Menuju konten utama

Saat Para Tahanan Belajar Jadi Tukang Ledeng atau Barista

Ada ragam upaya agar narapidana tidak kembali ke dalam penjara.

Saat Para Tahanan Belajar Jadi Tukang Ledeng atau Barista
Tidak ada dinding jeruji, tapi juga tidak ada kebebasan di Blok sel penjara Halden, Bastoy, Norwegia. REUTERS / Trond A. Isaksen

tirto.id - Bila dilihat sepintas, tak ada yang spesial dari akun Instagram Redemption Roasters, sebuah kedai kopi di Inggris. Unggahannya sama seperti unggahan yang dimiliki oleh banyak kedai kopi di seluruh dunia. Satu yang tampak membedakan hanyalah logo: gambar kunci dan besi-besi yang berjajar. Gambar tersebut menandakan filosofi Redemption Roasters yakni sebuah usaha yang punya niat untuk menjauhkan anak muda di Inggris dari tindakan kriminal.

Dalam situs resminya , pendiri Redemption Roasters menyebut bahwa usahanya muncul dari rasa prihatin melihat tingginya persentase residivis di Inggris. Mereka berkeinginan untuk memberikan berbagai keahlian sehingga para mantan narapidana itu tak perlu kembali masuk penjara.

Niat Redemption Roaster itu disambut oleh HM Prison Aylesbury, rumah tahanan yang menampung anak-anak dewasa muda pelaku kejahatan. Dengan biaya 80 ribu poundsterling, area dapur yang sudah tidak terpakai direnovasi menjadi tempat untuk menggiling biji kopi milik Redemption Roaster. Selain mengajarkan para tahanan cara menggiling kopi, Redemption Roaster membuka kelas untuk barista pemula. Satu sesi kursus diikuti oleh 10 orang.

Kisah sukses sudah sempat terjadi. Seorang tahanan yang bebas dari penjara ini berhasil mendapatkan pekerjaan tetap di Redemption Roasters, London. Lee Johnson, sosok yang bertanggung jawab dalam mencegah tahanan agar tak kembali ke penjara, berbangga hati mendengar kabar tentang tahanan yang berhasil mendapat pekerjaan.

“Salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan oleh para pencari kerja ialah apa yang dilakukan para tahanan itu selama ada di penjara. Melalui kursus ini, setidaknya mereka bisa bercerita bahwa mereka memiliki keahlian tertentu dan mampu menafkahi diri,” kata Lee.

Di Redemption Roasters, sejauh ini, ada api semangat anak muda untuk berkarya. Apa yang dilakukan Redemption Roaster memang mulia, tapi ia bukan satu-satunya maupun yang pertama. Ada beberapa program yang dibuat agar para tahanan bisa mempunyai keterampilan kerja.

Di Louisiana, Amerika Serikat, ada program Re-Entry Court yang mengajarkan para tahanan muda untuk mempelajari berbagai keterampilan, mulai dari teknik pipa ledeng hingga kuliner. Tak hanya itu, para tahanan juga disediakan kelas terapi kemarahan, juga kelas komunikasi. Program ini dirintis oleh Arthur Hunter dan Laurie White, dua orang Hakim di Orleans Parish Criminal District Court. Dua hakim ini merasa lelah, sekaligus sedih, melihat para tahanan yang sudah bebas kembali masuk penjara karena dunia luar tak mau mempekerjakan mereka, dan mereka tak punya keterampilan apapun untuk bekerja.

Pada musim panas 2011, Hunter dan White menginstruksikan 40 tahanan untuk kasus non kekerasan yang punya masa hukuman singkat untuk mengikuti kelas keterampilan ini. Selain itu, para tahanan yang tak punya ijazah SMA akan belajar untuk mendapat GED (gelar setara SMA). Para instruktur adalah para tahanan yang punya keterampilan, dan mereka yang menjalani hukuman panjang. Pesan para instruktur biasanya adalah: jangan jadi seperti kami.

"Mempunyai keterampilan ini, belajar banyak hal, membuatku jadi tak ingin menjadi seorang pelaku kriminal lagi," ujar Fauria, salah satu peserta program ini.

Selain itu, di penjara San Quentin, California, ada kelas pendidikan setara kuliah. Pendidikan dalam penjara ini ampuh untuk menurunkan tingkat residivisme. Dalam studi berjudul "Effect of Prison-Based College Education Programs on Recidivism: Propensity Score Matching Approach" (2013), juga ditemukan bahwa para tahanan yang mengikuti kelas di penjara lebih lama kedap perbuatan kriminal ketimbang yang tidak ikut.

Tapi tidak semua usaha pembekalan para tahanan itu berjalan mulus selepas mereka keluar dari penjara. Bulan September lalu, Amerika Serikat merayakan satu tahun tahanan yang mogok kerja. Para tahanan ini merasa mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari perusahaan yang mempekerjakan mereka.

AS punya kebijakan Prison Industry Enchancement Program (PIEP) yang diinisiasi pada 1979. Aturan tersebut mengizinkan perusahaan swasta untuk merekrut tahanan sebagai pekerjanya. Upah mereka diatur oleh Federal Prison Industries. Salah satu aturannya ialah membayar tahanan dengan gaji di bawah USD1 per jam. Seiring waktu berjalan, sejumlah perusahaan mendapat keuntungan besar dari proyek ini. Tetapi keuntungan tersebut dinilai tidak sebanding dengan upah yang diterima oleh para pekerja. Perusahaan yang sempat terlibat dalam program ini ialah McDonald’s, Starbucks, Nordstorm, dan AT&T.

Whole Foods, salah satu perusahaan yang terlibat dalam PIEP mengumumkan mereka tidak akan menggunakan pekerja tahanan karena mendapat protes dari konsumer. Konsumer menganggap upah tahanan terlalu rendah dan hal tersebut menyiratkan citra yang kurang baik pada perusahaan.

Para tahanan biasanya ditempatkan pada posisi pencuci piring, pencuci pakaian, dan pengantar surat. Ada pula program lain yang memungkinkan para tahanan memproduksi barang dan jasa untuk dijual ke pihak luar seperti lembaga pemerintahan, sekolah, dan organisasi nirlaba. Pada program ini, PIEP mempekerjakan 5.000 orang pada tahun 2015 lalu. Salah satu keuntungan yang nampak dari PIEP ialah peluang meningkatnya penghasilan dan keterampilan. Di samping itu, para tahanan yang terlibat dalam proyek ini cenderung terbebas dari tindak kejahatan.

Infografik penjara layak huni

Chandra Bozelko, penulis Up The River: An Anthology (2013) dan Prison Diariespernah berkata bahwa permasalahan upah hanyalah satu hal yang menyita pikiran mereka. Mereka merasakan perlakuan yang tak sama rata, merasa diri sebagai sasaran eksploitasi. Tentang upah, Bozelko mengharapkan perusahaan bisa memperlakukan mantan tahanan sebagai pekerja pada umumnya. Gina Honeycutt, Direktur Eksekutif National correctional Industries Association berkata bahwa program pemerintah itu bisa mengasah kemampuan kerja para tahanan.

“Banyak tahanan yang tidak pernah merasakan bekerja secara resmi dan dan mereka membutuhkan kemampuan dasar seperti datang tepat waktu, mendengarkan atasan, dan bekerja di dalam tim,” katanya seperti dikutip The Guardian.

Sesungguhnya ragam upaya untuk membuat tahanan bisa berinteraksi di lingkungan sosial telah dilakukan pula melalui program yang ada di dalam penjara. North Carolina Department of Public Safety menulis tentang agenda harian narapidana yang meliputi rekreasi dan berbagai jenis kelas guna menambah wawasan. National Criminal Justice Reference Service menyebutkan bahwa program edukasi yang diadakan di dalam penjara mampu mengurangi jumlah residivis. Meski penting, edukasi bukan jadi satu-satunya hal yang difokuskan terkait kegiatan di dalam penjara.

Di Halden, sebuah kota di Norwegia, ada sebuah penjara di Norwegia yang menampung pelaku pemerkosaan dan pembunuh, memiliki jumlah penjaga yang lebih banyak dari jumlah tahanan. Alasannya, agar penjaga yang ada bisa menjadi teman bercerita sang tahanan. Penjaga ini berperan sebagai motivator dan pembimbing. Norwegia masuk dalam daftar negara dengan tingkat residivis paling rendah di Eropa.

Di Halden, salah satu kota di Norwegia, ada penjara Halden yang menampung pelaku pemerkosaan dan pembunuh. Penjara ini memiliki jumlah penjaga yang lebih banyak dari jumlah tahanan. Alasannya, agar penjaga yang ada bisa menjadi teman bercerita sang tahanan. Penjaga ini berperan sebagai motivator dan pembimbing. Norwegia sendiri masuk dalam daftar negara dengan tingkat residivis paling rendah di Eropa. Selain itu, penjara Halden dijuluki sebagai penjara paling humanis di dunia.

"Kami merasa memperlakukan tahanan dengan keras tidak akan membuat mereka jadi orang yang lebih baik. Fokus kami adalah rehabilitasi," kata Are Høidal, Gubernur Halden.

Di Indonesia, masih sering terdengar kabar sumbang terkait kekerasan yang dilakukan pada para tahanan. Belum lagi kasus yang sudah dianggap kewajaran belaka: penjara yang menampung tahanan lebih banyak ketimbang kapasitas. Padahal para narapidana mempunyai hak yang diatur oleh Undang-Undang. Indonesia memang masih harus berusaha keras untuk memperbaiki kualitas penjara, maupun hak terhadap para tahanan.

Baca juga artikel terkait NARAPIDANA atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono