tirto.id - Pemerintah menuding demo menolak sejumlah rancangan undang-undang (RUU) bermasalah, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta ditunggangi. Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly kompak menyebut aksi yang digelar mahasiswa, pelajar STM, dan masyarakat sipil dimanfaatkan kelompok tertentu.
Tjahjo mensinyalir gerakan tersebut untuk mengganggu agenda pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Ma'ruf Amin yang bakal dilantik pada 20 Oktober 2019.
Politikus PDIP ini bahkan mengklaim telah mengetahui ada pihak yang menyusup melalui CCTV dan rekaman video.
Yasonna juga mengatakan hal senada. Ia menilai aksi mahasiswa menuntut pembatalan RKUHP, RUU Pemasyarakatan (PAS), dan UU KPK telah dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Namun, ia tak mau menjelaskan secara rinci siapa yang ia maksud.
“Kami harus jelaskan dengan baik karena di luar sana sekarang ini isu dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik,” kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Yasonna berharap, agar mahasiswa tidak terbawa oleh agenda-agenda politik terselubung yang memanfaatkan mereka. Menurut dia, jika mahasiswa mau bertanya, bahkan berdebat soal RUU yang mereka tolak, bisa langsung menemui DPR atau dirinya.
Tuntutan Mahasiswa Jelas
Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti, Dinno Ardiansyah menolak tudingan tersebut. Ia menegaskan dalam aksi demontrasi di DPR kemarin pihaknya tidak ditunggangi dan tak terlibat dengan pihak manapun yang memiliki kepentingan politik praktis.
Dinno berkata, aksi yang dilakukan mahasiswa juga tidak ada kaitannya dengan upaya menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih Jokowi-Ma'ruf pada 20 Oktober mendatang.
Sebab, kata Dinno, tuntutan mahasiswa jelas: menolak beberapa RUU bermasalah dan berdampak pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Misalnya, RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, dan UU KPK hasil revisi.
“Kalau pun memang ada oknum atau elite yang mengatakan seperti itu. Itu ucapan provokatif dan memelintir informasi yang benar," kata dia saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (26/9/2019).
Hal senada diungkapkan Kepala Kajian Aksi Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UPN Veteran Jakarta, Dzuhrian Ananda. Ia membantah pihaknya ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu.
Dzuhrian menegaskan, apa yang mahasiswa perjuangkan semata-mata demi kepentingan rakyat. Menurut dia, mahasiswa hanya menolak beberapa RUU yang dibahas DPR dan pemerintah yang tidak pro-rakyat.
“Kami tidak ingin menggulingkan siapapun, tapi yang kami 'serang' sistemnya,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.
Selain itu, kata Dzuhrian, tujuan melakukan unjuk rasa terhadap DPR merupakan tanggung jawab mereka sebagai mahasiswa. Ia juga mengatakan, demo yang dilakukan sebagai bentuk rasa solidaritas terhadap kawan seperjuangan antarmahasiswa se-Indonesia.
Tak Semua Gerakan Ditunggangi
Peneliti sekaligus dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arya Budi mengatakan, dalam sebuah gerakan tak menutup kemungkinan memang ada pihak yang menunggangi.
Namun, kata dia, tidak semua gerakan, termasuk unjuk rasa mahasiswa, pelajar STM, dan masyarakat sipil yang menolak sejumlah RUU bermasalah ditunggangi. Apalagi, kata dia, pemilihan umum 2019 sudah usai.
Arya berkata, gerakan mahasiswa tersebut merupakan ekspresi kritis maupun kesadaran mereka sebagai agen perubahan dan kontrol sosial untuk menolak sejumlah RUU yang dinilai tidak pro terhadap rakyat.
“Saya kira ini jelas ya bukan karena kepentingan politik tertentu untuk mengganti jabatan presiden [Jokowi]. Tapi substansi apa yang menjadi basis pokok untuk menjadi hak hidup orang banyak,” kata Arya.
Ia menambahkan “kalau ditunggangi tidak mungkin bisa masif se-nasional dilakukan dalam periode singkat. Ini, kan, seolah-olah spontan, menginspirasi banyak gerakan di Indonesia.”
Arya pun meminta kepada pemerintah untuk segera menunjukkan bukti adanya penunggangan gerakan mahasiswa oleh elite politik. Sebab, kata dia, jika pemerintah tidak bisa membuktikan, maka dampaknya nanti akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
"Kalau tidak ada kepercayaan, setiap kebijakan politik akan dinilai negatif oleh publik. Karena modal penting bagi sebuah kebijakan adalah kepercayaan,” kata dia.
Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah ke depan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan argumentasinya. “DPR dan pemerintah segera menggelar pertemuan bersama mahasiswa agar bisa mencari solusi terkait tuntutan mahasiswa,” kata dia.
Sementara itu, Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai pernyataan pemerintah yang menuding gerakan mahasiswa ditunggangi sangat menyesatkan. Menurut dia, hal itu hanya cara pemerintah meredam gerakan mahasiswa.
“Ini wajar-wajr saja disampaikan oleh politisi yang merasa terpojok. Saya lihat tidak punya nilai sama sekali argumentasinya," kata dia kepada reporter Tirto.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz