tirto.id - Kusbini bukan musisi sembarangan, ia adalah seniman keroncong yang namanya sudah terkenal bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kusbini dekat dengan Sukarno, sangat dekat. Bung Karno beberapa kali menemuinya secara khusus. Ada kalanya bicara serius, kadang-kadang sekadar berbincang ringan.
Pernah suatu ketika, Bung Karno ingin “menguji” ketetapan hati Kusbini sebagai musisi. Sang putra fajar yang kala itu belum menjadi presiden, bertanya kepada Kusbini mengapa memilih menggeluti musik keroncong. Yang ditanya menjawab cepat dan mantap, “Karena keroncong memang telah menjadi bagian hidup saya.”
Sejak pertemuan itu, Sukarno menjulukinya "Buaya Keroncong". Keroncong inilah yang nantinya menjadi fondasi utama bagi musik pop khas Indonesia.
Kiprah Buaya Keroncong
Kusbini lahir di Desa Kemlagi, Mojokerto, Jawa Timur, tepat tanggal 1 Januari 1910. Ia hidup dan besar di mana keroncong sedang menyongsong era keemasannya. Kusbini kelak mengguratkan namanya sebagai bagian penting dari masa-masa jaya itu.
Dari kampungnya, Kusbini mulai meretas mimpinya menjadi seniman sejak dini. Maka, seperti dikutip dari buku Musik Revolusi Indonesia (2008) karya Wisnu Mintargo, setelah tamat sekolah dasar di HIS Jombang pada 1914, ia menuju Surabaya (hlm. 44). Selain untuk meneruskan studi di sekolah dagang, Kusbini juga bergabung dengan salah satu grup musik keroncong Jong Indische Stryken Tokkel Orkest (JISTO) bersama kakaknya, Kusbandi.
Kusbandi memang menjadi inspirator sekaligus panutan bagi Kusbini dalam bermusik. Ia merantau ke Surabaya pun mengikuti jejak abangnya itu. Kusbini kerap membantu kakaknya mengulik dan mengumpulkan lagu yang akan dibawakan orkesnya. Dari sinilah kemampuannya mencipta tembang mulai terasah.
Kusbini menuntaskan studinya di sekolah dagang di Surabaya. Namun, seperti yang diungkapkan sendiri oleh Kusbini dalam buku 16 Lagu Wadjib (1965), ia tidak tertarik menjadi pegawai negeri pemerintah kolonial, juga enggan bekerja di kantor dagang atau sejenisnya. Cita-citanya hanya satu: menjadi seniman musik (hlm. 25).
Selama masa sekolah, Kusbini mempelajari musik dengan bimbingan sang kakak dan belajar secara otodidak. Pada 1927, atau ketika berumur 17, seperti dicatat R.Z. Leirissa dalam Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan (1995: 159), barulah Kusbini mengikuti pendidikan musik umum (algemene muziekleer) di sekolah musik “Apollo”.
Kusbini bertambah matang dan kian jago menggubah lagu. Tembang pertama yang diciptakannya berjudul “Keroncong Purbakala”, kemudian disusul deretan rangkaian nada berikutnya macam “Pamulatsih”, “Bintang Senja Kala”, “Sarinande”, “Keroncong Moresko”, “Dwi Tunggal”, “Ngumandang Kenang”, “Kewajiban Manusia”, dan seterusnya.
Karya dan nama Kusbini semakin dikenal setelah ia kerap mengisi siaran musik di radio Nederlandsch Indische Radio Omroep Masstchapij (NIROM) dan Chineese en Inheemse Radio Luisteraars Vereniging Oost Java (CIRVO). Tak hanya bernyanyi, ia juga memainkan biola dalam acara-acara itu.
Sejak dekade 1930-an, pamor Kusbini melambung. Ia menempatkan dirinya dalam jajaran pemusik keroncong paling populer di Hindia Belanda bersama Annie Landouw, S. Abdoellah, juga Gesang, sang pencipta “Bengawan Solo” nan melegenda itu.
Propaganda Lewat Lagu
Kala era penjajahan Belanda di tanah air berakhir, karier Kusbini tidak lantas redup. Ia justru semakin mendapatkan panggungnya meski dalam pengawasan pemerintah pendudukan Jepang. Bersama Saridjah Niung atau yang kelak lebih dikenal dengan nama Ibu Sud, Kusbini secara rutin mengampu siaran musik di radio milik Dai Nippon, Hoso Kanri Kyoku.
Di masa inilah lagu “Bagimu Negeri” tercipta, tepatnya pada 1942. Menurut Kamajaya dalam buku Sejarah Bagimu Negeri: Lagu Nasional (1979), penyanyi yang pertamakali membawakan lagu gubahan Kusbini adalah Saridjah, dalam suatu siaran radio militer Jepang (hlm. 50). Kusbini dan Saridjah kala itu mengisi program musik untuk anak-anak.
Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami
Demikian “Bagimu Negeri” berkumandang di udara. Pemerintah militer Jepang sempat dibikin kaget setelah mendengar lirik lagu itu. Kusbini pun dipanggil untuk menjelaskan maksud serta tujuannya menciptakan “Bagimu Negeri” yang oleh Dai Nippon terdengar sensitif dan dikhawatirkan bisa memicu gerakan rakyat untuk merdeka.
Dalam interogasi itu, sebagaimana dinukil dari buku 33 Profil Budayawan Indonesia (1990) yang disusun Butet Kartaredjasa, Kusbini menjawab dengan tenang. “Mana ada kata Indonesia dalam lagu ‘Bagimu Negeri’? Negeri bisa di mana saja, di Jepang pun bisa” (hlm. 58).
Sebelum menyiarkan “Bagimu Negeri”, Kusbini sebenarnya sudah berembuk dengan Bung Karno sebagai penggagasnya. Ia meminta Kusbini membuat lagu bernuansa nasionalisme untuk mengimbangi pemerintah militer Jepang sangat masif menanamkan pengaruhnya, termasuk propaganda lewat lagu.
Sejatinya, Kusbini sempat menyisipkan “Indonesia Raya” di bait terakhir asli “Bagimu Negeri” agar lebih menyentuh kalbu. Namun, Bung Karno menolak, sangat berisiko jika memakai kata-kata “Indonesia”, “negara”, atau “bangsa.”
"'lndonesia Raya' tidak tepat, Kus. Ubahlah syairnya,” tandas Bung Karno kala itu seperti diungkapkan Hersri Setiawan dalam buku Aku eks-Tapol (2003: 239).
Kusbini termangu, kemudian manggut-manggut. Benar kata Bung Karno. Ia sejenak merenung untuk berpikir. Dan akhirnya, didapatlah kata “negeri” untuk mengurangi kecurigaan pemerintah Dai Nippon.
Bung Karno setuju. Kata “negeri” dianggap sudah mewakili tujuan yang sebenarnya, yaitu “negara” atau “Indonesia”, namun disajikan lebih halus agar bisa dijadikan dalih ketika nantinya lagu itu tetap menuai masalah.
Mengabdi dan Konsisten di Dunia Musik
Tatkala Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 hingga masa Revolusi, seiring ambisi Belanda yang ingin berkuasa kembali, Kusbini konsisten di jalur musik. Hanya saja, pada masa ini ia lebih fokus menciptakan lagu-lagu nasionalisme untuk memantik semangat tentara, laskar-laskar juang, dan rakyat Indonesia pada umumnya dalam mempertahankan kemerdekaan.
Setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia secara penuh pada akhir 1949, Kusbini, yang saat itu menetap di Yogyakarta, tetap mengabdi untuk negara. Ia bekerja di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya dalam urusan seni musik.
Sebelumnya, di tahun yang sama, ia sempat merintis sekolah musik dengan namanya sendiri, yakni Sekolah Musik Kusbini. Sayangnya, sekolah ini tidak bertahan lama karena Kusbini mengalami kesulitan dana.
Setelah itu, di Yogyakarta pula, Kusbini mendirikan Sekolah Musik Indonesia (SMINDO) pada 1954. Kali ini dengan dukungan dari pemerintah pusat. Sekolah ini merupakan cikal-bakal Akademi Musik Indonesia (AMI) yang kemudian bersama beberapa sekolah seni lainnya dilebur menjadi Institut Seni Indonesia (ISI).
Kusbini juga membuka Sanggar Olah Seni Indonesia (SOSI). Di sanggar yang sebenarnya lebih mirip sekolah ini, menurut F.X. Suhardjo Parto dan Sunarto dalam Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia (1996), Kusbini secara langsung mendidik anak-anak muda yang kelak menjadi musisi atau seniman ternama di tanah air (hlm. 95).
Polemik “Bagimu Negeri”
Pada 1960, Sukarno selaku Presiden RI menetapkan “Bagimu Negeri” ciptaan Kusbini sebagai lagu nasional. Namun, pada 1978, Kusbini kena gugat. Orang bernama Raden Joseph Moejo Semedi mengklaim bahwa lagu tersebut adalah ciptaannya dan telah dijiplak. Semedi memberi judul “Padamu Negeri” untuk tembang yang diklaimnya itu.
Hendra Tanu Atmadja dalam tulisannya “Penyelesaian Sengketa Lagu atau Musik di Luar Pengadilan” (Jurnal Lex Jurnalica, April, 2014) mengungkapkan, Semedi menyatakan “Bagimu Negeri” adalah lagu yang ia ciptakan pada akhir 1944 dengan judul “Padamu Negeri” (hlm. 2).
Lagu “Padamu Negeri” versi Semedi itu liriknya begini:
Padamu negeri aku berjanji
Padamu negeri aku berbakti
Padamu negeri aku mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga abdi
Menurut Semedi, lanjut Atmadja, ia menciptakan lagu itu setelah mengikuti misa agung pada malam Natal di Gereja Katolik Kebalen, Solo. Semedi kemudian menyempurnakan liriknya di Pati dan untuk pertama kalinya diperdengarkan di rumah rekannya yang bernama Benyamin dengan iringan biola Setjoprajitno.
Pada 1947, Semedi mengaku kaget karena lagu itu sering diperdengarkan. Ia menuding Kusbini telah mengubah beberapa bagian pada liriknya (hlm. 3). Namun, kala itu Semedi belum sempat memperkarakannya karena situasi revolusi yang tidak memungkinkan.
Baru pada 1978 itulah Semedi menggugat setelah menonton wawancara Kusbini di TVRI. Dalam acara itu, Kusbini menyebut bahwa lagu “Bagimu Negeri” bernuansa religius. Semedi membenarkannya karena lagu itu memang dipengaruhi oleh lagu gereja. Tapi, Semedi ragu, apakah Kusbini tahu atau tidak di mana letak religiusitas “Bagimu Negeri”.
Kusbini sendiri menyikapi polemik ini dengan santai. Ia mengaku tidak pernah kenal apalagi berhubungan dengan Semedi. Kusbini bahkan berbalik di atas angin setelah memaparkan bukti-bukti bahwa dirinyalah yang menciptakan “Bagimu Negeri” pada 1942 atas permintaan Bung Karno.
Semedi bahkan bisa terancam gugatan balik terkait hak cipta karena telah menjiplak “Bagimu Negeri” (hlm. 3). Situasi sempat menghangat, hingga akhirnya Semedi memilih mundur dan Kusbini pun tidak mempersoalkannya lebih jauh lagi.
Setelah Sukarno tumbang, kiprah Kusbini tidak terdengar lagi selama era Orde Baru. Ia menghabiskan waktunya untuk menulis sejumlah buku tentang musik. Hingga akhirnya, sang Buaya Keroncong wafat di Yogyakarta pada 28 Februari 1991, tepat hari ini 27 tahun lalu, dalam umur 81.
Berpuluh warsa berselang, tepatnya pada awal 2017, lagu “Bagimu Negeri” sempat diusik lagi. Kali ini kecaman datang dari penyair Taufik Ismail. Ia menuding lagu ciptaan Kusbini itu mengandung lirik yang disinyalir musrik karena, menurut Taufik, “jiwa-raga kami” hanya untuk Tuhan, bukan yang lain, termasuk negeri atau negara.
Namun, cibiran Taufik Ismail ternyata hanya letupan sesaat. Nama Kusbini tetap harum, begitu pula lagu “Bagimu Negeri” yang hingga kini masih terasa menggetarkan setiap kali diperdengarkan.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Ivan Aulia Ahsan