Menuju konten utama

Aturan Remisi Koruptor Dicabut, Pukat: Tipikor & Pidana Umum Beda

Menurut Zaenur tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak pidana umum. Dan perihal cara penegakan hukuman yang berbeda, tentu bukan bentuk diskriminatif.

Aturan Remisi Koruptor Dicabut, Pukat: Tipikor & Pidana Umum Beda
Ilustrasi Undang Undang. foto/Istockphoto

tirto.id - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman menilai keliru alasan majelis hakim Mahkamah Agung saat mengabulkan uji materiil Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.

Argumen yang dimaksud Zaenur ialah soal pertimbangan remisi demi menghilangkan diskriminasi hingga kepadatan lapas bagi terpidana.

PP tersebut merupakan aturan tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang memperketat pemberian remisi kepada narapidana tiga jenis kejahatan luar biasa, yakni narkoba, korupsi, dan terorisme.

Menurut Zaenur tindak pidana korupsi berbeda dengan tindak pidana umum. Dan perihal cara penegakan hukuman yang berbeda, tentu bukan bentuk diskriminatif.

"Kalau itu merupakan suatu bentuk diskriminasi, itu adalah diskriminasi yang diizinkan UU. Menurut saya, sebenarnya MA nggak cukup kuat untuk beralasan bahwa itu merupakan suatu bentuk diskriminasi," ujarnya dalam diskusi daring bersama ICW, Selasa (2/11/2021).

Begitu juga dengan alasan kepadatan lapas. Zaenur menilai overcrowding yang menjadi persoalan lapas di Indonesia hari ini, bukan disebabkan narapidana koruptor. Sebab jumlah narapidana koruptor hanya 1 persen atau di bawah 2 ribu dari total 200 ribu warga binaan di lapas.

Keputusan MA mencabut aturan remisi bagi koruptor, menurut Zaenur, menunjukan sistem hukum Indonesia yang ramah terhadap koruptor. Terlebih lagi jika melihat masa hukuman bagi para koruptor rerata hanya 2 atau maksimal 4 tahun saja.

"Hanya dalam waktu 3,5 tahun tersebut para terpidana korupsi menjalani pidana badan masih diikuti oleh betapa sulitnya bagi Indonesia melakukan recovery asset hasil kejahatan," ujarnya.

Majelis hakim menimbang, pemidaan tak mesti memenjarakan pelaku agar jera. Tapi bisa juga dengan rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan prinsip restorative justice.

Hal ini dinilai keliru oleh Bivitri. Sebab dalam konteks tindak pidana korupsi, koruptor tidak bisa dikatakan sebagai korban. Korban ialah masyarakat yang terdampak akibat perbuatan koruptif.

Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, maka pemberian remisi kembali merujuk pada PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.

Syarat pemberian remisi bagi semua napi itu antara lain berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.

Adapun susunan majelis yang menangani uji materi yaitu hakim ketua Supandi dengan hakim anggota masing-masing Yodi Martono Wahyunadi dan Is Sudaryono.

Baca juga artikel terkait REMISI KORUPTOR atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari