tirto.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyerahkan jaksa Kejaksaan Negeri Surakarta, Satriawan Sulaksono ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (21/8/2019). Satriawan memang sudah dicari KPK sejak operasi tangkap tangan dilakukan di Yogyakarta, Senin, 19 Agustus 2019.
Satriawan sebenarnya belum masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) komisi antirasuah. Namun ketika ia ditetapkan sebagai tersangka, Satriawan belum tertangkap. KPK bahkan sempat meminta dia menyerahkan diri.
Keesokan harinya, Kejaksaan Agung yang diwakili Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Jan S. Maringka menyerahkan Satriawan. Hal ini diungkapkan Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah, Rabu kemarin.
“Ada tamu dari Kejagung yang menyerahkan 1 orang tersangka jaksa SSL yang kemarin sudah ditetapkan menjadi tersangka,” kata Febri.
Dalam kasus suap jaksa ini, Satriawan berperan mengenalkan jaksa Kejari Yogyakarta Eka Safitra yang merupakan anggota Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) dengan Gabriella Yuan Ana selaku Direktur Utama PT. Manira Arta Mandiri.
Gabriella hendak membuat kesepakatan di belakang agar menjadi pemenang lelang proyek pengadaan drainase di Pemkot Yogyakarta. Namun, belum diketahui berapa fee yang diterima Satriawan.
Akibat perbuatannya itu, Satriawan bersama Eka disangkakan dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbedaan Tindakan Kejaksaan
Kasus OTT jaksa kali ini bukan yang pertama terjadi. Pada akhir Juni 2019, misalnya, KPK bahkan menangkap tangan sejumlah jaksa yang menerima suap dari peserta sidang.
Kasubsi Penuntutan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yadi Herdianto, dan Kasi Kamnegtibum TPUL Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Yuniar Sinar Pamungkas ditangkap KPK karena menerima suap untuk rencana tuntutan perkara.
Dalam pengembangan, KPK menangkap Asisten Pidana Umum Kejati DKI Jakarta Agus Winoto.
Dugaan suap yang menjerat Agus Winoto bermula dari laporan Sendy Perico di Polda Metro Jaya terhadap Hary Suwanda dan Raymond Rawung. Karena laporannya di Polda Metro, berkas penyidikannya dilimpahkan ke Kejati DKI Jakarta. Oleh karena perbuatan pidananya terjadi di wilayah hukum Jakarta Barat, perkaranya pun terdaftar di Kejaksaan Negeri Jakbar.
Singkat cerita Sendy dan Hary mencapai kesepakatan damai dan berharap tuntutan diperingan. Sendy akhirnya mencari cara agar jaksa mengubah rencana tuntutan.
Karena perkara di Kejari Jakbar, nama anak Jaksa Agung yang juga Kajari Jakarta Barat, Adhinugroho Arianto ikut terseret. Dia sempat diisukan menjadi objek OTT KPK. Namun, hal ini kemudian dibantah Jaksa Agung M. Prasetyo.
Menurut Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, alasan itu yang membuat kasus di Kejati DKI menjadi "spesial." Dua jaksa yang terlibat, Yuniar dan Yadi, diserahkan KPK kepada Kejaksaan Agung.
“Mungkin karena itu terjadi di wilayah kerjanya anak Jaksa Agung. Jadi kekhawatiran, sehingga Kejagung bergerak," kata Boyamin kepada reporter Tirto, Kamis (22/8/2019).
Sedangkan dalam kasus di Yogyakarta, Boyamin memandang "aneh" ketika Kejagung justru sukarela menyerahkan Satriawan kepada KPK.
“Ada perbedaan perlakuan. Mungkin karena itu [Yogyakarta] hanya melibatkan anak buah. Sedang di Kejati DKI merembet ke Jawa Tengah dan terjadi di lingkungan anak JA,” kata Boyamin menambahkan.
Namun, Boyamin khawatir masuknya Kejagung dalam penanganan perkara kasus Kejati DKI ini akan membuat kasus tidak selesai. Padahal dalam aturan UU tentang KPK Pasal 50 menyebutkan Kejaksaan dan Polri tidak bisa menyidik kasus apabila sudah ditangani KPK.
Nantinya, kata dia, hal ini bisa menjadi dalih membebaskan jaksa bermasalah yang disidik KPK. “Saya menduga nanti bisa jadi jaksa bermasalah lepas dengan alasan penyidikan tidak sah,” kata dia menambahkan.
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Jan S. Maringka tidak menampik bila dikatakan ada perbedaan sikap dari Kejagung soal dua kasus tersebut. Dia beralasan, perbedaan itu semata-mata karena Kejaksaan Agung dahulu juga sedang menyidik kasus yang melibatkan Yadi dan Yuniar.
“Kasusnya berbeda, yang ditangani Kejagung beda dengan yang ditangani [KPK soal Kejati] DKI," kata Jan kepada reporter Tirto. "Kalau yang di Yogya sama Solo satu kejadian yang sama."
Namun, Jan belum mau mengungkap kasus apa yang melibatkan Yadi dan Yuniar. Dia menegaskan hal itu akan terungkap dalam persidangan. “Lihat saja di persidangan bulan depan,” kata Jan.
Harus Koordinasi
Terkait ini, salah satu anggota Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII) Bivitri Susanti masih percaya Kejagung tidak akan sengaja menyidik kasus berbeda untuk membebaskan jaksa bermasalah.
Namun, dia berharap Kejagung melakukan penyidikan sesuai aturan dan berkoordinasi dengan KPK. Hal itu bisa mencegah nepotisme.
"Saya yakin akan ada koordinasi. Harus ada koordinasi biar perkara tidak jadi tuntas karena kesalahan prosedur," kata Bivitri kepada reporter Tirto.
Meskipun demikian, Bivitri mengakui ada kemungkinan perbedaan perlakuan beberapa kasus yang melibatkan jaksa. Hal itu karena aturan yang memang belum tegas dan harus diperbaiki.
“Conflict of interest dalam penegakan hukum memang sering terjadi. Biasanya di Kejaksaan dan Polri. Karena memang belum ada sistem di sana mencegah conflict itu," ucapnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz