tirto.id - Rumah tahanan Cabang Salemba yang berada di Markas Komando Brimob Polri di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, tak layak menjadi tempat menahan narapidana kejahatan terorisme. Rumah tahanan tersebut awalnya hanya diperuntukkan bagi narapidana anggota kepolisian.
Hal ini disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat mengunjungi rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Kamis sore (10/5/2018). Tito menyambangi rutan Mako Brimob usai dari kunjungan ke Yordania.
Kepala Densus 88 Antiteror periode 2009-2010 itu mendatangi Mako Brimob, sekitar pukul 17.30 WIB. Ia meninjau sejumlah tempat dalam rutan yang menjadi lokasi kerusuhan pada Selasa hingga Kamis pagi.
Selepas meninjau lokasi, Tito berujar bahwa Korps Bhayangkara akan mengevaluasi penyebab insiden tersebut. Salah satu poin penting yang akan dievaluasi terkait kelayakan rutan yang menjadi tempat penahanan ratusan narapidana kejahatan terorisme.
“Karena [rutan] ini bukan [rutan dengan] maximum security,” kata Tito.
Tito menegaskan, rutan Mako Brimob Kelapa Dua awalnya diperuntukkan bagi narapidana anggota Polri. Menurut Tito, penegak hukum tak bisa menempati sel yang sama dengan napi lainnya. Mantan Kapolda Papua ini merasa keselamatan anggota bisa terancam.
Tito menyampaikan, rutan sebenarnya sudah terkepung pasukan Brimob karena berada di dalam markas komando. Akan tetapi, perkakas lapas di dalamnya "tidak layak dan [tidak] didesain untuk maximum security yang layaknya untuk teroris."
Keras Seperti Amerika
Negara lain yang memenjarakan terduga teroris dan teroris tulen adalah Amerika Serikat dengan jumlah narapidana teroris yang jumlahnya terus meningkat dari 2007. Total, sampai sekarang ada sebanyak 443 terpidana teroris (sebagian besar Muslim) yang ditahan di penjara di seluruh wilayah Amerika.
Dalam laporannya berjudul “The Terrorist in U.S. Prisons,”The New York Times, mengutip statistik Biro Penjara Federal Departemen Kehakiman, menyatakan masing-masing narapidana teroris ditahan dengan prosedur keamanan yang berbeda-beda; ada yang berstatus minimum, medium, sampai maximum security.
Status minimum dan medium security biasanya berlaku pada tersangka dengan kasus yang “ringan” seperti perampokan bank serta fasilitas keuangan lainnya hingga menyebarkan kabar hoaks rencana peledakan bom. Sedangkan penjara dengan level maximum security ditujukan untuk tersangka terorisme berskala besar yang bisa dijumpai di daerah Florence, Colorado, sekitar 100 mil selatan Denver.
Penjara itu sering dipanggil dengan nama “ADX Florence” atau “Alcatraz of the Rockies” serta diklaim sebagai lapas dengan tingkat keamanan paling tinggi di Amerika (supermax).
ADX (Administrative Maximum Facility) Florence menaungi teroris kelas kakap seperti Ramzi Yousef (pengebom World Trade Center pada 1993), Zacaris Moussaoui (anggota Al Qaeda yang terlibat 11 September 2001), Dzhokhar Tsarnaev (tersangka peledakan bom Boston Marathon), Richard Reid (pelaku teror bom di pesawat American Airlines rute Paris-Miami pada 2001), dan Umar Farouk Abdulmutallab (teroris bom Northwest Airlines jurusan Amsterdam-Detroit pada 2009).
Dalam reportase panjangnya berjudul “Colorado Prison ‘A High-Tech Version of Hell” yang diterbitkan Boston Globe, David Abel menjelaskan ADX Florence merupakan penjara yang dikelola Biro Penjara Federal AS. Dibuka pertama kali pada 1994 serta mampu menampung 500 tahanan. Letaknya di antara tebing-tebing gurun yang tinggi dengan penjagaan begitu ketat.
Hal yang membedakan ADX Florence dengan penjara federal lainnya adalah fakta bahwa ADX Florence sejak awal dirancang untuk kurungan isolasi. Ratusan tahanan dipaksa menghabiskan 23 jam sehari di dalam sel berukuran 7x12. Mereka menerima makanan lewat lubang sempit dan menikmati cahaya matahari secara terbatas lewat jendela kecil.
Kondisi tersebut seringkali membuat para tahanan tertekan. Beberapa di antaranya bahkan sampai menggedor-gedor pintu sel, meraung tak jelas, kehilangan kontrol emosi, bahkan bunuh diri. Total, sudah ada tujuh tahanan yang bunuh diri sejak ADX Florence beroperasi. Bunuh diri terakhir terjadi pada 2013. Waktu itu, seorang tahanan menggantung diri dengan sprei.
Keadaan saat tahanan keluar sel pun sama saja. Penjaga mengawal mereka dengan ketat. Para tahanan diwajibkan memasang belenggu di kaki, borgol di tangan, serta rantai di lingkar perut. Jam rekreasi mereka yang hanya 10 jam selama satu minggu dihabiskan di sebuah ruangan yang lagi-lagi dikelilingi dinding. Bedanya, di ruangan ini tahanan lebih leluasa melihat langit.
“ADX Florence adalah lingkungan yang jauh lebih keras daripada penjara lain yang pernah kulihat,” kata Robert Hood, sipir Supermax antara 2002-2005. “Ketika aku menyebutnya neraka versi 'bersih', maksudku di sana memang bersih dan tenang. Karena semua orang terkunci di dalam ruangan. Ini lingkungan yang sangat tidak normal.”
Laura Rovner, profesor hukum di University of Denver, menyebut Supermax adalah “tempat yang meniadakan kemanusiaan.”
“[ADX Florence] memutus bagian dari diri kita yang terhubung dengan orang lain,” ujarnya.
Keadaan di ADX Florence memantik respons keras dari publik. Dalam “Inside America’s Toughest Federal Prison” yang dipublikasikan di The New York Times, Mark Binelli mencatat salah satu respons yang keras datang dari LSM HAM yang berbasis di Washington, Prisoners’ Project. Lembaga ini melayangkan gugatan ke pengadilan dan menuntut reformasi penanganan narapidana di penjara. Bagi mereka, apa yang terjadi di Supermax sungguh tidak manusiawi dan berpotensi besar melanggar HAM.
David Cloud, perwakilan Vera Institute of Justice, organisasi non-nirlaba yang bergerak dalam bidang reformasi sistem peradilan kriminal mengatakan sudah saatnya penjara federal melakukan pembenahan. Alasannya, kasus di ADX Florence telah berdampak buruk bagi para tahanan.
Tak cuma dari LSM saja, protes senada juga disuarakan profesor psikologi Universitas California, Craig Haney, yang menilai isolasi di Supermax sudah tak bisa ditolerir lagi karena mengakibatkan tahanan “sakit mental.”
Kendati ditentang dan digugat banyak pihak, akan tetapi pemerintah tetap menang. Rovner menegaskan, dari 10 gugatan yang pernah dilayangkan ke pengadilan, tak ada satupun yang membuahkan hasil. Alasannya, menurut Prisoners’ Project, karena pemerintah federal memiliki “sumber daya yang tak habis-habisnya” guna mengenyahkan setiap gugatan yang masuk.
Apa yang Lebih Penting?
Beda Amerika, beda pula Australia. Rencana pembangunan penjara maximum security untuk para teroris di negara ini ditentang banyak pihak. Alasannya: mengumpulkan banyak teroris di dalam satu tempat justru bakal memperkeruh keadaan—para napi justru akan semakin radikal.
Rencana tersebut diapungkan oleh pemerintah Australia Selatan, Victoria, dan Australia Barat. Mereka mendesak penyediaan fasilitas untuk menampung teroris karena yakin bahwa dengan penjara khusus, para teroris akan bertobat.
“Mungkin penjara terpusat merupakan kebijakan yang tepat di mana kita bisa mengawasinya secara fokus masalah terorisme yang jadi ancaman terhadap banyak orang,” kata Gubernur Victoria, Daniel Andrews.
Senada dengan Andrews, Gubernur Australia Barat, Mark McGowan, menilai pembangunan penjara terpusat untuk para teroris sebagai langkah signifikan dalam memerangi terorisme.
Namun, penolakan muncul dari Clark Jones, pengamat radikalisasi dari Australian National University. Jones menyatakan, pembangunan penjara secara terpusat untuk teroris merupakan “usulan buruk” sebab malah bisa membiakkan terorisme.
“Sejarah telah menunjukkan bahwa ketika Anda memenjarakan pelanggar hukum, terutama pelaku teroris, dan dalam hal ini saya berbicara tentang pengalaman Inggris dengan IRA, saya pikir itu bisa melahirkan terorisme,” katanya. “[Sistem penjara terpusat] tidak mengubah pikiran seseorang, tak menciptakan hubungan positif apa pun di sekitar narapidana.”
Sedianya, dilansir Sydney Morning Herald, pemerintah Australia bakal mengalokasikan dana sebesar $47 juta untuk membangun fasilitas keamanan tingkat tinggi (supermax) yang dilengkapi 54 tempat tidur serta mampu menampung 75 tahanan. Fasilitas ini bakal melengkapi fasilitas sebelumnya yang berlokasi di Goulburn, Selandia Baru. Harapannya, fasilitas baru tersebut dapat menciptakan lingkungan yang aman dan terkontrol.
Terlepas dari perdebatan penting atau tidaknya membuat penjara supermax, yang perlu pemerintah Indonesia perhatikan dengan seksama, menurut UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) dalam “Management of High-Risk Prisoners,” (PDF) adalah bagaimana memperlakukan tahanan secara hormat dan bermartabat. Apapun konsep fasilitas keamanannya, selama aparat masih melakukan penyiksaan, perlakuan merendahkan, serta bertindak melanggar hukum, maka yang ada justru kekacauan.
UNODC menegaskan, menggunakan bahasa yang tidak sopan, melanggar privasi napi, serta menundukkan tahanan ke rutinitas atau praktik mempermalukan merupakan pelanggaran hak-hak dasar tahanan untuk diperlakukan dengan rasa hormat sebagaimana layaknya seluruh manusia.