tirto.id - Pertengahan Juni lalu menjadi pekan yang melelahkan bagi Ibu Ade (52 tahun) dan juga Aulia (16 tahun) putri bungsunya. Pendaftaran sekolah dengan jalur zonasi adalah penyebabnya. Pasalnya, Ade baru menerima informasi terkait pemberlakuan aturan zonasi tersebut hanya dua hari menjelang dimulainya pendaftaran sekolah.
Aturan ini mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisili masing-masing. Jika tahun lalu masih bisa mendaftar ke dua sekolah berdasarkan Kartu Keluarga wilayah Pamulang, maka untuk tahun ini, peluang putrinya Aulia untuk mengenyam pendidikan di sekolah menengah atas (SMA) negeri terbatas pada satu sekolah saja.
"Enggak mungkin juga kan harus pindah rumah demi zonasi sekolah. Nanti, kalo peraturannya berubah lagi, ya ribet lagi," keluh Ibu Ade kepada Tirto.
Jalur zonasi kini memang menjadi salah satu syarat utama dalam sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019, sebagaimana diatur dalam Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020. Seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan.
Berdampak pada Harga Rumah
Selain Indonesia, beberapa negara juga telah menerapkan sistem zonasi, di antaranya adalah Australia, Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Korea Selatan, dan juga Perancis. Di beberapa negara tersebut, sekolah negeri berkualitas ternyata memiliki dampak pada harga rumah.
Steve Gibbons dalam salah satu artikel terbitan The London School of Economics and Political Science (PDF) menulis bahwa di Inggris, keberadaan sekolah negeri yang berkualitas memang dapat menaikkan harga rumah di kawasan sekolah negeri tersebut berada.
Namun, ketersediaan sekolah swasta di wilayah yang sama secara nyata dapat mengurangi efek sekolah negeri terhadap kenaikan harga rumah. "Bukti dari Paris menunjukkan hal tersebut. Penetrasi pada sekolah-sekolah swasta pada pasar lokal tampak mengurangi dampak yang diberikan oleh sekolah negeri pada harga rumah," tulis Steve Gibbons dalam laporan CentrePiece Autumn 2012 yang berjudul "Valuing Schooling Through House Prices" tersebut.
"Sekolah swasta ... juga dapat membantu mengurangi ketidaksetaraan akses terhadap sekolah negeri dengan mengurangi tekanan permintaan terhadap sekolah negeri yang berprestasi."
Hal yang sama juga diungkap oleh Yoojin Yi, dkk dalam artikel berjudul "Linkage among School Performance, Housing Prices, and Residential Mobility" yang dipublikasi pada Juni 2017. Hasil penelitian Yoojin Yi, dkk menunjukkan kinerja sekolah secara positif memengaruhi baik harga rumah maupun populasi dalam migrasi. Tetapi, kenaikan harga rumah tidak mendukung perpindahan tempat tinggal ke dekat sekolah yang terletak di distrik yang lebih makmur.
Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa pengaruh kualitas sekolah yang baik terhadap kenaikan harga rumah dan perpindahan tempat tinggal harus diamati secara berbeda-beda berdasarkan tingkat pendapatan sebuah rumah tangga.
"Karena, respons masing-masing rumah tangga terhadap kualitas sekolah di zonasi tertentu mungkin tidak linier," tulis Yoojin Yi dkk dalam laporan tersebut.
Bagaimana Indonesia?
Pertimbangan jarak yang dekat dengan fasilitas umum seperti fasilitas pendidikan yaitu sekolah, memang menjadi salah satu pertimbangan sebuah keluarga dalam mencari tempat tinggal. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadi faktor penentu utama dalam membeli hunian di Indonesia, setidaknya hingga tahun 2019 ini.
Efek kedekatan jarak dengan sekolah juga semata-mata tidak menjadi penyebab kenaikan harga hunian yang berada di sekitar fasilitas pendidikan tersebut, khususnya jika berkaca dari hasil survei Rumah.com berjudul "Property Affordability Sentiment Index H1 2019" (PDF).
Survei berkala yang dilakukan Rumah.com bekerja sama dengan lembaga riset Intuit Research Singapura ini menyebut banyak hal yang menjadi pertimbangan responden saat memilih rumah yang cocok. Di antara pertimbangan-pertimbangan tersebut, jarak ke fasilitas transportasi umum menjadi pertimbangan terbanyak mencapai 76 persen.
Faktor kedua terbesar yang menjadi pertimbangan dalam membeli property adalah jarak ke tempat kerja, dengan persentase mencapai 47 persen. Faktor lingkungan terutama yang ramah anak juga masuk dalam lima besar pertimbangan dengan persentase mencapai 38 persen.
Survei ini diikuti oleh 1.000 responden yang tersebar di kota-kota seluruh Indonesia dan dilakukan dua kali dalam setahun. Survei ini dilakukan pada akhir 2018 hingga Januari 2019, dengan 69 persen responden berasal dari rentang usia milenial (22-39 tahun). Rinciannya 34 persen milenial muda (kelahiran 1990-1997) dan 35 persen milenial tua (kelahiran 1982-1989).
Ike Noorhayati Hamdan, Head of Marketing Rumah.com menjelaskan, kedekatan jarak antara rumah dengan sekolah belum menjadi pertimbangan utama karena sistem zonasi sekolah baru diterapkan satu tahun terakhir ini. Selain itu, pertimbangan jarak dan lingkungan yang menjadi pertimbangan utama tersebut berkaitan dengan kelompok usia responden yang berencana membeli rumah dalam enam bulan ke depan dengan rentang usia 21-39 tahun.
Usia ini merupakan usia produktif dan akan atau berkeluarga kecil, sehingga mobilitas dan lingkungan yang ramah anak-anak jadi pertimbangan utama. Selain itu, rentang usia di atas belum terlalu memikirkan pendidikan lanjutan bagi anak-anak untuk jenjang SMP dan SMA, sehingga kedekatan rumah dengan sarana pendidikan belum termasuk pertimbangan utama.
"Jika melihat perjalanan hidup secara umum, kebijakan zonasi sekolah kemungkinan berdampak pada responden dengan rentang usia 35-40 tahun ke atas dan memiliki anak usia sekolah tingkat lanjut," jelas Ike dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, faktor pertimbangan bahwa kebijakan pemerintah termasuk mengenai pendidikan dapat berganti sewaktu-waktu juga menjadi pertimbangan sebuah keluarga yang sudah memiliki hunian untuk pindah rumah ke lokasi yang dekat dengan sekolah.
Maria Herawati Manik, Country GM Rumah123.com menuturkan, masyarakat tidak akan gegabah dalam mengambil keputusan terkait pembelian rumah karena bersifat jangka panjang dan mengikat. Jarak yang dekat dengan fasilitas pendidikan hanya salah satu faktor pertimbangan untuk membeli hunian.
"Kami tidak melihat zonasi sekolah ini memengaruhi tren pencarian rumah secara langsung dan signifikan. Pencarian rumah memang turut dipengaruhi oleh ketersediaan fasilitas pendidikan baik itu sekolah negeri maupun swasta, tapi bukan faktor penentu utama dalam membeli rumah," sebut Maria kepada Tirto.
Senada, Anton Sitorus yang merupakan Kepala Riset Savills Indonesia mengungkapkan, faktor yang paling berpengaruh terhadap kenaikan harga hunian termasuk rumah tapak adalah kondisi pasar terkait penawaran dan permintaan (supply and demand) serta lokasi yang strategis. Selain itu, faktor tingginya harga rumah juga turut dipengaruhi oleh kualitas hunian itu sendiri.
"Kedekatan dengan sekolah tidak akan terlalu memengaruhi harga rumah. Faktor utamanya adalah supply and demand di wilayah tersebut," jelas Anton kepada Tirto.
Hal itu juga dibenarkan oleh Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW). Menurut Ali, kenaikan harga hunian erat kaitannya dengan perkembangan wilayah serta tingginya kebutuhan tempat tinggal di lokasi tersebut.
Meski demikian, harga rumah cenderung mengalami kenaikan yang lebih tinggi jika memiliki jarak yang cukup dekat dengan universitas. Ini karena adanya berbagai efek domino bisnis yang bisa tercipta dari kedekatan jarak tersebut. Misalnya saja, rumah tinggal yang juga bisa dijadikan lahan bisnis sebagai kos-kosan serta bisnis kecil-kecilan lainnya.
"Ada potensi recurring income (pendapatan berulang) dari kepemilikan properti dekat universitas dibandingkan dekat dengan sekolah. Potensi bisnis yang besar mendorong harga properti yang dekat dengan universitas menjadi lebih tinggi," jelas Ali kepada Tirto.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara