tirto.id - Sumpah Pemuda yang dicetuskan dalam Kongres Pemuda 2 merupakan ikrar pemuda-pemudi demi menyatukan bangsa Indonesia.
Perumusan Sumpah Pemuda melibatkan para tokoh pemuda-pemudi dari berbagai latar belakang daerah. Salah satunya adalah Soenario Sastrowardoyo, pemuda terpelajar asal Madiun, Jawa Timur.
Prof. Mr. Soenario Sastrowardoyo, atau biasa disapa dengan nama Mr. Sunaryo, merupakan sosok yang berperan penting dalam Sumpah Pemuda.
Sebelum menyelami lebih dalam terkait peran Sunario Sastrowardoyo dalam Sumpah Pemuda, alangkah lebih baiknya jika kita mengenal Mr. Sunario terlebih dahulu.
Biografi Sunario Sastrowardoyo Singkat
Profil Sunario Sastrowardoyo dijelaskan secara rinci dalam buku 90 Tahun Prof. Mr. Sunario, Manusia Langka Indonesia (1993) yang ditulis Sagimun Mulus Dumadi.
Berdasarkan penuturan Sagimun dalam buku itu, Soenario Sastrowardoyo lahir di Madiun, Jawa Timur, pada 28 Agustus 1902. Ia merupakan anak pertama dari 14 bersaudara, buah cinta pasangan Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo.
Sunario merupakan salah satu kakek dari Dian Sastrowardoyo, aktris cum model kondang Indonesia saat ini. Dian Sastro ialah cucu dari Sumarsono Sastrowardoyo, adik ke-11 dari Mr. Soenario.
Meskipun hidup di masa penjajahan, masa kecil Sunario bisa dibilang dipenuhi dengan privilese. Ia lahir bukan dari kalangan keluarga biasa, melainkan priyayi Jawa. Ayahnya, Sutejo, menjabat sebagai wedana (pembantu bupati yang membawahi beberapa camat) di Uteran, Madiun. Hak istimewa sejak lahir itulah yang membuatnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda.
Sunaryo Sastrowardoyo, yang sejak kecil tinggal di Madiun, masuk sekolah taman kanak-kanak atau Frobel School pada 1908. Setelah itu, dia melanjutkan ke jenjang sekolah dasar Europeesche Lagere School (ELS) selama tujuh tahun.
Ia sempat menempuh pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) selama setahun, kemudian pindah ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di Rechtschool. Selama belajar di Jakarta, ia tidak hanya berpatok pada bidang akademik di kelas. Sunaryo Sastrowardoyo juga menekuni bahasa Prancis.
Setelah lulus pada 1923, Sunario langsung bertandang ke Belanda untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi, dengan biaya sendiri. Tak tanggung-tanggung, Sunaryo diterima di Universitas Leiden, perguruan tinggi tertua di Belanda. Selang dua tahun, Sunario berhasil mendapatkan gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang berarti ahli dalam ilmu hukum.
Lahir dan hidup dari keluarga Jawa terpandang tidak membuat Sunario tunduk begitu saja terhadap pemerintah Belanda. Sama seperti ayahnya, Sunario kerap melakukan protes dengan caranya sendiri.
Salah satu bentuk perjuangan Sunario Sastrowardoyo adalah melalui jalur hukum. Setelah mengenyam pendidikan di Belanda, Mr. Soenario pulang ke tanah air dan menjadi pengacara. Dengan modal keahlian di bidang hukum, ia beberapa kali mengadvokasi rakyat yang menderita akibat kebijakan pemerintah kolonial.
Di samping itu, Mr. Sunaryo aktif di organisasi-organisasi pemuda sejak sebelum kemerdekaan. Bahkan, hingga berusia 90, ia terus memberikan kontribusi kepada bangsa dalam bentuk pengajaran.
Sebelum pensiun, dia menerima penghargaan Mahaputera Adipradana dari Presiden Soeharto pada 6 Agustus 1985. Penghargaan itu diberikan sebagai wujud apresiasi atas jasanya terhadap bangsa Indonesia di bidang tertentu selain militer.
Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo tutup usia pada 18 Mei 1997, di usianya yang ke-94. Atas pengabdian dan jasanya untuk Indonesia, Prof Mr Sunario Sastrowardoyo dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Bentuk Perjuangan Sunario Sastrowardoyo
Sunario Sastrowardoyo merupakan tokoh yang sangat berdedikasi bagi perjuangan bangsa Indonesia. Itu dilakukannya sepanjang hidup, sejak muda hingga wafat pada usia 94 tahun.
Bentuk perjuangan Sunario Sastrowardoyo pada masa penjajahan tidak seperti pejuang gerilya yang berkonfrontasi fisik dengan serdadu Belanda. Mr. Sunaryo berjuang lewat jalur ide dan pemikiran.
Bahkan, dedikasi itu diberikan oleh Sunario meskipun dirinya tidak sedang tinggal di tanah air. Saat masih bersekolah di Belanda pada periode 1920-an, ia sudah aktif berorganisasi di Perhimpunan Indonesia (PI) atau sering disebut sebagai Jong Indonesia, sebuah ikatan pelajar atau mahasiswa yang belajar di Belanda.
Di Jong Indonesia, Mr. Sunaryo terlibat dalam perumusan Manifesto Politik 1925, sebuah dokumen yang mengusung prinsip-prinsip perjuangan persatuan (unity), kesetaraan (equality), dan kemerdekaan (liberty).
Bersama tokoh pemuda lainnya, Sunario Sastrowardoyo memikirkan dengan seksama konsep negara yang sesuai dengan karakter wilayah Nusantara. Bahwa, bentuk negara yang paling cocok bagi Indonesia adalah negara kesatuan, bukan federal.
Sekembalinya dari Belanda, Sunario mengambil peran sebagai pengacara. Ia mendedikasikan peran tersebut untuk membela rakyat yang berkonflik dengan pemerintah kolonial. Sunaryo Sastrowardoyo juga punya andil dalam pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927, bersama tokoh lain seperti Soekarno dan Hatta.
Setahun setelah mendirikan PNI, Sunario melanjutkan perjuangannya melalui perhelatan Kongres Pemuda 2. Peran Sunario Sastrowardoyo dalam Sumpah Pemuda sangat besar. Bahkan, bisa dibilang, Kongres Pemuda 2 dapat terselenggara berkat perjuangannya.
Kala itu, Sunario bertugas meminta izin kepada pemerintah Kolonial agar diperbolehkan mengadakan acara resmi berupa kerapatan besar pemuda. Awalnya, proses perizinan sempat dipersulit dengan pelbagai dalih aparat kolonial. Namun, pada akhirnya, perizinan pun selesai. (Bambang Sularto, Wage Rudolf Supratman, 2012:131).
Peran Sunario Sastrowardoyo dalam Sumpah Pemuda juga berkaitan dengan gagasan. Di kerapatan besar itu, ia menjabat sebagai penasihat panitia penyelenggara. Bahkan, Mr. Sunaryo diberikan waktu khusus untuk berpidato di akhir rapat.
Di sesi tersebut, Sunario menyampaikan ide tentang persatuan, kesetaraan, dan kemerdekaan, yang sebelumnya telah terejawantahkan dalam Manifesto Politik 1925. Gagasan itu diungkapkan secara lugas melalui pidatonya yang berjudul "Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia".
Perjuangan Sunario Sastrowardoyo di masa sebelum kemerdekaan tidak berhenti di situ. Sunario juga pernah memimpin Indonesia Nationale Padvinderij Organisatie (INPO), sebuah organisasi kepanduan yang berperan penting dalam membentuk kesadaran kebangsaan di kalangan generasi muda pada masa penjajahan.
Setelah kemerdekaan, Sunario berperan aktif di dalam pemerintahan Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Luar Negeri dan memimpin berbagai upaya diplomasi yang krusial bagi bangsa Indonesia, termasuk dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1953.
Setelah pensiun dari dunia politik, ia mendalami dunia akademis dan terlibat sebagai pengajar senior di beberapa lembaga pendidikan.
Pada 1960, dia tercatat menjadi Rektor IAIN Al-Jamiah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah, cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selanjutnya pada 1963, Sunario menjadi Rektor Universita Diponegoro Semarang.
Sunario pernah ditunjuk untuk terlibat dalam Panitia Lima bersama Hatt, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, dan A.G. Pringgodigdo, pada 1974. Panitia tersebut dibentuk pada masa pemerintahan Soeharto lantaran muncul perdebatan terkait siapa yang sebenarnya merumuskan Pancasila.
Editor: Fadli Nasrudin