nur Nasution merupakan eks terpidana dua kasus korupsi yakni perkara suap proses alih fungsi hutan lindung dan proyek pengadaan alat di Departemen Kehutanan pada 2008.

Pada kasus suap alih fungsi hutan lindung, Al Amin terbukti meminta dana Rp 3 miliar kepada Sekretaris Daerah Bintan saat itu, Azirwan. Ia juga meminta uang Rp 100 juta dan Rp 150 juta untuk kunjungan kerja anggota DPR ke India dan Bintan.

Kemudian, Al Amin terbukti meminta komisi dari perusahaan rekanan proyek pengadaan alat di Departemen Kehutanan. Ia menerima total komisi sekitar Rp 1,3 miliar dari dua perusahaan terkait.

Politikus PPP itu awalnya dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Akan tetapi, pada tingkat banding hukumannya diperberat menjadi 10 tahun penjara. Tambahan masa hukuman diberikan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena Al Amin terlibat skandal perempuan dalam kasus yang ia hadapi.

Sarjan Tahir

Sarjan Tahir merupakan bekas anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Ia sempat ditahan 4,5 tahun karena terbukti menerima suap dalam kasus penerbitan rekomendasi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang menjadi Pelabuhan Tanjung Api-api, Banyuasin, Sumatera Selatan. Vonis baginya diberikan Pengadilan Tipikor Jakarta pada 28 Januari 2009.

Uang suap yang diterima Sarjan berjumlah total Rp 360 juta. Kasusnya saat itu juga melibatkan beberapa anggota Komisi IV DPR RI. Saat terlibat kasus, Sarjan berstatus sebagai kader Partai Demokrat.

Darmawati Dareho

Ia merupakan bekas pegawai Kementerian Perhubungan. Darmawati terbukti bersalah dalam kasus suap kepada anggota DPR RI pada 2009 silam. Ia ditangkap KPK saat bersama eks anggota Komisi V DPR Abdul Hadi Djamal pada 2 Maret 2009. Saat itu, KPK juga menyita barang bukti uang $90 ribu dan Rp 54 juta.

Saat ditangkap KPK, Darmawati menjabat sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Distrik Navigasi Pelabuhan Tanjung Priok, Kementerian Perhubungan. Ia divonis hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 150 juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 27 Juli 2009.

Darmawati bebas dari bui pada Desember 2010 setelah menjalani 2/3 masa hukuman. Saat bebas, ia sudah menjalani hukuman 1 tahun 9 bulan 10 hari dari vonis 3 tahun penjara.

Infografik Pencabutan Hak Politik

Tanggapan KPU

Menanggapi gugatan dari 4 eks terpidana kasus korupsi, KPU siap memenuhi panggilan sidang dari MA. Komisioner KPU RI Hasyim Asy'ari berkata, lembaganya siap memberi keterangan dalam sidang jika dibutuhkan.

“Secara yuridis memang jalurnya demikian. Uji materi terhadap aturan KPU memang jalurnya lewat JR atau uji materi ke MA [...] KPU juga akan memberikan jawaban kalau sudah ada pemberitahuan dari MA untuk berikan jawaban soal hal ini,” ujar Hasyim di kantornya.

KPU sebelumnya telah menyatakan siap menerima gugatan atas aturannya. Ketua KPU RI Arief Budiman sempat menyebut, polemik soal PKPU 20/2018 sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum, alih-alih hanya diperdebatkan di ruang publik.

“Ya enggak apa-apa kalau ada pendapat yang berbeda, cuma saya berharap perbedaan itu enggak disebarkan di luar. kalau ada yang berbeda dan tidak setuju undang-undang mengatakan kalo ruangnya ada di Mahkamah Agung,” ucap Arief di Kantor Pusat PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat Rabu (4/7/2018).

Menurutnya, membawa polemik ini ke ruang publik hanya akan menghasilkan perdebatan. Bagi Arief, judicial review merupakan langkah yang tepat bagi mereka yang tidak setuju dan biarkan hakim yang memutuskan hasilnya.

“Biarkan saja [diputuskan lewat] ruang yang telah ditetapkan undang-undang untuk memutuskan ini [PKPU] benar atau tidak,” ucap Arief.

Baca juga artikel terkait HAK POLITIK atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Mufti Sholih