tirto.id - Namanya Bella, usianya baru empat tahun, tapi Bella sudah mampu membaca dan mengetik kumpulan kata-kata di papan huruf di laptop. Kemampuan membaca sudah ia kuasai sejak umur dua tahun, jauh lebih cepat dibandingkan anak-anak seusianya. Annabella Amijaya membuktikan sindrom Pfeiffer tipe 2 tak menghambat dirinya menggali potensi.
Hari-harinya dihabiskan dengan menghapal surat-surat pendek Alquran. Juga menyelesaikan target membaca seribu buku sebelum masuk sekolah dasar, sekitar tahun depan. Gadis kecil ini memang punya hobi membaca buku selain juga mewarnai.
Sindrom Pfeiffer merupakan kelainan genetik langka, ditandai dengan peleburan (fusi) dini tulang tengkorak. Akibat fusi prematur ini, tulang tengkorak jadi tak berkembang normal, memengaruhi bentuk kepala dan wajah. Memicu penonjolan dan pelebaran mata, dahi tinggi, dagu tidak berkembang, dan hidung pesek.
“Pada janin, tulang tengkorak seharusnya terpisah satu sama lain sehingga bisa terus tumbuh. Jika lebih cepat, akan membuat bentuk wajah abnormal,” jelas Dr. Jose Cordero, MD, kepala departemen epidemiologi dan biostatistik di University of Georgia. Pria ini juga merupakan mantan direktur National Center for Birth Defects and Developmental Disabilities.
Lebih dari setengah anak dengan sindrom ini memiliki gangguan pendengaran. Seperti yang dialami Bella, lubang telinganya tertutup rapat semenjak ia lahir. Selain Bella, sindrom Pfeiffer juga dialami anak dari Prince Rogers Nelson dan Mayte Garcia.
Tahun lalu, kepada People ia membuka sebuah rahasia yang selama ini disimpan. Anak pertamanya bersama Prince, Amiir, telah meninggal pada 16 Oktober 1996 akibat sindrom pfeiffer tipe 2. Bayi laki-laki itu hanya mampu bertahan selama enam hari setelah kelahiran. Garcia dan Prince sempat menyembunyikan berita tersebut beberapa waktu pasca-kematian Amiir.
Gracia hamil saat berumur 22 tahun. Ketika itu, ia dan Prince sudah berencana membangun keluarga kecil mereka di Paisley Park. Kehamilannya berjalan mulus sampai suatu ketika Gracia mengalami pendarahan. Dokter menyarankan Gracia menjalani amniosentesis untuk menguji kelainan genetik. Namun, prosedur ini meningkatkan risiko keguguran.
“Prince menentang, ia berkata, 'Kami tak akan melakukannya',” kata Gracia, bercerita ulang. Ketika itu dokter curiga janinnya membawa kelainan genetik, tapi tak tahu jenisnya secara pasti hingga tiba waktu kelahiran.
Sepulang dari pemeriksaan, Prince dan Gracia hanya berdoa untuk kesehatan janinnya.
“Tolong, berkati anak ini, kami tahu engkau tak akan membiarkan ia terluka,” harap Prince kala itu.
Sembari mengenang kelahiran putranya, Gracia menggambarkannya: “Tidak ada kelopak mata yang berkedip, matanya tampak menonjol dan kering.”
Mampu Bertahan Hingga Dewasa
Sindrom Pfeiffer merupakan kelainan genetik yang sangat langka. Hanya dialami satu orang di antara 100 ribu individu. Penyebabnya adalah mutasi gen FGFR1 dan atau FGFR2 yang terkait usia lanjut pada ayah, turunan, atau memang terjadi mutasi baru. Induk pembawa mutasi gen dapat menurunkan mutasi pada anaknya. Namun, mereka masih memiliki kemungkinan untuk melewati gen abnormal dari satu induk sebanyak 50 persen di setiap kehamilan.
“Tapi ketika ibu atau ayah memiliki sedikit gejala dan membawa gen Pfeiffer, maka bayinya akan terkena lebih parah,” kata Dr. Cordero, seperti dikutip Health.com.
Menurut National Organization for Rare Disorders, organisasi nirlaba di Amerika yang melindungi individu dengan penyakit langka. Mutasi baru bertanggung jawab atas sebagian besar kasus sindrom Pfeiffer tipe 2 dan tipe 3.
Sindrom ini dibagi menjadi tiga tipe. Tipe pertama juga dikenal sebagai sindrom Pfeiffer klasik. Kebanyakan individu dengan sindrom Pfeiffer tipe 1 memiliki kecerdasan dan rentang hidup normal. Sementara Pfeiffer tipe 2 dan 3 merupakan bentuk paling parah. Ia melibatkan masalah pada sistem saraf, membatasi pertumbuhan otak, menghambat perkembangan, dan membikin masalah neurologis lainnya.
Individu dengan Pfeiffer tipe 2 atau 3 juga memiliki fusi tulang (ankilosis) di siku atau sendi lainnya sehingga mengganggu mobilitas. Mereka juga mengembangkan kelainan wajah dan saluran udara yang menyebabkan masalah pernapasan mengancam jiwa. Tipe ini menyebabkan perpaduan tulang yang lebih luas di tengkorak, ditandai dengan kepala berbentuk semanggi.
“Sebagian besar bayi tidak meninggal karena sindrom Pfeiffer. Namun, banyak yang perlu operasi ekstensif untuk memperbaiki kelainan skeletal dan kerusakan wajah.”
Kepala berbentuk semanggi ini juga seringkali diikuti dengan hidrosefalus. Dengan beragam disfungsi akibat Pfeiffer, individu dengan sindrom ini perlu mendapatkan perawatan tepat untuk meminimalisir komplikasi yang dapat mengancam jiwa.
Pada Bella misalnya, ia membutuhkan bantuan G-Tube untuk memasukkan makanan dan minuman khusus langsung ke dalam perutnya. Sebab, kondisi otak kecilnya terhimpit tengkorak kepala dan memengaruhi kemampuannya bernapas dan menelan. Selain G-Tube, ia juga memiliki dua alat bantu jalan bernama Nimbo Walker dan Gait Trainer.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani