tirto.id - Ada pendapat yang menyatakan bahwa salah satu cara ampuh untuk meredam kejahatan bukanlah dengan memperkeras bentuk hukuman sampai menimbulkan efek jera, melainkan dengan memperlakukan para penjahat secara manusiawi.
Pendapat ini tentu saja mengundang perdebatan. Mereka yang menolak bersikukuh bahwa penjahat yang sudah bertindak bengis tak sepantasnya diperlakukan setara dengan manusia lainnya. Sekali penjahat tetap penjahat. Tak ada maaf dan kesempatan kedua. Kasta mereka rendah dan sebaik-baiknya tempat untuk mereka adalah bukan di kehidupan masyarakat.
Sementara yang mendukung mengatakan bahwa memperlakukan para penjahat secara manusiawi bisa mereduksi niat jahat yang masih tertanam di pikiran mereka. Para pelanggar hukum disadarkan bahwa mereka merupakan manusia yang masih punya martabat seraya diingatkan apabila tindak kejahatan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak.
Melalui penjara bernama Halden, pemerintah Norwegia mengambil memilih opsi kedua; memanusiakan penjahat agar tak mengulang tindakan mereka di masa depan.
Halden adalah penjara dengan tingkat keamanan tinggi (high-security prison) yang menampung ratusan orang, mulai dari pemerkosa, pembunuh, sampai perampok. TheGuardian mencatat, penjara yang terletak di dekat perbatasan Swedia ini pertama beroperasi pada 2010 dengan total biaya pembangunan senilai 1,3 miliar krona Norwegia (setara £138 miliar pada 2012).
Jessica Benko dalam “The Radical Humaneness of Norway’s Halden Prison” yang dimuat di The New York Times mengatakan ketika Anda memasuki Halden, Anda tak akan menemukan gulungan kawat tajam yang dipasang di muka penjara pada umumnya, tak ada pagar listrik, apalagi menara berawak penembak jitu yang siap menembakkan pelurunya jika tahanan mencoba kabur.
Bagi siapapun yang akrab dengan penjara, catat Jessica, Halden tampak asing. Fasilitasnya modern dan dilengkapi dengan baik, suasananya tenang dan damai. Tak ada kesan bahwa penjara adalah tempat paling menyeramkan di dunia.
Kondisi di dalamnya hanya menambah rasa takjub. Seperti yang diceritakan Amelia Gentleman dalam “Inside Halden, The Most Humane Prison in the World” yang terbit di The Guardian, bangunan dalam Halden mirip dengan hotel Skandinavia. Desain minimalis yang tersusun dari deretan interior memanjakan mata. Semuanya tertata rapi.
“Arsitekturnya memang tidak seperti penjara lain,” kata Are Høidal, Direktur Halden. “Kami ingin menciptakan suasana yang tidak terlihat seperti penjara. Kami ingin menciptakan normalitas. Kami hendak menekankan bahwa kehidupan di dalam tembok harus sebaik mungkin dengan kehidupan di luar.”
Kondisi sel-sel penjara pun juga mengesankan. Setiap sel di Halden dilengkapi televisi layar datar, kamar mandi dengan shower dan handuk putih besar nan lembut, lemari es, meja, papan tulis, serta jendela besar yang memungkinkan tahanan melihat pemandangan hutan di luar kamar. Ditambah, mengutip Al Jazeera, masing-masing sel tidak memiliki sekat besi seperti halnya ruang tahanan pada umumnya. Saking istimewanya sel di Holden, Høidal menyebut kondisi ruang tahanan di Holden lebih bagus dibanding kamar hotel di Oxford Street, London.
Hal lain yang menarik dari Holden ialah rutinitas para tahanannya. Setiap hari, pintu sel narapidana akan dibuka pukul 07.30 pagi dan ditutup kembali pada 8.30 malam. Para narapidana, selama waktu tersebut, diajak mengikuti bermacam kegiatan, mulai dari pendidikan, pelatihan, hingga permainan. Høidal menyatakan bahwa pihaknya ingin membuat para narapidana sibuk beraktivitas agar mereka “tidak agresif serta lebih bahagia.”
Kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan di Holden bagi narapidana antara lain lokakarya keterampilan, sesi diskusi, bermain musik, kompetisi olahraga, sampai memasak. Dalam mengikuti kegiatan, narapidana bakal diberi kompensasi uang sebanyak 53 krona per hari.
Dalam menjalankan kegiatannya, narapidana akan didampingi petugas lapas yang jumlahnya sekitar 340 orang. Petugas lapas punya tupoksinya masing-masing: ada yang jadi sipir, guru, hingga pekerja layanan kesehatan. Perekrutan petugas lapas sendiri memakan proses yang tak sebentar. Mereka yang ingin bekerja di Holden, maka harus menyelesaikan kursus setingkat pendidikan di universitas selama dua tahun. Mereka didorong menguasai pemahaman tentang HAM, etika, dan hukum.
Tugas pekerja lapas di Holden tak sebatas kerja-kerja teknis. Mereka dituntut untuk berbaur dengan tahanan, berkomunikasi dengan mereka, memberikan nasihat, serta mendampingi maupun mendoktrin tahanan agar tak melakukan kejahatan di masa depan. Petugas lapas harus jadi motivator, pendidik, sekaligus panutan bagi para tahanan.
Maka, dengan fondasi hubungan semacam itu, pemandangan yang memperlihatkan petugas lapas berbincang santai dengan tahanan sembari menyeruput teh atau kopi hingga para tahanan yang berjalan bebas dari satu gedung ke gedung lainnya tanpa pengawasan menjadi gambaran biasa yang terjadi di Holden. Ini semua dapat terealisasi berkat kepercayaan yang sudah timbul di antara kedua pihak.
“[Di Holden] Anda bisa percaya kepada sebagian besar tahanan,” kata Lasse Andresen, petugas senior di Halden, dikutip Al Jazeera. “Tapi, memang ada beberapa yang tidak bisa Anda percaya karena ada yang salah dalam kepala mereka.”
Akan tetapi, setiap usaha yang besar tentu membutuhkan investasi yang besar pula. Dana yang dialokasikan untuk operasional di Halden mencapai sekitar 3.000 krona (£320) tiap harinya. Angka itu jauh lebih banyak dibanding penjara-penjara lain di seantero Norwegia yang ditaksir hanya butuh 2.000 krona. Dalam setahun, jumlah dana yang dibutuhkan di Holden menyentuh £116.000, jauh dari biaya rata-rata, katakanlah, di penjara Inggris yang cuma £45.000.
Bagaimanapun juga, beberapa tahanan merasa Halden tetaplah penjara seperti pada umumnya. Yang membedakan adalah model bangunannya yang nampak bagus dipandang. Narapidana bernama Kent, yang dihukum tiga tahun akibat melakukan serangan kekerasan, misalnya, menyebut Halden “telah merenggut kebebasannya.”
“Yang terburuk adalah ketika waktu sudah malam, pintu sel sudah ditutup, dan yang bisa kamu lakukan hanyalah duduk di sebuah kamar. Itulah yang selalu jadi waktu-waktu sulit,” akunya.
Senada dengan Kent, seorang napi kasus penyelundupan narkoba, menyatakan bahwa banyak orang yang mengira tinggal di Halden serasa seperti tinggal di hotel bintang lima. Namun, menurutnya, “Penjara adalah penjara. Mereka mengurungmu.”
Gudrun Molden, salah satu arsitek perancang Halden mengungkapkan meski model Halden jauh lebih layak dibanding penjara-penjara Norwegia lainnya, tapi esensi “penjara sebagai medium hukuman” tak serta merta hilang begitu saja.
“Tentu saja Halden tetap mengambil kebebasan mereka. Ini disimbolkan lewat dinding-dinding yang berdiri tegak di seluruh bangunan Halden,” tegasnya.
Imbas Reformasi Hukum
Ryan Berger dalam makalahnya berjudul “Kriminalomsorgen: A Look at the World’s Most Humane Prison System in Norway” (PDF) mengatakan bahwa perlakuan terhadap narapidana di Halden sepenuhnya difokuskan untuk rehabilitasi dan membantu mempersiapkan mereka menjalani kehidupan usai masa penjara.
Pada dasarnya, sistem hukum di negara tersebut mengedepankan proses rehabilitasi dibanding hukuman. Paradigma ini sudah terlihat tatkala Norwegia melarang hukuman mati bagi warga sipil sejak 1902 dan menghapuskan hukuman seumur hidup pada 1981 lalu menggantikannya dengan kurungan maksimal selama 21 tahun.
Namun, perubahan jenis dan masa hukuman saja rupanya tak dirasa cukup. Pada 1998, Kementerian Kehakiman Norwegia meninjau kembali metode dan tujuan Dinas Pemasyarakatan (Correctional Service), dan menyimpulkan bahwa proses hukuman narapidana harus terdiri dari pendidikan, pelatihan kerja, dan proses terapi.
Hampir satu dekade kemudian, pada 2007, pemerintah lagi-lagi mengevaluasi kesimpulan yang ada. Hal yang ditambahkan ialah reintegrasi narapidana selepas mereka bebas. Penekanan khusus dalam poin ini adalah penjara harus membantu narapidana mengasah kemampuan mereka agar bisa bersaing mendapatkan pekerjaan di masyarakat. Selain itu, konsensus 2007 juga menegaskan bahwa pemerintah, bekerjasama dengan lembaga lainnya, akan menyediakan jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, hingga dana pensiun bagi narapidana.
Walhasil, Halden yang berstatus penjara pertama yang dibangun selepas keputusan itu tersebut, otomatis tak luput menerapkan butir-butir konsensus di atas. Setiap aspek pembangunan penjara dirancang untuk mengurangi tekanan psikologis, mereduksi konflik, meminimalisir friksi antar penghuni, serta fokus pada tahapan rehabilitasi maupun reintegrasi masyarakat, sesuai dorongan reformasi hukum pemerintah.
Satu penelitian, seperti yang dikutip Berger dalam makalahnya, menyebutkan bahwa kebijakan pendekatan hukum yang manusiawi (lewat penjara maupun masa tahanan) berandil dalam mengubah perilaku tahanan usai bebas. Penelitian tersebut—yang dilakukan dalam rentang 2005 hingga 2009 dan melibatkan 22.000 tahanan—mengatakan sebanyak 40% tahanan di Norwegia punya prospek lebih baik mendapatkan pekerjaan usai bebas dan memiliki kemungkinan 46% lebih kecil untuk kembali melakukan tindak kejahatan.
Tak cuma itu saja, pendekatan manusiawi di penjara macam Halden juga berkontribusi dalam menurunkan angka kejahatan secara keseluruhan. Tingkat kejahatan di Norwegia, usai pendekatan itu ditempuh, bisa mencapai 20% saja. Angka ini unggul dibanding negara-negara Nordik lainnya (Swedia, Finlandia, Islandia, Denmark) yang rata-rata tingkat kejahatannya mencapai 24% dan 31%.
“Kami tidak berpikir bahwa memperlakukan mereka dengan keras akan membuat mereka menjadi orang yang lebih baik. Kami tidak berpikir tentang balas dendam dalam sistem penjara Norwegia. Kami lebih fokus pada rehabilitasi. Bangunan inilah yang bisa menjadikan mereka lebih 'lembut.'"