tirto.id - Senin, 15 Juli 2019 adalah hari pertama tahun ajaran 2019/2020. Ada jutaan anak Indonesia yang mulai belajar di sekolah yang baru. Di media sosial, beragam cerita tentang hari pertama sekolah banyak dibagikan oleh warganet. Tak semua diawali anak dengan tawa. Ada pula yang memulai dengan tangisan.
Hal tersebut dialami oleh putri pertama dari Ariesta (28 tahun). Pengalaman pertama putrinya di sekolah, lanjut Ariesta, tergolong penuh dengan 'drama.' "Hari pertama kan masih perkenalan lingkungan sekolah, guru-gurunya, teman-temannya, ruangan-ruangannya. Dia enggak mau ikut. Mulai dari baris-berbaris enggak mau ikut," ungkapnya.
Ariesta sempat kebingungan dengan tingkah putrinya. Namun, ia tak mau memaksa sang buah hati. Menurutnya, anaknya masih dalam tahap adaptasi di hari pertamanya sekolah. "Aku sih enggak pernah memaksa dia. Dia udah mau bangun pagi ke sekolah saja sudah prestasi," ujarnya.
Berbeda cerita dengan Nataliyanti (36 tahun). Pada hari pertama sekolah, Nena, putrinya, bisa langsung berbaur dengan teman-temannya dan mengikuti arahan guru. Lia pun memilih untuk tak menunggu buah hatinya, karena ia percaya kepada pihak sekolah.
"Ada beberapa [anak] yang rewel, tapi guru bisa handle sih," ucapnya.
Meski begitu, bukan berarti ia sama sekali tak memantau sang putri. Ibu dua anak ini bercerita bahwa dirinya bisa lebih tenang meninggalkan sang buah hati karena sang guru telah membuat grup WhatsApp untuk berbagi informasi terkait kegiatan di sekolah.
Kecemasan Hari Pertama Sekolah
Dilansir Psychology Today, menurut Eileen Kennedy-Moore, psikolog klinis dari Princeton, New Jersey terdapat sejumlah gejala ringan terkait kecemasan menjalani hari pertama di sekolah. "Gejala yang tidak nyaman mungkin termasuk sulit tidur, kehilangan nafsu makan, gelisah atau lekas marah. Gejala yang paling parah mungkin sampai menangis atau menolak untuk pergi ke sekolah,” ujarnya.
Menurut Kennedy-Moore, kecemasan di awal tahun ajaran baru adalah hal yang wajar, khususnya bagi anak-anak yang mulai belajar di sekolah baru. Penyebab ketakutan itu beragam.
Pada anak usia dini cenderung khawatir tak bisa memenuhi kebutuhan logistik praktis mereka, seperti takut tak menemukan ruang kelas, takut ke toilet, hingga khawatir tak bisa membuka loker di sekolah. Namun, seiring dengan bertambahnya usia, anak punya ketakutan dengan masalah sosial.
"Apakah guruku akan baik?", "Bagaimana dengan teman sekelasku?," hingga "Siapa teman sebangku saya?" merupakan beberapa contoh masalah sosial tersebut. Selain itu, mereka juga khawatir dengan tuntutan pendidikan yang semakin tinggi.
Di sisi lain, orang tua juga punya kekhawatiran tersendiri. Beragam emosi dapat memenuhi benak mereka. Seperti dilaporkan ABC, tak sedikit orang tua yang juga berat untuk melepaskan sang buah hati pergi ke sekolah.
Dalam kondisi tersebut, orang tua biasanya punya kekhawatiran ditinggalkan oleh sang anak, seperti pikiran bahwa "Anakku semakin tumbuh besar." Terlebih jika sang buah hati adalah anak tunggal, ketakutan orang tua akan semakin berlipat.
"Saya merasa bahwa dia masih 'bayi' saya, meskipun usianya sekarang lima tahun. Dan saya pikir, menjadi anak tunggal itu berbeda, karena Anda tidak memiliki anak lain di rumah, jadi semuanya baru untuknya dan semua baru untukku," ujar Ashley Sargeson, ibu dari seorang anak tunggal, masih dari ABC.
Bukan itu saja, ketika merelakan anak ke sekolah, beberapa orang tua punya kekhawatiran jika sang buah hati akan menjadi lebih mandiri dan tidak terkontrol, serta kecemasan terhadap interaksi sosial sang buah hati, seperti takut anak mereka menjadi korban intimidasi, tidak memiliki teman, atau dijauhi. Pikiran ini lantas membuat orang tua memiliki rasa ketakutan yang berlebihan karena yang mereka inginkan hanya anak mereka baik-baik saja.
Masa Transisi Penting
Cathine Neilsen-Hewett, dosen senior, Direktur Studi Akademik di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Wollongong, melalui artikelnya di The Conversation mengungkapkan bahwa masa transisi ke sekolah adalah waktu yang sangat penting dalam tahap kehidupan anak.
"Transisi ke sekolah juga mencakup beberapa minggu pertama sekolah, ketika anak-anak dan keluarga semakin terbiasa dengan lingkungan sekolah dan menjadi akrab dengan rutinitas, aturan, dan hubungan, baru," tulis Neilsen-Hewett.
Psikolog keluarga dan anak Probowatie Tjondronegoro mengatakan bahwa orang tua dan anak harus sama-sama belajar di pekan awal masuk sekolah. Sebagai catatan, sekolah di Indonesia biasanya memberlakukan masa adaptasi selama tiga hingga enam hari.
"Orang tua biasanya punya kesempatan untuk dua hari menunggu [anaknya di sekolah]. Nah, itu kesempatan untuk adaptasi. Ada yang adaptasinya mudah, ada yang adaptasinya sulit. Namun, dari awal harus sudah dipersiapkan,” ujar Probo kepada Tirto (15/7).
Menurut Probo, kekhawatiran di awal sekolah adalah hal yang wajar, tapi sebaiknya orang tua tidak memberikan anak dengan sederet pesan dan larangan yang berulang, karena hal itu justru menimbulkan rasa takut dan membawa beban bagi anak.
Neilsen-Hewett juga mengungkapkan hal serupa. Ketimbang menjejali anak dengan perintah ini-itu, ia menyarankan kepada orang tua untuk mengajak anak bercerita anak tentang pengalaman di sekolah agar mereka semakin terkoneksi dengan lingkungan barunya.
"Orang tua dapat berbicara kepada anak tentang harinya, mengajukan pertanyaan yang sangat spesifik seperti, 'siapa yang duduk disebelahmu hari ini?' atau 'cerita apa yang kamu dapatkan di sekolah hari ini'," ungkap Neilsen-Hewett.
Di masa sekolah, penting bagi orang tua untuk bekerja sama dengan guru agar sang buah hati tak takut pergi ke sekolah. Orang tua pun disarankan untuk percaya kepada sekolah, sehingga bisa lebih mudah dalam melepas buah hati. Selain itu, tak ada salahnya jika orang tua menjalin komunikasi dengan orang tua murid lain.
"Kalau jaman sekarang, untuk memantau [kegiatan sekolah], orang tua bisa bikin grup WhatsApp orang tua, biasanya untuk komunikasi juga, misalnya anaknya ada yang enggak paham dengan yang disampaikan di sekolah," tutur Probo.
Sementara itu, Neilsen-Hewett berpendapat bahwa komunikasi dengan orang tua murid lain juga bisa membantu mengurangi kekhawatiran orang tua, karena dengan menjalin komunikasi positif dengan sesama orang tua dan guru, orang tua bisa merasa dekat dengan lingkungan sekolah anak.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara