Menuju konten utama

ASN Tak Netral di Pilkada, Penyakit Kronis yang Sulit Disembuhkan

ASN tidak netral saat pilkada adalah persoalan klasik. Sanksi yang ada tak maksimal.

ASN Tak Netral di Pilkada, Penyakit Kronis yang Sulit Disembuhkan
Sepuluh orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) mengikuti pelantikan online di Aula SMAN 1 Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (21/4/2020). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/foc.

tirto.id - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan 1.252 dugaan pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilkada 2020 per 12 Desember. Sebanyak 136 temuan dihentikan penanganannya, sementara 1.116 diteruskan ke instansi yang berwenang merekomendasikan sanksi, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

Di Jawa Barat, beberapa kasus yang dimaksud berbentuk pemberian dukungan melalui media sosial/massa, melakukan pendekatan/mendaftarkan diri pada salah satu partai politik, menghadiri kegiatan kampanye yang menguntungkan salah satu pasangan calon (paslon), dan mendukung salah satu paslon dalam kampanye.

Kepala kantor atau dinas atau bagian atau seksi yang melanggar sebanyak 13. Ada pula camat atau sekretaris kecamatan, jumlahnya 15. Kemudian guru atau pengawas sekolah 19, staf 10, dokter atau perawat maupun bidan tiga, Satpol PP Kecamatan satu, hingga kepala sekretariat Panwascam satu. Total perkara di provinsi yang dipimpin Ridwan Kamil ini mencapai 52.

Di Gowa, Sulawesi Selatan, ASN berinisial RN dihukum pidana satu bulan penjara dengan masa percobaan dua bulan. Pengadilan Negeri Sungguminasa mengatakan yang bersangkutan sengaja menguntungkan salah satu pasangan calon bupati.

Badan Kepegawaian Negara (BKN), lembaga yang melaksanakan tugas manajemen kepegawaian negara, sebenarnya telah merilis aktivitas apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perilaku tidak netral. Salah satunya adalah mengampanyekan paslon di media sosial. Ini termasuk mengunggah langsung, mengomentari, menyebarkan, dan menyukai konten terkait.

Kemudian aktivitas lain termasuk menghadiri deklarasi kandidat, foto bersama dan mengikuti gestur khas paslon, menjadi pembicara parpol kecuali untuk menjelaskan kebijakan tugas dan fungsi, memasang spanduk paslon, mengorganisasikan kegiatan untuk paslon, dan ikut kampanye termasuk suami atau istri calon berstatus PNS tanpa ambil cuti di luar tanggungan negara.

Lalu ikut kampanye dengan fasilitas negara, memberikan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam kampanye, membuat keputusan yang menguntungkan atau merugikan paslon selama masa kampanye, dan menjadi anggota atau pengurus parpol.

Menurut Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian BKN, Otok Kuswandaru, ASN yang tidak netral telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS.

Jika ASN melanggar, sanksinya adalah hukuman disiplin sedang berupa penundaan kenaikan gaji berkala selama satu tahun, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Ada pula hukuman disiplin berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan, dan pemberhentian dengan tidak hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Pemberian sanksi, menurut Otok, sesuai dengan PP 53/2010 Pasal 7 angka (3) dan (4).

Terkendala PPK

Netralitas ASN sebenarnya merupakan perkara yang terus berulang setiap pemilu. Trennya bahkan menunjukkan kenaikan. Pada 2015, dari 269 yang menggelar pemilu, pelanggaran yang ditemukan sebanyak 29. Lalu 2017 sebanyak 52 dari total 101 daerah, dan 2018 419 pelanggaran dari 171 daerah.

Menurut Ketua KASN Agus Pramusinto, salah satu penyebab kasus berulang adalah ASN memiliki persepsi bahwa mendukung paslon tertentu dapat mendongkrak karier atau jabatan. Dia bilang itu keliru. “Promosi sudah diatur jelas berbasis kompetensi dan kinerja. Bukan berbasis dukungan politik,” ujar Agus kepada reporter Tirto, Senin (21/12/2020).

Selain itu, ia mendaku ada kelemahan dalam sistem penegakan sanksi di tingkat Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). “[Ada] Kepentingan politik [di PPK]. Ada yang harus disanksi adalah pendukung politik mereka,” aku Agus.

Seorang anggota Ombudsman pada Agustus lalu bahkan mengatakan lemahnya PPK adalah masalah klasik. Ketika itu adalah 344 ASN yang direkomendasikan untuk disanksi, tapi baru 189 yang ditindaklanjuti oleh PPK, alias baru 54,9 persen. Sama seperti Agus, ini terjadi karena PPK yang isinya tidak lain adalah kepala daerah sungkan membantu ASN yang telah membantunya memperoleh jabatan politik. Parahnya lagi tak ada sanksi bagi PPK yang tidak melaksanakan rekomendasi KASN.

Agus bilang KASN telah menyiasati perkara ini dengan BKN untuk memblokir data kepegawaian PPK yang tidak menjalankan fungsi penegakan secara benar, serta meminta Kementerian Dalam Negeri untuk menegur kepala daerah terkait.

Data KASN per 19 Desember, ASN yang melanggar asas netralitas sebanyak 1.305. Sebanyak 985 ASN telah diproses. Dari jumlah itu 872 ASN terbukti melanggar dan 113 tidak terbukti. Sebanyak 320 ASN masih diperiksa: 243 ASN disurati, 67 ASN dimintai dokumen, dan 10 kasus di tahap klarifikasi.

Menurut anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus, yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah memutus rantai ASN dengan para calon kepala daerah petahana. “Kalau maju lagi, dia (kepala daerah) harus berhenti dari jabatan sekarang, jangan hanya cuti,” ujar Guspardi kepada reporter Tirto, Senin.

Dengan demikian menurutnya para petahana tidak memiliki daya untuk memobilisasi dan memengaruhi para ASN.

Atas semua persoalan ini, anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo menilai perlu perubahan regulasi dalam urusan penindakan dan penegakan sanksi bagi ASN yang kedapatan tidak netral. Ia juga berpendapat PPK tidak bisa bekerja optimal karena bias kepentingan. Oleh karena itu “eksekutor dari rekomendasi KASN harus dipindahkan dari PPK ke lembaga yang lebih independen.”

Baca juga artikel terkait NETRALITAS ASN atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Politik
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino