Menuju konten utama

Pelarangan Demonstrasi Dianggap Sewenang-wenang & Mengangkangi UU

Polisi tidak mau ada yang turun ke jalan saat Jokowi-Ma'ruf dilantik. Mereka menggunakan diskresi--yang lantas dikritik.

Pelarangan Demonstrasi Dianggap Sewenang-wenang & Mengangkangi UU
Ribuan mahasiswa memadati Jalan Gerbang Pemuda menuju depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/9/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir/ama.

tirto.id - Polda Metro Jaya tidak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) demonstrasi baik sebelum dan saat hari pelantikan Presiden-Wakil Presiden terpilih periode 2019-2024, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, yang rencananya digelar pada 20 Oktober 2019 di Gedung DPR/MPR, Jakarta. Ringkasnya: polisi melarang masyarakat berdemonstrasi.

Keputusan ini tak bisa lagi diganggu gugat meski kemarin (16/10/2019) Jokowi mengatakan kalau demonstrasi itu "dijamin konstitusi".

Mengutip Hukumonline, untuk dapat menyampaikan pendapat di muka umum, demonstran atau penanggung jawab wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada polisi selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai. Surat tersebut di antaranya memuat: maksud dan tujuan, lokasi dan rute, waktu dan durasi, sampai jumlah peserta.

Aturan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono, masyarakat dilarang demo semata-mata demi menjaga citra demokrasi Indonesia di mata internasional. Dalam pelantikan nanti memang akan banyak tamu dari luar negeri yang datang.

Kepada reporter Tirto, Rabu (16/10/2019), Argo lantas mengatakan polisi “menggunakan kewenangan diskresi... sesuai dengan Pasal 6 UU 9/1998.”

Dalam pasal itu tertulis lima kewajiban “warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum,” yaitu: “menghormati hak orang lain; menghormati aturan moral yang diakui umum; menaati hukum dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; serta menjaga keutuhan, persatuan, dan kesatuan bangsa.”

Menurut Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea H. Poeloengan, keputusan ini tepat belaka.

“Kami tidak melihat ada pelanggaran [diskresi]. Dasarnya pada Pasal 14, 15, 16, 17, dan 18 UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (17/10/2019). Andrea tidak menjelaskan pasal mana persisnya.

Meski menggolongkan demonstrasi tanpa STTP sebagai kegiatan “ilegal,” Andrea menegaskan seandainya tetap ada yang berdemonstrasi, maka polisi harus tetap menggunakan cara-cara persuasif menangani massa.

Pernyataan ini selaras dengan janji Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Muhammad Iqbal. Dia mengatakan tidak akan membubarkan demonstrasi selama “tidak bergeser ke tindakan melawan hukum.”

Melanggar Hukum

Alasan-alasan ini dianggap tidak tepat, bahkan dinilai melanggar hukum oleh Alghiffari Aqsa, advokat dari AMAR Law Firm and Public Interest Law Office. Menurutnya melarang demonstrasi adalah “tindakan sewenang-wenang dan mengangkangi undang-undang.”

“Pasal 13 ayat 1 huruf a UU 9/1998 menyatakan kepolisian wajib mengeluarkan STTP,” kata Alghif kepada reporter Tirto, Kamis (17/10/2019).

Di sana tertulis: setelah menerima surat pemberitahuan, polisi wajib “segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan.” Mereka juga wajib berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga tujuan demonstrasi, juga mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.

Polisi juga dianggap salah karena mereka mencampuradukkan antara konsep ‘izin’ dan ‘pemberitahuan’.

“Jika menggunakan konsep izin, maka ada otoritas yang berhak mengizinkan atau tidak mengizinkan kegiatan. Jika menggunakan konsepsi pemberitahuan, maka tidak perlu ada persetujuan dari otoritas untuk melakukan kegiatan,” tegas bekas Direktur LBH Jakarta ini.

Diskresi polisi juga tidak tepat, sebab “berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan, diskresi merupakan tindakan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan atau adanya stagnasi pemerintahan.”

Sementara dalam kasus ini, aturannya sudah jelas.

Alghif lantas mengatakan demonstrasi di era Jokowi memang lebih sulit dilakukan karena prosedurnya tambah rumit.

“Kalau dulu [sebelum 2014], bahkan kami cuma kirim fax saja ke kantor polisi, sudah cukup. Begitu aksi kami bawa bukti fax-nya. Sekarang fax ditutup, pemberitahuan harus langsung.”

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani juga memvonis diskresi polisi tidak punya “parameter dan alasan hukum yang kuat.”

Seingat Yati ini adalah kali pertama orang-orang tidak boleh demonstrasi pada hari pelantikan presiden terpilih.

Sebagai pembanding, demonstrasi terjadi di banyak kota saat pelantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono pada 20 Oktober 2009. Tidak terkecuali di Jakarta. Seperti dicatat Okezone, pada hari itu jalanan Jakarta dipenuhi demonstran buruh, mahasiswa, dan LSM.

Sementara Liputan6 mencatat demonstrasi juga berlangsung di Denpasar, Mataram, Sukabumi, dan Tasikmalaya.

Baca juga artikel terkait PELANTIKAN JOKOWI-MARUF atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino