tirto.id - Kerusuhan besar terjadi di penjara Altamira, Para, Brazil, pada Selasa (29/07) sekitar pukul 07.00 waktu setempat. Dalam kerusuhan itu, korban tewas mencapai 57 orang, mayoritas karena mengalami sesak napas akibat asap kebakaran. Sedangkan 16 korban di antaranya mati dengan cara mengenaskan: kepala mereka dipenggal.
"Kebanyakan korban tewas berasal dari sesak nafas (dari asap)," demikian pernyataan resmi pemerintah Para, seperti dikutip dari BBC.
Pertikaian antargeng menjadi pemicu kerusuhan hebat tersebut. Pernyataan resmi pemerintah negara bagian Para menyebutkan, kerusuhan ini dimulai ketika sejumlah anggota geng Comando Classe A (CCA)--mereka bagian dari geng First Capital Command (PCC) yang diyakini sebagai geng narkoba terbesar dan terkuat di Brazil--membakar sel yang dihuni para anggota geng Comando Vermelho (Komando Merah). Akibatnya, kerusuhan tak dapat dihindarkan.
Menurut Jarbas Vasconcelos, Kepala Sipir penjara Altamira, kerusuhan tersebut merupakan murni pertikaian antarkelompok dan bukan bagian dari pemberontakan. "Itu adalah serangan yang ditargetkan. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa perang yang terjadi merupakan cara penyelesaian antara kedua kelompok, bukan protes atau pemberontakan terhadap sistem penjara," kata Vasconcelos seperti dilansir CBSNews.
Penjara Altamira sejatinya hanya memiliki kapasitas untuk menampung 163 orang. Namun, pada kenyataannya, terdapat 343 tahanan yang ada di sana. Dengan hanya memiliki 33 orang sipir, keamanan penjara Altamira jelas mengkhawatirkan. Akibat kerusuhan tersebut, Pemerintah Brazil akan segera memindahkan para terduga pelaku ke penjara federal yang dinilai lebih aman dan ketat.
Presiden Brazil, Jair Bolsonaro, ketika terpilih sempat berjanji akan membangun beberapa penjara baru untuk mengatasi masalah kriminal di negaranya, sekaligus mencegah kepadatan di penjara lain agar dapat terkendali. Namun, menurut Vasconcelos, penjara Altamira belum termasuk ke dalam kategori yang terlalu padat.
"[Penjara] ini bukan unit yang mengalami kepadatan. Kami mempertimbangkan kepadatan saat melebihi 210%," ujar Vasconcelos.
Kerusuhan di penjara bukan hal yang asing di Brazil. Dua tahun lalu, kerusuhan tragis yang juga karena pertikaian antargeng terjadi di penjara Anisio Jobim di kawasan Manaus, Negara Bagian Amazonas, hingga menewaskan 56 tahanan. Sebanyak enam jenazah tanpa kepala juga turut dilemparkan ke pagar batas penjara. Kericuhan yang dimulai pada Minggu (01/01/2017) itu baru berakhir 17 jam kemudian manakala para narapidana menyerahkan senjata mereka dan membebaskan 12 sipir yang dijadikan sandera.
Adapun kerusuhan terbesar di penjara yang pernah terjadi di Brazil berlangsung pada 1992 dan kelak dikenal dengan sebutan ‘Tragedi Carandiru’. Sebanyak 111 narapidana dibunuh di penjara Carandiru, São Paulo, oleh polisi yang berupaya menguasai kembali penjara tersebut. Tahun 2013, Pengadilan Sao Paulo menjatuhkan hukuman pada 23 anggota polisi yang dianggap bersalah atas insiden tersebut dan masing-masing dari mereka divonis hukuman 156 tahun penjara.
Perang Antargeng, Overkapasitas, dan Pertikaian dengan Sipir
Pertikaian antargeng paling sering menjadi pemicu kerusuhan di dalam penjara. Namun, kerusuhan mungkin juga disebabkan persoalan over kapasitas.
Dua bulan sebelum kerusuhan penjara Altamira terjadi, bentrokan berdarah juga terjadi di sebuah penjara yang terletak di salah satu kompleks kantor polisi di wilayah Acarigua, Portuguesa, Venezuela bagian barat, pada Jumat (24/05/2019). Sedikitnya 29 narapidana tewas dalam bentrokan ini dan 20 personel kepolisian mengalami luka-luka. Selain itu, sejumlah pengunjung juga disandera oleh pemimpin narapidana setempat..
Otoritas setempat menyebut bentrokan itu dipicu upaya melarikan diri yang gagal. Namun kelompok HAM lokal, Una Ventana a la Libertad, justru mengatakan bahwa yang terjadi ialah pembantaian oleh polisi. Sementara Menteri Keamanan wilayah Portuguesa, Oscar Valero, memberi keterangan lebih diplomatis kepada Reuters:
"Ada upaya melarikan diri dan perkelahian pecah antara geng narapidana. Dengan intervensi polisi untuk mencegah narapidana kabur, ada 29 korban tewas.”
Direktur Una Ventana a la Libertad, Carlos Nieto, menyebut bentrokan pecah ketika satuan polisi khusus atau FAES dikerahkan untuk menyelamatkan beberapa pengunjung yang disandera pemimpin narapidana atau 'pran'.
Menurut laporan internal kepolisian setempat, si pemimpin narapidana yang bernama Wilfredo Ramos menjadi salah satu narapidana yang tewas dalam bentrokan. Dalam sebuah video yang beredar, tampak seseorang--yang diyakini sebagai Ramos--sebagian wajahnya tertutup pistol dan granat, tengah mengancam dua pengunjung wanita.
Penjara tersebut sebenarnya hanya berkapasitas 60 orang, namun kini ditempati oleh 500 narapidana. Biasanya penjara tersebut dipakai hanya untuk menampung para tahanan selama 48 jam hingga mereka menghadapi dakwaan resmi. Namun, praktiknya, para tahanan mendekam di sana hingga berbulan-bulan atau bertahun-tahun karena penjara reguler terlalu penuh.
Humberto Prado, perwakilan dari Venezuelan Prisons Observatory, salah satu kelompok HAM lain di Venezuela, turut mempertanyakan keterangan otoritas setempat terkait bentrokan tersebut. Dilansir The Guardian, ia mengatakan: "Bagaimana bisa terjadi konfrontasi antara narapidana dan polisi, tapi hanya narapidana saja yang tewas? Dan jika para narapidana memiliki senjata, bagaimana senjata-senjata ini bisa masuk (ke dalam penjara)?"
Pada Desember 2007, kerusuhan dengan skala besar juga pernah terjadi di penjara Apanteos, El Salvador. Kerusuhan di penjara berkapasitas sekitar 2.000 narapidana itu dipicu oleh pertengkaran antara seorang penjaga dan seorang tahanan. Huru-hara pun segera menjalar di banyak sel. Para narapidana mempersenjatai diri mereka dengan menggunakan sekop, potongan dinding yang rusak, hingga senjata rakitan. Akibat bentrokan ini, 21 narapidana tewas.
Di bulan yang sama pula kerusuhan terjadi di penjara kota Vakhdat, sekitar 10 km timur Dushanbe, Tajikistan. Kementerian Kehakiman Tajikistan pada Senin (20/5/2019) menyatakan sebanyak tiga sipir dan 29 narapidana tewas dalam insiden yang terjadi di penjara berkeamanan tinggi tersebut.
Dalang kerusuhan ini adalah 24 anggota ISIS, di antaranya bernama Bekhruz Gulmurod, putra dari Gulmurod Khalimov yang merupakan kolonel pasukan khusus Tajikistan yang membelot ke ISIS pada tahun 2015.
Meski hanya bersenjatakan pisau, para anggota ISIS tersebut mampu menewaskan tiga sipir dan lima tahanan lainnya dalam satu sel. Pasukan keamanan kemudian melakukan tindakan keras hingga menewaskan mereka semua dan segera memulihkan kondisi di penjara yang menampung sekitar 1.500 tahanan itu. Sebelumnya ISIS pernah mengklaim bertanggung jawab atas kerusuhan penjara Tajikistan pada November lalu.
Di penjara Metrodiscom Davao, Filipina, juga pernah terjadi kerusuhan tragis pada tahun 1989 dan berlangsung selama dua hari, 13-15 Agustus. Kerusuhan dipicu oleh protes geng Wild Boys of DaCol terkait kondisi buruk penjara. 16 tahanan yang melarikan diri kala itu juga sempat menyandera 15 warga sipil yang merupakan anggota komunitas Protestan. Kerusuhan itu akhirnya usai, dan memakan korban tewas 21 orang, 16 merupakan para narapidana, sementara 5 lainnya adalah warga sipil termasuk Jacqueline Hamill, seorang misionaris asal Australia.
Di Indonesia, ada pula beberapa kerusuhan di penjara hingga menewaskan korban jiwa. Pada 2001 silam, kerusuhan di rutan Salemba, Jakarta, yang dipicu akibat perbedaan jatah makan dari pihak penjara menyebabkan pertikaian antara blok N dan K dan menyebabkan dua orang tewas. Dua tahun berikutnya, tiga narapidana tewas dalam bentrok antarkelompok yang terjadi di LP Tanjung Gusta, Medan. Pada 2013, LP itu dibakar oleh sekelompok narapidana yang kemudian berhasil melarikan diri.
Pada Mei 2018, juga terjadi kerusuhan di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Musababnya adalah kerusuhan yang dipicu oleh narapidana kasus terorisme, Wawan Kurniawan yang merupakan pemimpin Jamaah Ansharut Daulah, Pekanbaru.
Over kapasitas dan kehidupan keras dalam penjara membuat masalah sekecil apapun rentan dijadikan alasan untuk bertikai. Mungkin pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani narapidana perlu dicoba oleh berbagai negara yang kerap dilanda kerusuhan lapas. Penjara “mewah” bernama Halden yang dibuat oleh pemerintah Norwegia dapat menjadi contoh.
Editor: Nuran Wibisono