tirto.id - "Namanya Jelita. Mudah-mudahan hidupnya tidak menderita," kata Wati memperkenalkan buah hatinya.
Mulanya Wati berencana melahirkan Jelita di Cianjur, di tengah-tengah tiga kakak perempuannya, nenek, dan kakeknya yang berada di sana, juga, sang suaminya.
Sialnya, sebulan sebelum Jelita lahir, petugas keamanan Malaysia menggedor rumah yang disewa Wati. Para petugas itu memaksa Wati ikut mobil petugas keamanan Malaysia. Padahal, dalam tiga hari ia berencana pulang ke Indonesia. Wati mengaku masih ingat bagaimana dua petugas menarik tangannya secara paksa walaupun petugas itu mengetahui Wati sedang hamil besar. Dia dipaksa memasuki mobil yang akan membawanya menuju penjara. Wati harus mendekam dalam penjara akibat masa berlaku izin tinggal yang ia miliki habis.
"Saya tidak bisa memperpanjang 'permit', tidak ada uang, hanya cukup untuk makan," kata dia, seperti ditulis Antara. Meski tak bisa melahirkan di tanah air, Wati cukup beruntung tak harus mengalaminya di penjara. Ia dibebaskan sebelum hari perkiraan lahir (HPL) tiba dan akhirnya melahirkan di rumah bersalin kota persinggahannya, masih di Malaysia.
Cerita narapidana di Amerika Serikat, Jessica Preston, lain dengan Wati. Tahanan di penjara Macomb County ini dipenjara dalam keadaan hamil. Saat merasakan tanda-tanda akan melahirkan, ia memberi tahu staf medis di penjara. Sialnya, ia dituduh berbohong oleh para pekerja di Penjara Macomb County. Mereka bahkan menuduhnya berpura-pura dan mengancam akan membebani denda tambahan karena berbohong.
Staf penjara memutuskan Preston masih tidak perlu pergi ke rumah sakit dan malah memasukkannya ke dalam sel di bangsal medis untuk dipantau. Sel itu kotor, katanya. Kurang dari satu jam kemudian, dia melahirkan anaknya, Elia di lantai sel.
Baca juga:
Kejadian yang menimpa Wati dan Preston adalah contoh menyedihkan yang terjadi pada perempuan dalam institusi penahanan. Lilis Lisnawati dalam penelitiannya yang telah diterbitkan Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa sepanjang 2012-2015, tahanan perempuan mengalami kenaikan jumlah tahanan setiap tahunnya sebanyak 7,56 persen dan rata-rata kenaikan jumlah narapidana perempuan setiap tahunnya adalah sebanyak 8,76 persen.
Rumah tahanan memang tempat orang menjalani hukuman, tetapi bukan berarti ia adalah tempat menyiksa orang. Idealnya, tahanan menjalani hukuman sambil menyiapkan kehidupannya kelak saat bebas. Namun, cerita tentang rumah tahanan kadung dipenuhi stigma negatif, mulai dari penyiksaan dan perkelahian, makanan yang kurang layak, ruang lembab nan pengap, bullying, serta kejahatan seksual.
- Baca juga:Misalkan Buni Yani Masuk Bui
Belum lagi fasilitas yang kurang memadai. Mulai dari kelayakan gedung hingga jumlah tahanan yang melebihi kapasitas. Padahal, fasilitas yang harusnya dipenuhi pihak penjara untuk kebutuhan narapidana telah diatur dalam banyak peraturan. Termasuk yang mengatur perihal kebutuhan khusus narapidana perempuan saat mengalami menstruasi, melahirkan, sampai menyusui dan mengurus anaknya di penjara.
Baca juga:
Peraturan Soal Kebutuhan Khusus Perempuan
Penelitian Lilis Lisnawati menyebutkan sejumlah peraturan yang melindungi kebutuhan tahanan perempuan, di antaranya adalah Mandela Rules, United Nations for the Treatment of Women Prisoners and Non-Custodial Measures for Women Offenders (the Bangkok Rules), dan beberapa peraturan pemerintah RI.
Untuk ibu hamil dan menyusui, terdapat aturan khusus, yaitu kebutuhan makanan tambahan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 tahun 1999.
Dalam Mandela Rules, diterangkan bahwa narapidana perempuan dan laki-laki harus dipisahkan dalam institusi penahanan yang berbeda. Peraturan ini ditujukan untuk melindungi perempuan dari potensi kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Aturan itu juga menyebut akomodasi khusus bagi perempuan yang hamil dan melahirkan.
Peraturan ini menyebutkan bahwa tempat penahanan khusus perempuan harus memiliki akomodasi khusus untuk perawatan ibu hamil hingga setelah melahirkan. Pihak tempat penahanan juga harus mengatur agar anak dilahirkan di rumah sakit di luar penjara. Jika anak terpaksa dilahirkan di dalam tempat penahanan, fakta ini tidak boleh disebutkan di dalam akta kelahiran.
Terkait kebersihan, The Bangkok Rules mengatur tentang penyediaan akomodasi yang terkait dan disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan kebersihan personal bagi perempuan, seperti kebutuhan saat menstruasi, hamil, melahirkan, serta pasca-melahirkan.
Peraturan ini juga mengatur fasilitas kesehatan yang seharusnya ada dalam penjara. Termasuk pemeriksaan kesehatan umum, semisal penyakit menular seksual, kesehatan mental, catatan kesehatan reproduksi, ketergantungan narkotika, dan kekerasan seksual yang dialami selama masa penahanan.
Anak yang Besar di Penjara
Di Argentina, anak yang dilahirkan di penjara diperbolehkan menetap di sana hingga berusia empat tahun. Di Argentina, dalam 20 tahun terakhir, jumlah tahanan perempuan yang hidup bersama anak mereka terus naik. Setidaknya ada sepertiga dari jumlah tahanan wanita yang melahirkan dan membesarkan anak dalam kompleks penjara.
Sementara itu, hukum Zambia mengizinkan seorang bayi berusia di bawah empat tahun dari seorang tahanan wanita untuk tinggal dengan ibunya. Begitu anak mencapai usia empat tahun, penjara Zambia diminta untuk memberikan anak tersebut kepada saudara atau teman keluarga yang mampu dan bersedia mengasuhnya. Jika tetap tidak bisa, layanan penjara diharuskan menyerahkan anak tersebut pada otoritas kesejahteraan atau panti asuhan.
Di Turki terdapat peraturan yang menetapkan anak-anak berusia sampai enam tahun yang tidak memiliki siapa pun selain ibunya untuk diperbolehkan tinggal bersama ibunya di penjara. Pada siang hari, anak-anak ini akan berada di taman kanak-kanak atau sekolah yang dikelola oleh Dinas Sosial dan Perlindungan Anak atau organisasi dan institusi lainnya.
Anak-anak di bawah usia tiga tahun tinggal dengan ibu mereka di sel ibu. Anak-anak yang berada di penjara diberi makan dan minum sesuai usia, kondisi, dan kebutuhan mereka, sedangkan ibu menyusui harus diberi makanan yang sesuai dengan situasi mereka.
Di Indonesia sendiri, keputusan membesarkan anak di penjara tersebut pernah diambil oleh Dian Indriati Wijaya (44) seorang Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Lapas Wanita kelas II Bandar Lampung. Wanita yang divonis bersalah atas kasus pembunuhan ini akan mempertahankan anaknya di Lapas agar bisa tetap disusui. Namun, sesuai PP No.32 Tahun 1999, anaknya harus dipisah dengan sang ibu saat ia tepat berusia 2 tahun nanti.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani