Menuju konten utama
Mozaik

Asteris, Tanda Bintang untuk Catatan Kaki hingga Dialog Online

Tanda bintang atau asteris (*) yang kerap muncul dalam percakapan daring mempunyai riwayat yang sangat panjang. Ia mulai dikenal sekitar tahun 200 SM.

Asteris, Tanda Bintang untuk Catatan Kaki hingga Dialog Online
Header Mozaik Awal Mula Penggunaan Asteris. tirto.id/Tino

tirto.id - Kita kerap kesal ketika memasukkan password sebuah akun media sosial maupun internet banking karena terpaksa harus mengulanginya beberapa kali. Apalagi jika rentetan kode rahasia itu cukup panjang dengan kombinasi yang rumit. Ditambah koneksi internet yang bermasalah dan situasi yang buru-buru sampai akhirnya akun terblokir. Wah, bisa dibayangkan.

Dalam keamanan data, password atau angka rahasia—misalnya wildcard pada kartu kredit—kerap disimbolkan dengan tanda bintang atau biasa disebut asteris. Tanda ini biasanya muncul di layar sebagai pengganti karakter yang ditik, baik huruf, angka, maupun simbol.

Misalnya, saat kita mengetik password “rahasia123”, yang terlihat di layar adalah “*********”. Hal yang sama berlaku untuk angka CVV (Card Verification Value) atau CVC (Card Verification Code) kartu kredit. Ketika memasukkan tiga digit angka, layar hanya akan menampilkan tanda seperti "***".

Fungsinya untuk melindungi informasi pribadi dari pengintaian visual. Bayangkan jika kita sedang mengetik password atau CVV di tempat umum, seperti kafe atau ruang kerja bersama. Orang di sekitar bisa saja secara tidak sengaja--atau sengaja--melihat apa yang kita tik.

Dengan tanda asteris, informasi tersebut tetap aman karena tidak terlihat langsung.

Asteris dalam Teks Kuno

Saat kita berbicara tentang simbol asteris (*), mungkin yang terlintas di benak kita adalah penggunaannya dalam catatan kaki, koreksi, atau sebagai pengganti kata-kata yang disensor di dunia modern.

Dari asal-usulnya dalam tulisan piktografik Sumeria kuno hingga penggunaan modern di forum daring dan pesan instan, asteris telah beradaptasi menjalankan berbagai fungsi, termasuk menandai catatan kaki dan memberi penekanan pada kata-kata.

Asteris berasal dari bahasa Yunani, asteriskos, yang berarti “bintang kecil”, memiliki sejarah panjang yang dimulai lebih dari lima milenium. Ia pertama kali digunakan dalam tulisan piktografik Sumeria.

Pada masa itu, simbol-simbol digunakan untuk menyampaikan informasi dalam bentuk gambar, dan tanda bintang adalah salah satu elemen yang dipakai, meski penggambarannya tidak seperti simbol yang kita gunakan hari ini.

Seiring waktu, si “bintang kecil” berkembang menjadi bagian dari sistem tulisan di berbagai budaya. Dalam naskah-naskah kuno, asteris sering digunakan sebagai tanda rujukan atau catatan kaki.

Sekitar tahun 200 SM, Aristarchus dari Samothrace, seorang filolog dan kritikus sastra Yunani yang sangat dihormati pada zamannya kerap menggunakan asteris. Ia seorang cendekiawan Yunani yang lahir sekitar tahun 216 SM di pulau kecil bernama Samothrace dan dikenal sebagai salah satu filolog paling berpengaruh di era Helenistik.

Filolog adalah seseorang yang mempelajari bahasa, sastra, dan teks kuno. Aristarchus sangat terkenal karena dedikasinya dalam mempelajari karya-karya sastra besar Yunani, terutama puisi Homer seperti “Iliad” dan “Odyssey”.

Aristarchus bekerja di Perpustakaan Alexandria, salah satu pusat pengetahuan terbesar di dunia kuno. Di sana, ia menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menganalisis, menyunting, dan mengomentari teks-teks klasik. Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa karya-karya sastra ini tetap terjaga keasliannya dan bebas dari kesalahan salinan yang mungkin terjadi selama proses penyalinan manual.

Ilustrasi Simbol Asteris

Ilustrasi Simbol Asteris. FOTO/iStockphoto

Dia lalu menciptakan simbol ini sebagai alat bantu untuk menandai bagian-bagian tertentu dalam teks yang dianggap bermasalah atau membutuhkan perhatian khusus. Dalam konteks ini, asteris digunakan untuk menunjukkan baris-baris yang menurutnya tidak asli atau diragukan keasliannya.

Misalnya, jika ia menemukan sebuah baris dalam “Iliad” yang tampaknya ditambahkan oleh penyalin sebelumnya atau tidak sesuai dengan gaya Homer, ia akan menandainya dengan asteris.

Simbol ini sangat membantu upaya Aristarchus menjaga keaslian teks-teks kuno. Ia memberi para pembaca alur yang lebih baik untuk memahami konteks dan makna dari teks yang tengah mereka baca.

Tidak ada catatan pasti mengenai alasan spesifik di balik Aristarchus memilih tanda bintang. Bisa saja ia memilih simbol ini karena bentuknya yang sederhana dan mudah dikenali. Lagipula, pada masa itu, simbol-simbol khusus seperti ini belum banyak digunakan, sehingga asteris menjadi pilihan yang unik dan efektif.

Selain memperkenalkan asteris, Aristarchus juga dikenal atas kontribusinya yang luar biasa dalam dunia sastra Yunani. Metodologi kritisnya menjadi dasar bagi banyak cendekiawan setelahnya dalam mempelajari teks-teks kuno.

Pada abad ketiga, Oregon, seorang filsuf dan teolog Kristen yang lahir di Aleksandria, Mesir, menciptakan karyanya yang paling monumental berjudul Hexapla, yang merupakan upaya luar biasa untuk menyusun terjemahan teks-teks kitab suci Yahudi yang dikenal dengan nama Septuaginta ke dalam bahasa Yunani.

Origen tidak hanya menerjemahkan, tetapi juga merangkum dan mengkritisi berbagai versi teks yang ada. Tanda bintang ini ia pakai untuk menandai bagian-bagian tertentu dari teks yang dianggap sangat penting atau yang memerlukan perhatian khusus.

Penggunaan tanda bintang dan simbol serupa berlanjut hingga Abad Pertengahan. Para penyalin naskah, terutama Alkitab, pada masa itu menggunakannya untuk menambahkan anotasi atau catatan penting pada teks yang mereka salin.

Pada abad 17, Galileo menggunakan tanda bintang sebagai penanda dalam studi astronominya, terutama dalam karyanya tahun 1610, Sidereus Nuncius. Simbol-simbol ini membantu menggambarkan Bintang Medici, yang sekarang diakui sebagai Bulan Galilea Jupiter.

Dalam periode yang sama, Asteris secara resmi diperkenalkan sebagai simbol perkalian oleh Johan Heinrich Rahn. Dampaknya, banyak bahasa pemrograman modern menggunakan asteris sebagai operator perkalian default. Versatilitasnya telah memungkinkannya berkembang sebagai simbol di banyak bidang matematika dan ilmu komputer yang beragam.

Perkembangan dan Fungsi Penulisan Modern

Simbol bintang berfungsi sebagai alat multifaset untuk kutipan dan pemisahan, seperti yang dicontohkan dalam Thresholes (2020) karya Lara Mimosa Montes. Penggunaan tanda kurung oleh Montes dalam tulisannya berfungsi sebagai mekanisme pelarian, memungkinkan eksplorasi makna dan koneksi lainnya.

Semakin membaca karya Montes tersebut semakin terikat dengan tanda bintang di halaman berikutnya, begitu kutip penyair Danilo Machado dalam esainya. Menurutnya, simbol-simbol ini menciptakan jalur di dalam teks, beresonansi dengan bentuk pengetahuan lainnya, dan mewujudkan keberadaan tubuh.

Asteris lantas berkembang dan digunakan dalam berbagai konteks. Asteris sering digunakan untuk memberikan keterangan tambahan di bagian bawah halaman atau di akhir teks. Misalnya, ketika membaca sebuah buku dan menemukan pernyataan yang menarik, sering kali di bawahnya terdapat asteris yang merujuk pada keterangan lebih lanjut tentang informasi tersebut.

Di dunia pemasaran, asteris bukan sekadar simbol biasa. Ia sering muncul di produk, layanan, atau penawaran khusus yang mengundang perhatian. Biasanya, asteris digunakan untuk menunjuk pada catatan kaki atau syarat dan ketentuan yang berlaku. Misalnya, kita mungkin melihatnya dalam iklan promosi: “Diskon 50%*!”

Dalam banyak kasus, iklan yang mengandung asteris akan membawa kita ke halaman situs web atau brosur tempat semua detail tersebut dijelaskan. Ini secara tidak langsung menarik konsumen untuk melanjutkan interaksi dengan merek yang bersangkutan.

Lebih jauh lagi, tanda bintang kerap digunakan untuk menggantikan sebagian huruf dari kata-kata yang dianggap kasar atau tabu, misalnya b**n***t atau t***l. Penggunaan asteris sebenarnya cukup menarik. Selain menjaga kesopanan, cara ini juga membantu menghindari konflik atau kesalahpahaman.

Misalnya, saat seseorang ingin mengekspresikan kekesalan tanpa terdengar terlalu kasar, mereka bisa menggunakan asteris untuk “melembutkan” kata-kata tersebut. Jadi, pesan tetap tersampaikan, namun tidak menyinggung.

Namun, ada juga yang merasa bahwa penggunaan asteris kurang efektif. Beberapa orang berpendapat bahwa meskipun huruf-hurufnya disensor, pembaca tetap bisa menebak kata aslinya. Jadi, sebenarnya tujuan untuk menyamarkan kata tersebut bisa dibilang kurang tercapai.

Tapi di sisi lain, langkah ini tetap dianggap lebih baik daripada menuliskan kata-kata kasar secara langsung. Dalam beberapa situasi, kejujuran dan ketulusan dalam menggunakan bahasa bisa lebih efektif dibandingkan dengan memilih jalan tengah.

Di era modern, kita mungkin sering melihat asteris digunakan dalam cara yang sama sekali berbeda. Tanda bintang digunakan dalam komunikasi online untuk penekanan dan koreksi. Adaptasi ini dimulai saat tanda tersebut digunakan untuk memperbaiki kesalahan atau menebalkan teks sebagai sebuah penekanan yang tegas.

Misalnya, dalam pesan Whatsapp, kita menggunakan asteris untuk menekankan atau memperbaiki kalimat karena ada kata yang salah tik. Contoh:

"Nanti malam kita ngumpul di marks ya?"

*markas

Atau dengan dua tanda bintang, kita bisa menjadikannya kata atau kalimat menjadi sebuah penegasan. Contoh:

"Jangan lupa *seragamnya* dipakai!"

Pada tampilan pesan Whatsapp tersebut, *seragam* akan menjadi huruf tebal, seragam, sebagai sebuah penegasan. Meski simbolnya sama, tujuannya tetap mirip; kita berusaha untuk memberikan kejelasan kepada orang lain.

Ilustrasi Simbol Asteris

Ilustrasi Simbol Asteris. FOTO/iStockphoto

Fungsi Asteris dalam Linguistik

Penggunaan tanda bintang (*) dalam linguistik memang telah ada sebelum tahun 1950-an. Giorgio Graffi dalam jurnalnya “The Asterisk from Historical to Descriptive and Theoretical Linguistics: An historical note” menyimpulkan bahwa hal itu bisa dilihat dalam penulisan linguistik awal, termasuk di karya-karya para ahli seperti Ferdinand de Saussure dan Noam Chomsky.

Meskipun ada ahli lain pada tahun 1973 yang berargumen bahwa penggunaan ini mulai populer setelah pertengahan abad ke-20, banyak ahli linguistik sebelumnya sudah menggunakan sistem notasi tersebut dalam analisis mereka. Misalnya, dalam konteks analisis morfologi dan sintaksis, tanda bintang sudah digunakan untuk menunjukkan ketidakabsahan bentuk kata atau kalimat.

Ini mungkin fungsi asteris yang paling umum dalam linguistik. Asteris diletakkan di depan sebuah kata, frasa, atau kalimat untuk menunjukkan bahwa bentuk tersebut tidak gramatikal menurut aturan tata bahasa suatu bahasa, atau tidak berterima bagi penutur asli bahasa tersebut.

Seturut Harimurti Kridalaksana dalam Kamus LinguistikEdisi Keempat (2008:33), bentuk asteris merupakan: (1) bentuk bahasa yang diberi tanda asteris untuk menunjukkan bahwa bentuk itu tidak gramatikal atau tidak pernah dipakai; (2) linguistik historis-komparatif. bentuk bahasa yang diberi tanda asteris untuk menunjukkan bahwa bentuk itu tidak ada bukti-bukti tertulisnya atau bentuk itu direkonstruksikan; →→ bentuk hipotetis; bentuk purba.

Contoh:

*Saya makan kemarin nasi. (Tidak gramatikal karena urutan kata yang salah)

*Dia tidur hijau. (Tidak berterima karena kata “hijau” tidak bisa digunakan sebagai keterangan tidur)

Meskipun tidak ada aturan baku yang universal, dalam linguistik historis, tanda bintang digunakan untuk menunjukkan kata-kata yang tidak ada dalam teks asli tetapi ditambahkan untuk membantu pemahaman atau rekonstruksi. Contoh:

- Kata yang ditambahkan untuk kejelasan, seperti: “Saya pergi *(ke) toko”.

Sedangkan dalam linguistik generatif, asteris digunakan untuk menunjukkan kata yang perlu ditambahkan atau dihilangkan untuk tujuan tata bahasa. Contoh:

- Jika suatu kata perlu ditambahkan: "Dia adalah (*seorang) penulis."

- Jika suatu kata perlu dihapus: "Dia pergi *(ke) rumah."

Sementara itu dalam penulisan fiksi, tanda bintang sering digunakan untuk menandai ekspresi yang tidak diucapkan tetapi dirasakan oleh karakter. Contoh:

- *sigh* (menghela napas)

- *gush* (bersemangat)

Dalam konteks yang lebih luas, penggunaan asteris mencerminkan perjalanan panjang suatu ide dalam beradaptasi, bertahan, dan berkembang. Itu juga menyiratkan betapa pentingnya dokumentasi dan perhatian terhadap detail dalam setiap aspek penulisan, baik sastra, ilmiah, atau bahkan percakapan sehari-hari.

Mungkin saja Aristarchus tidak menyadari bahwa inovasi kecilnya di dunia sastra akan memengaruhi cara kita berkomunikasi di zaman modern.

Baca juga artikel terkait SIMBOL atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi