tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar operasi tangkap tangan, pada Jumat (9/6/2017) dini hari. Dalam OTT ini, komisi antirasuah mengamankan tiga orang, salah satunya adalah oknum jaksa bernama Parlin Purba, yang menjabat sebagai Kepala Seksi Intel III Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu.
Sementara dua orang lainnya, yang juga terjaring OTT di salah satu resto di objek wisata Pantai Panjang, Kota Bengkulu, diketahui merupakan seorang kontraktor dan aparatur di Balai Sungai Sumatera VII Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bengkulu, Ahmad Fuadi, membenarkan perihal penangkapan yang melibatkan salah seorang jaksa tersebut.
Ahmad Fuadi juga mengkonfirmasi, pada Kamis (8/6/2017) malam digelar perpisahan dengan Kejati Bengkulu, Sendjun Manullang, di The View Resto di Pantai Panjang. Menurut dia, seluruh jajaran Kejati Bengkulu menghadiri acara perpisahan tersebut, termasuk Parlin Purba.
Hari ini, KPK membawa tiga orang yang terjaring dalam OTT tersebut ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. OTT kali ini diduga terkait indikasi korupsi yang berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oknum jaksa di Kejati Bengkulu.
“Ya benar, ada operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK di Bengkulu. Kami amankan tiga orang yang dibawa ke Jakarta hari ini, yaitu dari unsur swasta, pejabat pengadaan, dan unsur penegak hukum,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, seperti dikutip Antara, Jumat.
Febri mengatakan, sesuai dengan KUHAP, komisi antirasuah masih memiliki waktu maksimal 24 jam sebelum menentukan status dari pihak-pihak yang diamankan pada OTT tersebut.
Kasus OTT yang melibatkan oknum jaksa ini, juga pernah terjadi di Kejati DKI Jakarta, dan Kejati Jawa Barat. Pada 31 Maret 2016, misalnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang yang diduga mencoba melakukan penyuapan terhadap oknum Kejati DKI.
Dalam OTT tersebut KPK menemukan barang bukti berupa uang sejumlah 148.835 dolar AS yang diduga akan diberikan kepada oknum Kejati DKI Jakarta. Uang tersebut diduga sebagai konpensasi agar Kejati DKI menghentikan pengusutan perkara dugaan korupsi di PT Brantas Abipraya (BA).
Komisi antirasuah pun menetapkan Dandung Pamularno (DPA), Marudut (MRD), dan Sudi Wantoko (SWA) sebagai tersangka. Dalam kasus ini, Sudi dan Dandung diduga memberikan 148.835 dolar AS (sekitar Rp1,96 miliar) kepada Marudut selaku perantara untuk mengurus penghentian penyelidikan atau penyidikan perkara tersebut.
Selain menetapkan tiga orang swasta tersebut, KPK juga sudah memeriksa Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta, Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu.
Kemudian, pada 2 September 2016, majelis hakim Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis kepada Sudi Wantoko 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Sementara Dandung Pamularno dijatuhi vonis 2,5 tahun ditambah denda Rp100 juta dan subsider 2 bulan kurungan. Sedangkan, perantara suap, yaitu Marudut Pakpahan divonis 3 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sayangnya, KPK menghentikan penyidikan kasus suap antara dua pejabat PT Brantas Abipraya, Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu. Dalam kasus ini, Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu dianggap tidak terbukti sebagai penerima suap.
Kasus korupsi lain yang melibatkan oknum jaksa juga pernah terjadi di Kejati Jawa Barat. Pada April 2016, KPK melakukan OTT terhadap jaksa Kejati Jabar, Deviyanti Rochaeni yang diduga menerima uang sebesar Rp528 juta dari Bupati Subang Ojang Sohandi, dan mantan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Subang Jajang Abdul Kholik, serta Lenih Marliani (istri Jajang).
Pemberian itu juga ikut diatur oleh Ketua Jaksa Penuntut Umum kasus dugaan korupsi BPJS Subang tahun 2014, Fahri Nurmallo yang pernah bertugas di Kejati Jabar (saat ditangkap ia sudah dipindahkan ke Kejati Jawa Tengah). Atas tindakan tersebut, pada 23 November 2016, Fahri Nurmallo dijatuhi vonis 7 tahun penjara, sedangkan Deviyanti Rochaeni divonis 4 tahun penjara dalam kasus yang sama.
Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terhadap jaksa tersebut membuktikan kegagalan pembinaan di internal institusi ini. OTT oleh KPK ini menjadi indikasi bahwa Kejaksaan ini belum steril dari praktik korupsi.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Zen RS