tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Panglima TNI periode Agustus 2013-Juli 2015 ini menganggap komisi antirasuah yang didirikan pada 2002 itu menghambat investasi.
“Lembaga KPK itu bisa menghambat investasi,” katanya di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (23/9/2019)
Usia pernyataan tersebut hanya beberapa jam. Kepada reporter Tirto pada hari yang sama, dia bilang yang menghambat investasi adalah KPK “yang bekerja berdasarkan undang-undang lama, yang masih terdapat celah kurangnya kepastian hukum.”
UU KPK hasil revisi belum berlaku sepanjang belum ditempatkan di Lembaran Negara. Saat ini KPK masih pakai UU lama, yang oleh Moeldoko jadi kambing hitam investasi seret masuk Indonesia.
Salah satu pasal yang ia sebut menghambat investasi adalah yang terkait penghentian penyidikan perkara (SP3). Menurutnya, penetapan status tersangka yang tanpa kepastian dan berlarut-larut menjadi momok bagi investor.
Pada UU KPK baru, KPK bisa menerbitkan SP3 jika suatu kasus tidak selesai dalam waktu dua tahun. Bagi KPK beleid ini bermasalah karena menghambat penuntasan kasus besar nan rumit, apalagi kalau sampai lintas negar.
Moeldoko juga yakin keberadaan Dewan Pengawas KPK--yang akan dibentuk presiden--bikin investor lebih banyak menanamkan duit ke Indonesia. Alasannya sama: lebih ada kepastian hukum.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyanggah klaim itu. Dia merasa yang terjadi sebaliknya: revisi UU KPK berisiko memperlemah kinerja KPK, dan karena itu tidak menutup kemungkinan memperburuk iklim investasi.
Setahu Febri, investasi di Indonesia justru terus meningkat selama KPK berdiri. Bahkan, pemberantasan korupsi yang digalakkan mereka telah membantu meningkatkan kepastian hukum yang menjadi salah satu ukuran dalam daya saing investasi.
“Kalau kita bicara soal pemberantasan korupsi, data yang ada dari ease of doing business dan BKPM, investasi justru tidak turun, tapi meningkat,” ucap Febri dalam keterangan tertulis kepada reporter reporter Tirto.
Perkembangan pemberantasan korupsi dalam lima tahun terakhir ini memang terus membaik. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2015 tercatat di level 35. Pada 2018, angka itu naik ke level 38.
Ketika KPK dibentuk pada 2002, angka indeks persepsi korupsi Indonesia berada di level minus 2 atau sangat korup. Semakin mendekati angka 100, maka suatu negara dinyatakan semakin bersih.
Di sisi lain, realisasi penanaman modal di Indonesia pada 2002 mencapai Rp25,3 triliun. Pada 2017, nilai realisasi investasi Indonesia sudah melesat berkali-kali lipat, yakni sebesar Rp262 triliun.
Hanya Dalih
Insitute Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga ikut menyanggah pernyataan Moeldoko. Bhima Yudhistira, ekonom dari Indef, menegaskan pernyataan Moeldoko itu hanya dalih pemerintah untuk mengesahkan revisi UU KPK.
Dia menegaskan kembali bahwa kehadiran KPK selama ini telah berdampak positif bagi kepastian hukum dan investasi di Indonesia melalui pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, revisi UU KPK yang terkesan melemahkan berpotensi mengganggu iklim investasi.
“Ini justru negatif ke investor yang mau masuk ke Indonesia,” ucap Bhima kepada reporter Tirto, Selasa (24/9/2019).
Dalam sebulan terakhir ini, dana asing yang keluar atau nett sell di pasar modal sudah menembus Rp6,5 triliun. Bhima menduga salah satu penyebabnya adalah revisi UU KPK.
Pelemahan KPK juga berpotensi membuat biaya investasi lebih mahal. Longgarnya pemberantasan korupsi juga berpotensi membuat persaingan yang tidak sehat lantaran suap justru jadi senjata untuk bersaing.
“Kalau pengawasan menjadi longgar, bukan tidak mungkin yang mengisi dominan pengusaha curang dan tukang suap. Proyek pemerintah yang dikerjakan bisa lambat dan di bawah standar karena mereka kurang profesional,” tutur Bhima.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal juga merasa kehadiran KPK justru berpengaruh positif dalam mendorong kenaikan arus investasi yang masuk ke Indonesia.
Keberadaan KPK membikin investor percaya pemerintah Indonesia bersih, dan karenanya berbisnis di sini tidak akan memunculkan inefisiensi termasuk dari sisi perizinan dan tetek bengek prosedur lain.
“[inefisiensi] ini yang sebenarnya diharapkan untuk diberantas. Namun untuk bisa ke sana, profesionalitas lembaga kerap terganggu karena korupsi,” ucap Faisal kepada reporter Tirto.
Sementara itu kalangan pengusaha berkomentar lebih netral. Kepada reporter Tirto, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Roeslani mengatakan: “Bila tujuannya untuk meningkatkan kepastian hukum, maka hal itu adalah hal yang baik, apalagi jika sudah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.”
Komentar dari Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), agak berbeda. Menurutnya dia sepakat untuk satu hal: memberikan KPK kewenangan menerbitkan SP3.
Dia mengatakan, kewenangan SP3 diperlukan karena cukup banyak pengusaha yang berstatus tersangka dalam kurun waktu yang lama. Kasus mereka tidak kunjung diproses di pengadilan atau kejaksaan.
Dalam kurun waktu itu, katanya, pengusaha jadi terganggu saat berbisnis.
“Satu pasal UU KPK yang lama itu tidak memiliki kepastian hukum: tidak memiliki kewenangan SP3. Ini jadi kekhawatiran karena enggak hanya 1-2 kasus saja,” ucap Danang kepada reporter Tirto.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Ringkang Gumiwang