Menuju konten utama

Deretan Revisi UU Menyulut Kontroversi, DPR Tengah Menabur Angin

Aksi DPR RI periode 2019-2024 yang merevisi sejumlah undang-undang yang kemudian menyulut kemarahan publik pada akhirnya akan melemahkan demokrasi.   

Deretan Revisi UU Menyulut Kontroversi, DPR Tengah Menabur Angin
Suasana saat rapat paripurna ke-13 masa persidangan IV tahun sidang 2023-2024 di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/3/2024). Rapat Paripurna tersebut dalam rangka pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/Spt.

tirto.id - Jelang akhir masa jabatan, DPR RI periode 2019-2024 merevisi sejumlah undang-undang yang menimbulkan kemarahan publik.

Tirto merangkum sejumlah UU yang direvisi DPR RI yang akhirnya menimbulkan kontroversi.

1. UU Kementerian Negara Nomor 39 Tahun 2008

UU Kementerian Negara saat ini sudah disepakati sembilan fraksi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menjadi RUU inisiatif DPR. Hal itu diputuskan dalam rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil penyusunan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/5/2024).

RUU ini berkelindan dengan upaya Prabowo Subianto, presiden terpilih periode 2024-2029 yang ingin menambah kursi kementerian.

Salah satu poin kontroversial beleid itu adalah penghapusan 34 kursi. Mengubah Pasal 15 yang sebelumnya diatur jumlah menteri dalam satu kabinet, yakni 34 orang. Artinya, jumlah menteri bisa saja tidak lagi 34 orang.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Achmad Baidowi atau Awiek, mengatakan muatan RUU perubahan Kementerian Negara yang telah diputuskan secara musyawarah mufakat, yaitu Penjelasan Pasal 10 dihapus, kemudian perubahan Pasal 15.

2. UU Penyiaran

Revisi beleid ini sudah disepakati di Baleg DPR RI menjadi RUU usulan inisiatif DPR. Buntut revisi UU ini dikecam insan pers dan pegiat jurnalisme, serta masyarakat sipil.

RUU ini dianggap membungkam kebebasan pers dan berpotensi mengancam kreativitas kreator konten yang turut kena imbas beleid tersebut. Juga terkesan memberi karpet merah kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sejumlah isi pasal kontroversi dalam RUU Penyiaran ini yakni larangan penayangan eksklusif konten investigasi. Hal itu termaktub dalam Pasal 50B Ayat 2 butir C, disebutkan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi bagian dari larangan Standar Isi Siaran (SIS).

Kemudian, poin penyelesaian sengketa oleh KPI. Pada Pasal 42 Ayat 2 sengketa jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai aturan undang-undang, dan dalam Pasal 51 huruf E sengketa hasil keputusan KPI bisa diselesaikan lewat pengadilan.

Selanjutnya, kreator konten harus verifikasi konten ke KPI. Hal itu termaktub dalam Pasal 34F Ayat (2).

Pasal itu menyebutkan bahwa:

"Penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)"

Menanggapi gelombang kritik, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyebut larangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi yang termaktub dalam Pasal 50 B Ayat 2 butir c pada draf RUU Penyiaran, untuk meminimalkan dampak dari produk jurnalistik.

Politikus Partai Gerindra itu menuding ada produk jurnalisme investigatif yang separuh benar. Namun, Dasco tak menjelaskan produk jurnalisme investigatif yang dimaksud.

"Seharusnya nggak dilarang, tapi impact-nya gimana caranya kita pikirin. Kadang-kadang nggak semua, kan, ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi ada juga yang kemarin kita lihat investigasinya separuh benar. Jadi, kita akan bikin aturannya, supaya sama-sama jalan dengan baik," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

3. UU Polri dan TNI (Masih wacana)

DPR RI merencanakan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Salah satu perubahan yang dibahas dalam revisi adalah perpanjangan batas usia pensiun anggota kepolisian.

Wacana revisi UU Polri ini ramai dikecam sejumlah pihak. Mereka memandang DPR mengabaikan efektivitas kerja personel pada usia lanjut dari aspek fisik, psikis, dan kapasitas.

Perpanjangan usia pensiun juga dapat menimbulkan masalah penumpukan personel dalam tubuh TNI dan Polri.

Dalam Pasal 30 UU Polri yang berlaku saat ini, batas pensiun maksimum anggota kepolisian, yakni 58 tahun, dengan pengecualian bagi anggota yang memiliki keahlian khusus sampai usia 60 tahun.

Dalam draf revisi UU Polri, batas usia pensiun diusulkan menjadi 60 tahun untuk semua anggota Polri, dan 65 tahun untuk pejabat fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di sisi lain, pejabat fungsional dengan keahlian khusus yang sangat dibutuhkan juga dapat diperpanjang hingga usia 62 tahun. Selain itu, revisi tersebut mengatur perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi bintang empat, yang hanya dapat ditetapkan dengan Keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR.

Sementara UU TNI, pasal yang akan direvisi dianggap akan memperluas peran TNI di ranah sipil, yaitu perubahan bunyi Pasal 3 Ayat 1 dan 2.

Ayat 1 yang berbunyi, “Dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden” diubah menjadi “TNI merupakan alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara berkedudukan di bawah presiden”.

Publik menilai rencana itu dapat memicu kembalinya Dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakan rencana revisi UU Polri itu muncul ketika pada tahun lalu, DPR merevisi UU Kejaksaan perihal usia pensiun dan usia jabatan fungsional. Kala itu, kata dia, sudah ada permintaan untuk melakukan revisi UU Polri dan TNI.

“Agar dapat sama dengan Undang-Undang Kejaksaan tentang masa pensiun dan juga untuk masa berakhirnya jabatan fungsional," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/5/2024).

Dasco mengatakan DPR ingin semua batas usia pensiun penegak hukum sama.

“Supaya semua sama di antara para penegak hukum ini kita kemudian melakukan juga revisi,” tutur Dasco.

4. UU Mahkamah Konstitusi

RUU Mahkamah Konstitusi (MK) masih digodok DPR RI. Beleid ini ramai dikritik banyak pihak.

Dalam Pembicaraan Tingkat I pada Senin (13/5/2024), DPR RI menyetujui proses legislasi atas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Padahal, sejumlah kalangan telah melontarkan kekhawatirannya dan menilai itu sebagai upaya untuk melumpuhkan MK.

Proses revisi UU MK tersebut dilakukan secara senyap, tertutup, tergesa-gesa, dan minim partisipasi publik. Substansinya pun dinilai kental dengan kepentingan politik dan rawan digunakan untuk mendepak hakim-hakim yang dianggap tak sejalan dengan visi penguasa.

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menepis RUU itu dibahas secara diam-diam. Dasco mengatakan saat masa reses DPR mengadakan rapat koordinasi dengan Menkopolhukam yang baru.

Kemudian, Menkopolhukam yang baru mempelajari substansi dan menyetujui hasil yang sudah diketuk bersama pemerintah dan DPR pada 29 November 2023

Menurut Dasco, proses legislasi revisi UU MK sudah dilaksanakan sejak Januari tahun lalu dan telah dibahas sampai dengan Pembahasan Tingkat I antara pemerintah dan DPR pada 29 November 2023.

Pasal yang diubah terkait masa jabatan hakim konstitusi, yakni Pasal 23A dan dan Pasal 87. Pasal 23A mengatur bahwa masa jabatan hakim MK adalah 10 tahun.

Pasal 87 mengharuskan hakim yang telah lima tahun menjabat untuk mendapat persetujuan ulang dari lembaga yang mengusungnya. Tiga lembaga yang berhak mengusulkan pencalonan hakim MK adalah DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung. Sang hakim bisa melanjutkan jabatannya hingga 10 tahun jika mendapatkan persetujuan tersebut.

Pasal 87 juga mengatur, para hakim yang telah menjabat 10 tahun harus mendapat persetujuan serupa agar bisa meneruskan jabatan sampai usia pensiun.

Pasal yang diubah itu jika merujuk draf revisi UU MK, akan berlaku bagi para hakim yang saat ini menjabat—ketentuan yang bertentangan dengan putusan MK sebelumnya.

5. UU Keimigrasian

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mulai melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Salah satu yang dibahas terkait pasal yang mengatur hak seseorang pergi ke luar negeri meski dalam proses penyelidikan atas kasus hukum.

Wakil Ketua Baleg DPR, Achmad Baidowi alias Awiek, menjelaskan landasan perubahan di RUU Keimigrasian. Dia menyebut hal ini berpatokan pada Putusan MK Nomor 40/PUU/IX/2011 dan putusan MK Nomor 64/PUU/IX/2011.

Pasal yang diubah, yakni Pasal 16 berbunyi Imigrasi berwenang menolak orang dalam kepentingan penyelidikan dan penyidikan bepergian ke luar negeri.

Kemudian di dalam RUU Pasal 16 Ayat (1) pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia dalam hal orang tersebut (b) diperlukan untuk kepentingan penyidikan.

Baca juga artikel terkait REVISI UNDANG-UNDANG atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Flash news
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi