Menuju konten utama

Bagaimana Hukum Ayah Tidak Menafkahi Anak? Ini Penjelasannya

Ayah wajib menafkahi anak, bahkan setelah bercerai. Pelajari lebih lanjut tentang hukum ayah tidak menafkahi anak, baik menurut agama maupun hukum negara.

Bagaimana Hukum Ayah Tidak Menafkahi Anak? Ini Penjelasannya
Ayah dan anak itu berpegangan tangan dan berjalan saat matahari terbenam. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hukum ayah tidak menafkahi anak sering menjadi pertanyaan bagi para orang tua, termasuk mereka yang sudah bercerai. Kewajiban orang tua terhadap anak tidak serta-merta gugur hanya karena perceraian. Lalu, bagaimana hukum ayah tidak menafkahi anak setelah bercerai?

Seorang ayah memang memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarganya. Nafkah sendiri dapat diartikan sebagai harta yang diberikan kepada keluarga atau orang yang menjadi tanggungannya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan lain sebagainya.

Sementara itu, nafkah untuk keluarga tidak terbatas pada materi saja, tapi juga nafkah batin yang mencakup perhatian dan kasih sayang yang memang dibutuhkan untuk menjamin keutuhan sebuah keluarga.

Baik dalam hukum agama maupun negara, nafkah sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab seorang ayah sebagai pemimpin keluarga. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi dan ayah tidak menafkahi anaknya, tentu akan ada konsekuensi yang harus ditanggung oleh pihak ayah.

Hukum Ayah Tidak Menafkahi Anak dalam Islam

diajeng Memiliki Pasangan Mirip Ayah

Pemandangan belakang ayah dan putri kecil saat liburan duduk di tepi danau. FOTO/iStockphoto

Agama Islam telah mengatur persoalan nafkah sedemikian rupa agar keharmonisan keluarga tetap terjaga. Banyak dalil yang menerangkan kewajiban seorang ayah dalam hal nafkah, salah satunya adalah firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya sebagai berikut:

“Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (QS. Al-Baqarah: 233).

Dalam Islam, mencari nafkah bahkan dianggap sebagai jihad (berjuang dengan segenap kemampuan) di jalan Allah SWT. Tak hanya itu, memberi nafkah kepada keluarga juga dapat mendatangkan pahala yang sangat besar, bahkan lebih besar dibandingkan bersedekah pada orang miskin.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang tercantum dalam hadis riwayat Muslim yang artinya:

"Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: Sebuah dinar yang engkau belanjakan untuk perjuangan fisabilillah, sebuah dinar yang engkau belanjakan untuk seorang hamba sahaya (lalu dapat segera merdeka), sebuah dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan sebuah dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, maka yang terbesar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan kepada keluargamu itu." (HR Muslim).

Ilustrasi Uang Kertas

Ilustrasi Uang Rupiah Kertas. foto/istockphoto

Memberi nafkah adalah sebuah kewajiban yang melekat pada diri seorang ayah. Jika ayah tidak menafkahi anak, berarti ia telah melanggar perintah Allah SWT yang bisa berujung pada dosa.

Perceraian pun tidak bisa menjadi alasan untuk tidak menafkahi anak. Setelah bercerai, seorang ayah tetap wajib memberikan nafkah kepada sang anak yang merupakan darah dagingnya sendiri. Kewajiban ini berlaku sampai si anak dewasa dan sudah mandiri atau mampu menafkahi dirinya sendiri.

Dalam Islam, terdapat istilah hadhanah yang dapat diartikan sebagai pemeliharaan atau tindakan menjaga anak yang masih kecil (belum tamyiz) atau belum bisa mengurus dirinya sendiri setelah adanya perceraian orang tua.

Dalam Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

Dalil Mengenai Ayah jika Tidak Menafkahi Anak

Ilustrasi Islam

Ilustrasi Islam. foto/Istockphoto

Ayah tidak menafkahi anak adalah hal yang bertentangan dengan agama, bahkan dilarang oleh hukum negara yang berlaku di Indonesia. Dosa ayah tidak menafkahi anak setelah bercerai pun bukanlah omong kosong karena perceraian tidak memutus kewajiban seorang ayah terhadap anaknya.

Setelah bercerai, anak tetap menjadi tanggungan sang ayah sehingga tidak ada istilah mantan anak, baik dalam agama maupun hukum negara. Adapun dalil tentang dosa ayah tidak menafkahi anak dapat dilihat dalam hadis riwayat Muslim berikut:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukuplah disebut berdosa orang-orang yang menahan (memberi) makan (pada) orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim).

Sementara jika dilihat dalam konteks hukum negara, ada pula pasal ayah tidak menafkahi anak. Jadi, seorang ayah yang melalaikan kewajibannya untuk menafkahi anak dianggap sebagai tindak pidana dengan hukuman penjara atau denda.

Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menyebutkan bahwa menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya (termasuk anak) terancam hukuman penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp15 juta.

Sementara menurut Pasal 77 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum menelantarkan anak dalam Islam adalah dilarang karena hal ini melanggar syariat dan bisa mendatangkan dosa. Menelantarkan anak juga sangat bertentangan dengan hukum negara sehingga ayah yang tidak menafkahi anaknya bisa terancam hukuman pidana.

Ayah tidak menafkahi anak merupakan bentuk kelalaian yang tidak hanya melanggar hukum agama, tetapi juga hukum negara dan moralitas sebagai orang tua. Baik bercerai maupun tidak, seorang ayah tetap wajib memberikan nafkah pada anaknya, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi juga memberikan teladan bagaimana seharusnya seorang ayah bersikap dan bertanggung jawab.

Baca juga artikel terkait HUKUM ISLAM atau tulisan lainnya dari Erika Erilia

tirto.id - Hukum
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani