tirto.id - Sejak 2012, setiap 21 Maret diperingati sebagai Hari Sindrom Down Sedunia. Ada yang menarik dari filosofi di balik pemilihan tanggal ini karena menandakan keunikan 3 copy kromosom ke-21 atau yang biasa dikenal dengan nama trisomy 21 yang menjadi penyebab sindrom Down.
Sindrom Down merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak disebabkan dari abnormalitas perkembangan kromosom. Jika pada orang normal dalam dirinya hanya terdapat dua kromosom ke-21, penderita sindrom Down memiliki tiga kromosom 21. Kelebihan kromosom inilah yang menjadi ciri khas sindrom Down atau yang dikenal dengan istilah Trisomi 21.
Sindrom Down sendiri terbagi atas tiga tipe yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik. Sebanyak 94 persen kasus sindrom Down masuk dalam tipe Trisomi 21 reguler yang merupakan keadaan dimana sel dalam tubuh akan memiliki tiga kromosom 21. Sedangkan empat persen penderita sindrom Down masuk dalam tipe translokasi yaitu kromosom 21 akan berkombinasi dengan kromosom lain. Tipe mosaik merupakan yang paling sedikit menjadi penyebab sindrom Down. Pada tipe ini, hanya sel tertentu dalam tubuh yang memiliki kelebihan kromosom 21.
Penderita sindrom Down akan mudah dikenali dari bentuk wajahnya yang khas. Selain itu, adanya satu garis horisontal pada telapak tangan atau yang dikenal dengan istilah simian crease merupakan ciri lain dari penderita sindrom Down. Ciri lainnya antara lain jarak yang berlebihan antara jempol kaki dan telunjuk kaki (excessive space between large and second toe), bentuk kuping yang abnormal (dysplastic ear) dan jari kelingking hanya memiliki satu sendi (dysplastic middle phalanx of the fifth finger).
Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO), terdapat 1 kejadian sindrom Down per 1.000 kelahiran hingga 1 kejadian per 1.100 kelahiran di seluruh dunia. Setiap tahunnya, sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kondisi ini. WHO memperkirakan ada 8 juta penderita sindrom Down di seluruh dunia.
Prevalensi Sindrom Down di Indonesia
Di Indonesia, kecenderungan sindrom Down pada anak berusia 24-59 bulan meningkat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan, pada 2010 prevalensi sindrom Down sebesar 0,12 persen. Namun, nilai ini meningkat menjadi 0,13 persen pada 2013. Dengan kata lain, terdapat 0,13 persen anak usia 24-59 bulan di Indonesia yang menderita sindrom Down.
Jika dilihat berdasarkan jenis kecacatan, pada 2015, prevalensi sindrom Down termasuk cukup tinggi dibandingkan kecacatan lainnya. Anak yang menderita tunadaksa dan bibir sumbing pada 2015 sebesar 0,08 persen dan penderita tuna rungu hanya 0,07 persen dari anak usia 24 sampai 59 bulan. Sedangkan, penderita terbanyak adalah tuna netra yaitu 0,17 persen dari anak berusia 24-59 bulan.
Penyebab Sindrom Down
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sindrom Down terjadi karena kelainan kromosom. Kelainan ini terjadi karena pembelahan sel yang abnormal atau biasa disebut dengan non-disjunction. Hal ini akan menghasilkan embrio dengan tiga copy kromosom.
Hingga saat ini, penyebab utama terjadinya non-disjunction belum diketahui. Namun, karena sindrom Down terjadi sejak dalam kandungan, maka salah satu faktor yang meningkatkan risiko bayi lahir dengan sindrom ini adalah usia ibu hamil (Centers for Disease Control and Prevention, 2016).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harap dan Salimar (2015) di Indonesia, umur ibu ketika hamil merupakan faktor yang lebih meningkatkan risiko melahirkan anak dengan sindrom Down dibandingkan urutan kelahiran. Ibu yang melahirkan anak di atas usia 35 tahun berisiko melahirkan anak dengan sindrom Down 4,8 kali lebih besar dibandingkan yang berusia di bawah 35 tahun (sig: 0,034).
Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Inteligensi Anak Sindrom Down
Harap dan Salimar (2015) pada penelitiannya memperlihatkan bahwa anak laki-laki lebih banyak menderita sindrom Down dibandingkan anak perempuan. Prevalensi anak laki-laki di Indonesia yang menderita sindrom Down adalah 0,08 persen. Sedangkan, prevalensi anak perempuan berusia 24-59 bulan sebesar 0,06 persen.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kawanto, Soedjatmiko dan Hendarto (2012), ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi tingkat inteligensi seorang anak dengan sindrom Down di Indonesia. Anak sindrom Down yang kelebihan berat badan memiliki risiko penurunan tingkat inteligensi sebesar 85,5 kali lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki berat badan ideal maupun kekurangan berat. Dengan rentannya anak sindrom Down terserang penyakit, kelebihan berat badan juga akan meningkatkan faktor risiko untuk penyakit kronik seperti tekanan darah tinggi.
Selain itu, anak yang berasal dari keluarga kurang mampu akan memiliki risiko 37,8 kali lebih besar atas penurunan tingkat inteligensi daripada yang hidup di atas garis kemiskinan. Sedangkan, anak yang tidak rajin mengikuti kelas stimulasi berisiko lebih tinggi (77 kali) mengalami penurunan tingkat inteligensi dibandingkan yang rajin mengikuti kelas. Hal ini menunjukkan bahwa stimulasi otak merupakan kunci meningkatkan perkembangan anak yang mengalami sindrom Down.
Sindrom Down dapat dideteksi melalui pemeriksaan dan pengujian antenatal. Pemeriksaan antenatal digunakan untuk melihat hal tidak normal yang berkembang selama masa kehamilan. Jika dalam pemeriksaan ini dinyatakan kemungkinan cukup tinggi janin terkena sindrom Down, maka dilakukan tes diagnosis. Karenanya, pemeriksaan kesehatan rutin pada ibu hamil wajib dilakukan untuk mengurangi risiko anak lahir dengan sindrom Down.
Anak dengan sindrom Down pun pada dasarnya tetap memiliki potensi sama dengan anak-anak pada umumnya. Selain memberikan pelatihan untuk menstimulus perkembangan otak maupun fisiknya, penderita sindrom Down juga memerlukan perhatian dari lingkungan sosialnya. Berteman dan berinteraksi dengan mereka dapat meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga akan mendorong mereka untuk mandiri.
Penulis: Dinda Purnamasari
Editor: Suhendra