tirto.id - Sederet rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi terhadap sejumlah undang-undang dinilai sama sekali tak mewakili kepentingan rakyat. Revisi undang-undang yang tengah dibahas atau bakal dibahas bersama pemerintah disebut hanya berpihak pada kepentingan elite dan penguatan kekuasaan. Tak ayal, protes dan tudingan berdatangan kepada wakil rakyat di Senayan yang seakan-akan memfasilitasi kepentingan rezim politik hukum pemerintah semata.
Revisi beleid sedang disoroti misalnya revisi Undang-Undang (UU) Mahkamah Konstitusi, revisi UU Kementerian Negara, hingga revisi UU Penyiaran. Substansi revisi yang diketahui masyarakat sipil dari draf atau rencana yang beredar tak ayal membuat publik geram. Misalnya pada revisi UU MK yang dinilai bakal mempengaruhi independensi hakim konstitusi.
Sementara dalam rencana revisi UU Kementerian Negara, elite partai politik (parpol) di DPR justru menyetujui bahwa pembatasan jumlah kementerian paling banyak 34 bisa dihapus jika diperlukan. Jangan heran jika rencana ini mengundang kecurigaan bahwa penambahan jumlah kementerian cuma akal-akalan untuk memfasilitasi koalisi gemuk kubu pemerintahan mendatang.
Substansi revisi UU Penyiaran jauh tak masuk akal lagi, terdapat pasal soal pembatasan praktik jurnalisme investigasi. Seakan elite merasa gerah diawasi oleh pers sehingga perlu membatasi ruang gerak kerja-kerja jurnalistik. Alasan pimpinan DPR yang menyatakan jurnalisme investigasi perlu diawasi dengan baik karena dapat tak sesuai kenyataan, terasa membercandai akal sehat.
Belum lagi rencana revisi UU TNI dan UU Polri yang belakangan kembali bereembus. Dalam draf revisi UU TNI terjadi perluasan kekuasaan militer, baik dalam jabatan sipil maupun dalam peranannya yang bisa difungsikan sebagai keamanan negara. Revisi ini dinilai bakal menjauhkan TNI dari semangat reformasi yang sudah menghapus dwifungsi ABRI.
Banyaknya rencana revisi undang-undang di DPR yang jauh dari kepentingan publik dan kedaulatan rakyat, tak heran memantik gelombang kritik berdatangan. DPR dinilai loyo dan sekadar manut pada kepentingan pemerintah. Sementara proses pembahasan rancangan undang-undang yang jelas memihak masyarakat sipil seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga justru tak jelas rimbanya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, sebut, jika DPR bertugas selaiknya “tukang stempel” belaka, maka kekuatan yang mereka miliki lama-lama bakal tak berguna. DPR yang sejatinya memegang kuasa untuk banyak hal, membiarkan kuasa itu dikendalikan pihak lain seperti partai politik atau bahkan presiden.
“Maka lama-kelamaan DPR pada dirinya sendiri menjadi tak punya kuasa. DPR hanya alat pihak lain saja,” kata Lucius kepada reporter Tirto, Senin (20/5/2024).
Padahal, DPR punya kuasa yang besar untuk mengontrol jalannya kekuasaan pemerintah. Namun kuasa ini semakin diragukan tajinya saat hak-hak istimewa DPR seperti melakukan angket dan interpelasi justru tidak digunakan. Jika kondisi ini berlanjut, maka masyarakat bisa semakin ragu berharap pada wakil rakyat yang seharusnya mewakili kepentingan mereka.
“Bukan tidak mungkin rakyat merasa tak memerlukan DPR lagi. Atau minimal ada desakan agar ada reformasi total DPR sejak perekrutannya hingga pemilihannya,” ucap Lucius.
Dia sendiri memang merasa aneh dengan cara kerja DPR periode ini. Menurut Lucius, DPR suka bikin rencana mendadak terkait legislasi, seraya begitu saja melupakan rencana yang sudah rapi disiapkan sejak awal periode dan setiap sidang tahunan. Misalnya, soal rencana UU Kementerian Negara yang tak ada angin tak ada hujan, muncul begitu saja.
“Rencana yang muncul tiba-tiba lalu langsung dibahas cepat adalah siasat untuk mengejar keinginan sepihak oligarki yang dioperasikan melalui DPR,” ujar Lucius.
Rencana revisi UU Kementerian Negara dinilai semata menjawab keinginan presiden terpilih yang terlihat punya jiwa pendamai dan berniat mengakomodasi semua kelompok di kabinet pemerintahan berikutnya. Cita-cita mempersatukan itu dipandang bukan demi membangun kedamaian namun sekadar agar kekuasaan pemerintah tak diganggu saja.
Lucius mengingatkan nasib DPR sebagai lembaga legislatif yang bisa senasib dengan lembaga yang kini sangat diragukan taji dan independensinya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK memang banjir kritik dan dipenuhi masalah internal, terutama setelah adanya revisi UU KPK yang membuat lembaga antirasuah itu menjadi di bawah kekuasaan eksekutif. Sebab sengkarut masalah KPK periode ini, pegiat antikorupsi bahkan tak sungkan menyebut lembaga ini terancam mengalami pembusukan.
Pembusukan DPR
DPR perlu berhati-hati mengalami pembusukan serupa, jika kerja-kerjanya tak lagi mewakili kepentingan rakyat dan disusupi banyak intervensi dari pihak luar. Menurut Lucius, potensi ini merupakan ancaman yang nyata bagi lembaga legislatif.
“Antara DPR dan KPK tentu agak berbeda, walau keduanya sama-sama terancam proses pembusukan yang serupa. Di DPR sendiri, proses pembusukan itu lebih banyak karena mereka sendiri, [karena] kinerja dan citra yang dihasilkan oleh DPR dari periode ke periode menjadi penyebab pembusukan itu,” tegas Lucius.
Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, memandang potensi pembusukan seperti halnya diwanti-wanti terjadi di KPK, bakal berbeda konteks jika menjangkit DPR. Model yang terjadi di DPR, kata dia, pembusukan lembaga legislatif terjadi saat adanya pelumpuhan fungsi mereka yang akhirnya menjadi pengecap stempel belaka bagi kekuasaan.
“Fungsi pengawasan DPR lumpuh seiring dengan aksi borong dukungan dari pemerintahan. Pada akhirnya DPR hanya menjadi pelayan bagi kekuasaan,” ujar Herdiansyah kepada reporter Tirto.
“Check and balances tidak berfungsi, kontrol dimatikan. Dalam situasi seperti ini, jalan otoritarianisme akan lebih lapang, ini yang dikhawatirkan publik,” kata Herdiansyah.
Maka penting bagi publik mewanti-wanti dan mengawasi berkembangnya rezim legalisme otokratis (autocratic legalism). Sebutan tersebut merujuk pada penggunaan instrumen hukum untuk kepentingan kekuasaan, bahkan dengan melabrak prinsip-prinsip demokrasi.
“Faktanya, situasi ini terjadi bahkan sudah mulai terjadi sejak revisi UU KPK, minerba, MK, hingga omnibus [cipta kerja] kemarin. Jadi UU dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan, tidak lagi mengabdi untuk kepentingan publik,” jelas Herdiansyah.
Libatkan Rakyat
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian, berpendapat fenomena akhir-akhir ini di DPR begitu janggal karena mereka sibuk menggenjot proses revisi undang-undang tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Dia menilai, produk-produk rezim kekuasaan saat ini justru mengkhianati semangat dari reformasi yang menghendaki adanya partisipasi.
“Reformasi menghendaki adanya kedaulatan rakyat. Jadi ketika misalnya ada satu produk perundang-undangan yang kemudian diam-diam secara cepat, ugal-ugalan, disahkan dalam waktu yang singkat, itu tentu saja menghianati kedaulatan rakyat,” ujar Rozy kepada reporter Tirto.
Ketika proses undang-undang disahkan dan dibahas secara tergesa-gesa, hal ini merusak demokrasi. Penyusunan regulasi undang-undang, harus melalui mekanisme partisipasi bermakna dan dipastikan bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Jika rakyat tidak dilibatkan, maka DPR akan kehilangan legitimasinya dalam penyusunan undang-undang dan menghasilkan produk hukum yang cacat formil.
“Dia harus ada apa? Try to be heard, try to be explained. Dan itu harus terpenuhi semuanya, dia harus dilakukan secara meaningful and worthwhile participation,” seru Rozy.
Sementara itu, Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menilai idealnya DPR tidak memfasilitasi kebutuhan kekuasaan. Sebab, DPR punya wewenang yang strategis dan setara dengan kekuasaan eksekutif. Maka, mengkhawatirkan jika DPR diintervensi karena terjebak dalam sandera politik kekuasaan.
“Ini bermasalah, karena menandai kualitas kekuasaan parlemen yang buruk,” kata Dedi kepada reporter Tirto.
Saat ini, kata dia, stabilitas politik hilang karena parpol secara mayoritas sudah berada di blok kekuasaan atau pemerintah. Fraksi parpol di DPR kehilangan hampir semua fungsinya, karena gagal menjaga stabilitas dengan menjadi penyeimbang bagi kekuasaan. Kegagalan parpol makin terlihat saat menciptakan produk legislasi di DPR, hingga nihilnya regenerasi kepemimpinan yang teguh pada konstitusi dan hak publik.
“Sulit membenahi jika DPR sudah tidak bersama publik, kerugian DPR tentu berdampak pada hilangnya kepercayaan publik pada saat Pemilu. Parpol sebenarnya sudah merasakan imbas itu, tetapi mereka seperti lebih takut pada kekuasaan dibanding rakyat [pemilihnya],” ungkap Dedi.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz