tirto.id - Cina semakin gencar pamer kekuatan militer di kawasan sekitar Taiwan. Puncaknya terjadi pada awal Oktober, ketika rakyat kedua negara tengah bersukacita menyambut peringatan hari besar nasional masing-masing.
Pada 1 Oktober, Republik Rakyat Cina merayakan hari ulang tahun ke-72. Di Lapangan Tiananmen di ibu kota Beijing, rakyat berkumpul untuk menyaksikan pengibaran bendera. Upacara ini juga berlangsung di daerah otonom milik Cina lain seperti Makau dan di Hong Kong--dua daerah yang sempat diwarnai aksi protes oleh kelompok aktivis prodemokrasi.
Tak lama kemudian, persisnya 10 Oktober, ritual serupa dilaksanakan di Taipei, Taiwan. Acara nampak meriah dengan pertunjukan musik orkestra, penampilan atlet senam dari asosiasi gimnastik, pawai militer, sampai kembang api. Hari itu adalah peringatan 110 tahun Pemberontakan Wuchang, gerakan protes di Cina Daratan yang mengawali kejatuhan Dinasti Qing dan berdirinya Republik Cina, atau sekarang kita kenal sebagai Taiwan.
Selama rentang peringatan dua hari besar tersebut, pemerintah Cina mengirimkan jet-jet tempur ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan. Totalnya nyaris mencapai 150 unit pesawat, rekor tertinggi sejak Kementerian Pertahanan Taiwan mulai melakukan pendataan setahun silam.
Media propemerintah Cina Global Times memberitakan aksi para pilot Tentara Pembebasan Rakyat atau People’s Liberation Army (PLA) itu sebagai “parade militer” sekaligus “deklarasi yang terang dan jelas tentang kedaulatan Cina atas pulau [Taiwan]”. Para penerbang dikirim untuk menunjukkan “kemampuan PLA yang kuat dalam melancarkan serangan udara ketika perang.”
Sebagai respons, Angkatan Udara Taiwan menegaskan akan terus menjaga kedaulatan Taiwan. “Ketika dihadapkan dengan agresi dan provokasi musuh, kami tidak akan pernah berkompromi,” demikian narasi dalam unggahan video di laman resmi Facebook mereka, dikutip dari CNN.
Kecaman juga disuarakan oleh pemerintah Amerika Serikat. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price menyatakan aktivitas militer tersebut sebagai aksi “provokatif” yang “mendorong destablisasi, menimbulkan risiko salah perhitungan, serta merusak perdamaian dan stabilitas regional.”
Paman Sam di satu sisi memang menganut Kebijakan Satu Cina. Artinya, mereka mengakui Republik Rakyat Cina di bawah rezim komunis warisan Mao Zedong sebagai satu-satunya negara yang sah. Akan tetapi, sikap dan kebijakan AS selama ini cenderung berpihak pada Taiwan. Relasi mesra ini kentara pada riwayat transaksi jual beli senjata dan perlengkapan militer di antara mereka. Nilainya diperkirakan mencapai Rp300 triliun dalam satu dekade terakhir.
Invasi Militer? Belum Tentu
Menteri Pertahanan Nasional Taiwan Chiu Kuo-cheng memperkirakan pada 2025 nanti pasukan Cina akan memiliki kapasitas yang cukup untuk menginvasi Taiwan. Senada, menurut eks-pejabat militer AS untuk wilayah Indo-Pasifik, Philip Davidson, Cina bisa mencaplok Taiwan secepat-cepatnya 2027 apabila mereka memang betul-betul ingin mengerahkan cara kekerasan.
Meski perlu waktu beberapa tahun lagi sampai Cina mampu menguasai Taiwan menurut beberapa pihak, situasi yang memanas belakangan ini setidaknya menimbulkan kekhawatiran tentang potensi konfrontasi terbuka dalam waktu dekat. Namun demikian, tidak semua pihak berpikir demikian.
Jenderal Mark Milley, salah satu petinggi militer AS, berpendapat bahwa Cina memerlukan usaha lebih lama untuk meningkatkan kapasitas militernya agar bisa melumpuhkan seluruh Taiwan. Saat ditanya oleh Kongres AS tentang potensi serangan militer Cina ke Taiwan Juni kemarin, Milley mengatakan Cina juga paham bahwa mereka belum punya niat atau motivasi yang cukup kuat untuk menginvasi Taiwan hari ini atau dalam waktu dekat.
Pandangan Milley mirip dengan argumen ahli ilmu politik Michael Beckley. Dalam artikel yang terbit di jurnal International Security (2017), Beckley menilai prospek Cina cukup kecil untuk mengembangkan kekuatan militer sampai bisa merebut Taiwan atau Laut Cina Timur dan Selatan. Sebabnya, negara-negara maritim di sekitar Cina sudah punya kapabilitas “anti-access/area-denial” (A2/AD), yakni semacam sistem persenjataan dan pertahanan untuk menghalau musuh masuk ke teritorial mereka.
Perekonomian Cina juga dianggap belum mampu membiayai pasukan dan teknologi perang yang mampu menangkal kekuatan A2/AD negara-negara tetangga, terlebih apabila mereka disokong oleh militer AS yang lebih superior.
Dalam pandangan Beckley, mesin ekonomi Cina saat ini sedang terengah-engah. Mereka terbebani banyak utang, belum lagi beragam operasi keamanan di dalam negeri yang menyedot sumber daya militer cukup besar.
Singkat kata, sumber daya ekonomi Cina belum bisa membantu memenuhi ambisi militer mereka untuk mencaplok Taiwan dan perairan di sekitarnya.
Senada, dalam artikel di The Conversation, profesor kajian pertahanan dan strategi dari Australian National University John Blaxland menjelaskan bahwa posisi Cina akan sangat rentan jika perang meletus. Ini karena tantangan yang Cina hadapi kelak tidak hanya berasal dari sistem pertahanan Taiwan saja, namun juga negara-negara lain yang berbagi perbatasan dengan Cina.
Selain itu, Baxland menyorot perekonomian Cina yang bergantung pada kerja sama internasional, seperti investasi dengan dunia industri Jepang, AS, sampai Eropa. Cina juga hidup dari relasi dagang lintas Selat Malaka, seperti dengan Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ketergantungan Cina dengan ekonomi di Indo-Pasifik ini salah satunya dibuktikan dengan proyek Belt and Road Initiative.
Menurut Baxland, Cina akan berusaha menghindari konflik terbuka sampai ekonomi dan industrinya betul-betul mapan dan lebih mandiri. Hari-hari ini, paling banter mereka hanya akan melakukan parade sangar di perairan sekitar.
Analis dari Nikkei Hiroyuki Akita menganggap serangan siber atau propaganda jauh lebih potensial dilancarkan oleh otoritas Cina dalam waktu dekat alih-alih invasi militer. Apabila Cina nekad merebut Taiwan dengan kekuatan militer, Akita menduga pasukan AS akan ikut dikerahkan untuk menyokong Taiwan. Artinya, cita-cita Cina untuk reunifikasi dengan Taiwan bakal lebih sulit tercapai karena adanya perlawanan lebih kuat dari pasukan AS.
Menurut Akita, otoritas Cina mungkin akan mencoba memicu keresahan dan ketidakpuasan masyarakat Taiwan. Tujuannya tak lain agar timbul kerusuhan massa yang membuat rakyat tak lagi percaya pada Taipei. Pada waktu sama, Cina bisa memanfaatkan keunggulan atau dominasi ekonominya untuk menggerakkan elemen-elemen pro-Beijing di dalam Taiwan.
Pengerahan strategi soft power ini dipandang cukup berpotensi terjadi. Pasalnya, otoritas Cina disinyalir sudah beberapa kali mencoba menerapkannya, misal melalui serangan siber kepada komputer-komputer milik kantor Presiden dan Kementerian Pertahanan Taiwan. Masih ada juga laporan tentang persebaran misinformasi untuk menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bahkan, baru-baru ini, intelijen Cina diduga berhasil mengantongi informasi sensitif dari elite militer Taiwan yang didekatinya.
Namun demikian, langkah-langkah di atas mungkin tidak serta merta membuat Taiwan langsung bertekuk lutut di bawah kuasa Beijing. Oleh karena itu, perang terbuka mungkin tetap jadi opsi Cina untuk mencapai reunifikasi suatu hari nanti.
Dari Kacamata Warga
Bagaimana pandangan rakyat Taiwan dan warga negara Cina sendiri tentang potensi bentrokan bersenjata di antara mereka? Apakah mereka juga terbebani dengan meningkatnya ketegangan? Menurut beberapa analis, jawabannya tidak.
Dalam artikel di The Conversation, dosen kajian politik Taiwan di Australian National University Sung Wen-Ti menjelaskan rakyat Taiwan sudah terbiasa dengan provokasi-provokasi militer dan tekanan diplomatik dari Cina. Mereka sudah kebal karena seperempat abad lebih hidup di bayang-bayang ketegangan tersebut. Semakin lama merasakannya, semakin pudar pula rasa khawatir.
Cina sempat mengetes rudal di perairan dekat Taiwan pada 1996. Aksi ini diduga akan jadi invasi terbuka, namun nyatanya tidak. Pada 2015, stasiun TV Cina pernah menyiarkan video simulasi atau latihan perang pasukan Cina di daerah Zhurihe, Mongolia Dalam. Tentara Cina rupanya tengah melakukan serangan terhadap bangunan yang menyerupai gedung Presiden Taiwan. Sampai hari ini, entah sudah berapa banyak pilot penerbang Cina mondar-mandir di perairan sekitar Taiwan.
Namun, sekali lagi, bentrokan bersenjata belum juga terjadi.
Menurut Sung, sikap Cina yang cenderung suka “menyerempet marabahaya” selama ini punya tujuan strategis. Alih-alih mendorong tercapainya reunifikasi segera, ketegangan yang Cina ciptakan ditujukan untuk menghalangi Taiwan agar tidak bergerak ke arah kemerdekaan. Singkatnya, otoritas Cina ingin mengulur waktu sepanjang-panjangnya sampai suatu hari nanti kekuatan militer di Selat Taiwan berpihak ke sisi mereka.
Seiring itu, Cina juga diperkirakan akan memanfaatkan insentif ekonomi untuk menarik perhatian para pemimpin muda Taiwan, yang diharapkan bakal memengaruhi opini publik agar lebih pro-Beijing. Semua strategi ini memakan waktu yang tidak instan.
Dengan kata lain, reunifikasi, baik melalui invasi militer atau pun soft power, bukanlah cita-cita yang dapat Cina capai dalam waktu dekat.
Melansir tulisan Alex Ward di Vox, para analis juga menilai bahwa pemerintah Cina sebenarnya saat ini punya urusan lain yang lebih mendesak, misalnya terkait gerakan prodemokrasi di Hong Kong, penanganan pandemi Covid-19, sampai muslim Uyghur.
Pakar relasi Cina-Taiwan dari Old Dominion University Cathy Wu mengatakan kepentingan relatif terkait Taiwan sudah berkurang. Peluang terjadinya perang justru lebih rendah pada hari ini, paparnya. Wu mencontohkan warga di kota kelahirannya, Quanzhou, yang lokasinya persis di seberang Taiwan. Alih-alih khawatir dengan konfrontasi terbuka di Selat Taiwan, mereka sekarang justru lebih dibuat pusing dengan perkara kenaikan harga rumah.
Editor: Rio Apinino