tirto.id - Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan masyarakat untuk “mematuhi perintah” karantina wilayah atau lockdown dalam rangka menekan penyebaran COVID-19. Ia bahkan mengancam siapa saja yang melanggar itu--dengan keluar rumah tanpa izin--“tembak mati saja di tempat.”
“Ketimbang membahayakan hidup orang banyak, lebih baik saya mengubur kamu,” kata Duterte, Rabu (1/4/2020) lalu.
Sehari kemudian, Kepala Kepolisian Filipina menegaskan pernyataan tersebut hanya ungkapan hiperbola untuk menunjukkan betapa seriusnya pandemi ini.
Departemen Kesehatan Fipilina melaporkan kasus pertama COVID-19 pada 30 Januari 2020. Saat itu yang terjangkit adalah seorang WNA Cina berusia 38 tahun. Pada 7 Maret, pemerintah mengonfirmasi transmisi pertama terhadap warga lokal. Per Kamis (2/3/2020), sudah ada 2.633 kasus positif, dengan jumlah kematian 107.
Meski polisi menegaskan tidak akan ada tembak di tempat bagi para pelanggar karantina wilayah, kebijakan Duterte dalam menangani pandemi tetap dicap berlebihan dan represif. Ia bahkan dianggap menunggangi situasi darurat ini untuk membungkam oposisi.
Awalnya adalah kebijakanlockdown ketat di Luzon, pulau terbesar di Filipina yang dihuni 57 juta penduduk, 15 Maret lalu. Pada 23 Maret, parlemen mengesahkan Undang-Undang Bayanihan yang memberikan Duterte kekuatan khusus sementara untuk mengelola krisis COVID-19 di negara berpenduduk 110 juta orang itu.
Lewat aturan baru itu, sekira 275 miliar peso dari APBN disediakan untuk subsidi 18 juta keluarga miskin; serta 75 miliar peso untuk proses tes dan pembelian alat tes COVID-19, alat pelindung diri bagi petugas medis, dan untuk membangun atau menyewa rumah sakit sementara dan perumahan bagi para pekerja medis.
Duterte juga berwenang mengalokasikan sejumlah item pada anggaran belanja 2020 untuk menekan penyebaran COVID-19. Ia juga diperbolehkan menjadikan rumah sakit swasta dan fasilitas medis lain sebagai pusat karantina dan mengambil alih operasional transportasi umum untuk mengangkut petugas medis.
Peraturan baru ini nampak meyakinkan untuk menekan penyebaran virus. Masalahnya ia juga memperluas dan memperdalam kekuasaan Duterte.
“Jangankan kekuasaan darurat ini, kekuasaan yang sudah ada saja telah disalahgunakan,” kata dosen hukum Jar Batongbacal, seperti dilansir dari South China Morning Post.
Rezim Duterte dikenal otoriter. Ia memenjarakan orang-orang yang mengkritiknya, mencelakai jurnalis, dan paling parah membunuhi warga atas nama perang terhadap narkoba sejak menjabat presiden pada 2016 lalu.
Arlene Brosas, anggota parlemen, memberi contoh bagaimana UU Bayanihan berbahaya bagi masyarakat sipil. Peraturan itu dapat menghukum penyebar berita palsu tentang COVID-19. Ia menilai pasal itu karet dan bisa digunakan untuk menangkap orang-orang yang menentang kebijakan pemerintah.
“UU Bayanihan mungkin berbahaya bagi orang-orang yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah di tengah wabah COVID-19,” kata
Sejak lockdown Luzon diberlakukan, menurut Human Rights Watch, ratusan orang di Manila dan beberapa tempat lain telah ditangkap karena melanggar jam malam, regulasi karantina, dan aturan social-distancing (jaga jarak).
“Dia lebih dari siap untuk menggunakan kekuatan penuh militer, polisi, dan regu tembak untuk melawan rakyatnya sendiri. Rasanya tidak akan ada yang menjamin kalau dia cukup marah, dia tak akan menggunakan alasan kepentingan nasional untuk membungkam seseorang dengan kekerasan atau aturan itu,” kata Brad Adams, Direktur HRW untuk Asia.
Carlos Conde, peneliti HRW di Filipina, bahkan menyebut pernyataan perang Duterte melawan COVID-19 adalah ironi karena pada saat yang sama kebijakan perang melawan narkoba tak berhenti dan terus memakan korban.
Menurut laporan terbaru yang diterbitkan pertengahan Desember lalu, setidaknya 5.552 orang tewas selama operasi polisi sejak Duterte jadi Presiden Filipina. Para pembela hak asasi mengatakan sedikitnya 27 ribu orang tewas pada pertengahan 2019, termasuk yang dibunuh orang-orang tak dikenal bersenjata.
“Pemerintah harus menyetop ‘perang narkoba’, terutama karena saat ini masyarakat tengah menderita karena COVID-19,” kata Conde. Menurutnya, cara Duterte mendeklarasikan keadaan darurat karena virus ini memungkinkan pihak berwenang “memiliki banyak peluang untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan” sehingga meningkatkan “potensi penyalahgunaan.”
Editor: Rio Apinino