Menuju konten utama

Banjir Kritik atas Pergub DIY soal Larangan Demo di Malioboro

Aturan Pergub DIY Nomor 1/2021 melarang demonstrasi dilakukan di sejumlah tempat termasuk Malioboro menuai kritikan dari berbagai kalangan.

Gubernur DIY Sri Sultan HB X saat memberikan keterangan kepada wartawan di Yogyakarta, Jumat (19/10/2018). tirto.id/Irwan A. Syambudi

tirto.id - Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka dianggap telah mereduksi hak konstitusional. Aturan itu melarang aksi demonstrasi dilakukan di sejumlah tempat termasuk Malioboro.

Dalam pasal 5 Pergub menyebutkan bahwa penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan di ruang terbuka untuk umum di daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di kawasan: Istana Negara Gedung Agung; Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; Keraton Kadipaten Pakualaman; Kotagede; dan Malioboro; dengan radius 500 meter dari pagar atau titik terluar.

Pergub ini telah berlaku setelah ditetapkan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 4 Januari 2021. Namun, menurut pengajar hukum tata negara Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie, berlakunya pergub sangat berpotensi mereduksi hak konstitusional, hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

“Seluruh rezim peraturan perundang-undangan secara hierarkis dari level pusat sampai daerah, tidak boleh mereduksi hak menyampaikan pendapat di depan publik,” ujar Gugun saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/1/2021).

Pergub ini, menurutnya, juga akan mendistorsi Yogyakarta sebagai kota pelajar yang demokratis, memiliki banyak kampus, seniman, budayawan, akademisi dan masyarakat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.

Sejumlah kalangan juga mengkritik keras pergub tersebut, Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) yang terdiri dari 38 kelompok masyarakat sipil mendesak pergub segera dicabut karena dianggap bermasalah.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli saat mewakili aliansi memberikan keterangan pers, Selasa (19/1/2021) menganggap Gubernur DIY telah menjadikan kedok pariwisata untuk menutup diri dari kontrol publik. Pergub ini menggunakan Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional di Sektor Pariwisata sebagai pertimbangannya.

Hal itu yang kemudian dijadikan dasar bahwa sejumlah tempat wisata seperti Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; Keraton Kadipaten Pakualaman; Kotagede; dan Malioboro sebagai obyek vital nasional yang tak boleh jadi tempat demonstrasi.

Padahal jantung kekuasaan yang seharusnya menjadi pengawasan rakyat terletak di sejumlah lokasi tersebut. Seperti misalnya Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi DIY dan Kantor Gubernur DIY yang dibangun dengan uang rakyat, berada di kawasan Malioboro.

Dengan dikosongkannya pusat-pusat kekuasaan itu dari aktivitas demonstrasi maka akan menutup tekad rakyat untuk dapat menyuarakan aspirasinya langsung kepada para pemimpin di daerah, kata Yogi.

Tak cukup dengan larangan di sejumlah tempat, Pergub juga membatasi waktu penyampaian pendapat di muka umum itu hanya dalam kurun waktu pukul 06.00 - 18.00 WIB. Kemudian di pasal lain Pergub juga mengatur setiap orang yang menyampaikan pendapat di muka umum mematuhi batas maksimal baku tingkat kebisingan penggunaan pengeras suara sebesar 60 dB (enam puluh desibel).

Pergub Nomor 1/2021 Antikritik

Yogi bilang, Pergub ini telah menjadi menyumbat saluran aspirasi rakyat. “Ketika saluran aspirasi ini telah disegel oleh gubernur, maka kita sedang melihat terutama gubernur sedang mempertontonkan wajah aslinya yang bisa dikatakan sebagai penguasa yang antikritik,” ujar Yogi.

Selain dinilai antikritik, Gubernur juga dianggap telah melakukan pengingkaran terhadap demokrasi dan nilai-nilai hak asasi manusia melalui pergub tersebut. Dalam Undang-Undang Keistimewaan yang mengatur tentang Keistimewaan DIY dilaksanakan dengan asas demokrasi.

Namun, adanya pergub dinilai malah mengancam nilai-nilai demokrasi dengan melakukan pelarangan demonstrasi di beberapa tempat. Padahal kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dan diakui oleh UUD 1945 serta diatur dalam UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.

Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu yang juga tergabung dalam aliansi menyebut jika Pergub nomor 1 tahun 2021 ini bertentangan dengan pernyataan yang pernah diucapkan oleh Sultan HB X.

Tri Wahyu menjabarkan dalam peringatan sewindu lahirnya Undang-Undang Keistimewaan Agustus 2020 lalu, Sultan sempat menyatakan bahwa pejabat kini bukanlah pusat kekuasaan.

"Sultan saat itu juga mengatakan sudah saatnya pejabat tidak antikritik dan membuka diri pada kritik dan masukan masyarakat. Sebenarnya itu pernyataan bagus dari Sultan yang Raja Keraton, namun dengan adanya Pergub ini, hal itu jadi bertentangan dan menjadi kabar buruk," kata Tri Wahyu dalam kesempatan yang sama.

Gubernur DIY Disomasi

Atas terbitnya aturan yang dinilai telah mencederai nilai-nilai demokrasi tersebut, aliansi memutuskan untuk mengirimkan somasi kepada Gubernur DIY.

“Kami menyampaikan surat somasi terbuka pada Gubernur DIY atas diterbitkannya Pergub Nomor 1 Tahun 2021 yang kurang lebih substansinya adalah pembatasan penyampaian pendapat di muka umum,” kata Yogi.

Melalui somasi tersebut, aliansi mendesak agar Gubernur DIY mencabut dan membatalkan segera Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2021 dan menghentikan segala upaya pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Aliansi juga meminta agar DPRD DIY pro-aktif menjalankan fungsi pengawasan kepada eksekutif melalui mekanisme yang tersedia serta menekan gubernur untuk menyudahi praktik sepihak dan sewenang-wenang terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Jika dalam waktu tujuh hari Gubernur tidak mencabut dan membatalkan Pergub tersebut maka aliansi akan melaporkan Gubernur DIY ke Komnas HAM RI atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Melaporkan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) atas dugaan maladministrasi.

Melaporkan kepada Menteri Dalam Negeri RI atas dugaan pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik. Serta tidak menutup kemungkinan akan mengajukan hak uji material kepada Mahkamah Agung untuk membatalkan pergub tersebut.

Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY Dewo Isnu Broto menyatakan somasi dari Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta telah diterima. Pemda DIY, kata dia, akan segera mengirimkan jawaban atas somasi tersebut.

Dewo juga mempersilakan apabila ada pihak yang ingin melaporkan mengenai penerbitan Pergub tersebut ke lembaga negara terkait. ”Monggo [silakan]. Setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah, masyarakat diberikan saluran untuk menyampaikan keberatan,” kata Dewo seperti dikutip dari Kompas, Rabu (20/1/2021).

Sejatinya, kata Dewo, ada atau tidak adanya Pergub Nomor 1 Tahun 2021 sesuai undang-undang demonstrasi tidak boleh dilakukan di objek vital nasional. Demonstrasi dapat dilakukan di luar kawasan objek vital nasional tetapi untuk menyampaikan aspirasi dapat langsung ke kantor gubernur atau DPRD melalui perwakilan.

“Itu boleh dilakukan karena kami tidak pernah melarang hak menyampaikan pendapat karena itu bagian dari demokrasi dan hak asasi,” kata Dewo.

Baca juga artikel terkait LARANGAN DEMONSTRASI atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Politik
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri
-->