tirto.id - Tingkat kepercayaan publik terhadap DPR RI periode 2019-2024 termasuk yang paling rendah di antara institusi negara lain. Survei Indikator Politik Indonesia pada November 2021 menemukan angkanya hanya 61,1%, urutan kedua paling bawah setelah partai politik.
Dua institusi itu juga termasuk yang paling tidak dipercaya rakyat setahun sebelumnya. DPR ada di peringkat ketiga dari bawah dengan angka 58,1% dan partai politik 50,3%. Kendati keduanya mengalami peningkatan, tetap tidak signifikan bila dibandingkan dengan lembaga lain seperti DPD atau Polri.
Survei Charta Politika serupa. Mereka menemukan hanya 58,6% responden yang percaya kepada DPR, alias lagi-lagi kedua terbawah.
Puan Maharani, perempuan pertama yang jadi Ketua DPR, sempat mengingatkan pemerintah untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Namun Presiden Joko Widodo ternyata tidak butuh-butuh amat untuk waspada sebab menurut Indikator tingkat kepercayaan terhadapnya sebesar 94,3%.
Hasil survei ini sebetulnya tak mengherankan jika melihat apa yang dilakukan DPR RI sejak pertama bekerja. Pada tahun pertama mereka tetap melanjutkan pembahasan berbagai produk legislasi yang ditentang publik seperti RUU KUHP dan RUU KPK (yang akhirnya disahkan pada September 2019). Tahun berikutnya, ketika merebak pandemi, demonstrasi soal UU Cipta Kerja omnibuslaw muncul tapi DPR tetap mengesahkan peraturan tersebut.
Minim Capaian
Pada awal 2020 DPR menetapkan 248 RUU masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang ditetapkan DPR periode sebelumnya, 189 RUU.
Menurut Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), target tersebut terlalu ambisius. Mereka berkaca dari kinerja DPR periode sebelumnya yang bahkan hanya mampu mengesahkan 91 peraturan alias tak lebih dari setengahnya. Puan memang menganggap perlu ada pengkajian ulang tentang mana saja RUU yang perlu diselesaikan karena banyaknya carry over dari DPR periode sebelumnya.
Tahun lalu ada 37 Prolegnas Prioritas yang ditetapkan DPR. Hasilnya 13 RUU disahkan dan sisanya tidak rampung. Badan Legislasi DPR menilai hasil yang tak maksimal ini akan menjadi bahan evaluasi untuk 2021. Namun kenyataannya DPR tetap berjalan di tempat–atau malah lebih buruk. Mereka hanya menyelesaikan 8 dari 37 RUU yang ada di Prolegnas Prioritas 2021.
DPR 2019-2024 sebenarnya belum jadi yang terburuk jika indikator yang dipakai adalah perbandingan jumlah peraturan yang disahkan dengan DPR periode 2014-2019. Anggota DPR lima tahun lalu hanya bisa menyelesaikan 13 UU dari 91 Prolegnas Prioritas 2015 dan 2016, sementara DPR periode sekarang lebih banyak delapan buah.
Namun, selain perkara kuantitas, hal lain adalah soal kualitas. Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai DPR tidak peduli kepada publik sebab sedikit rancangan peraturan yang disahkan itu belum mengakomodasi apa yang benar-benar dibutuhkan. RUU yang mendesak disahkan malah masih terbengkalai, sebut saja UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan RUU Penanggulangan Bencana. Sementara yang dikritik publik justru dengan cepat disahkan, UU Cipta Kerja.
Cela DPR bertambah ketika UU Cipta Kerja akhirnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Proses pembuatan UU tersebut dianggap tidak melibatkan publik secara aktif.
Cara DPR merampungkan pekerjaan pada 2021, menurut Formappi, “juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja.” “Yakni kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elite,” kata Lucius dalam keterangan tertulis, Selasa (28/12/2012) lalu.
DPR periode sekarang juga dinilai tidak simpati pada rakyat yang tengah disiksa pandemi. Ketika kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya di medio 2021, misalnya, ada anggota yang malah meminta fasilitas kesehatan khusus. “Bagaimana bisa anggota DPR yang merupakan wakil rakyat itu masih sempat-sempatnya memikirkan fasilitas khusus untuk mereka di tengah kondisi darurat pandemi yang berdampak secara langsung pada perekonomian dan juga kesejahteraan warga?” kata Lucius.
Kritik Hilang
Fungsi legislatif tak hanya memproduksi peraturan, tapi juga pengawasan. Poin ini juga bermasalah. Puan meyakinkan publik bahwa DPR tidak akan menjadi “tukang stempel” pemerintah. Namun Formappi menilai itulah yang terjadi.
Setelah Pemilu 2019 usai, koalisi pendukung pemerintah menguasai 60,69% kursi di parlemen. Pada Agustus 2021, angka ini bertambah menjadi 67,53% setelah PAN menyatakan sikap secara terbuka merapat ke pemerintah.
Menurut Formappi, fungsi pengawasan DPR tidak berjalan karena oposisi yang lemah. Salah satu buktinya adalah pengesahan UU Cipta Kerja. Salah satu partai penentang peraturan itu (atau setidaknya sekadar ingin pasal-pasal diperbaiki) adalah Partai Demokrat. Apa yang mereka lakukan tidak berguna karena kalah suara.
Produk hukum itu juga mendapat kritik dari masyarakat dan DPR tentu saja tahu itu. Tapi mereka tetap mengesahkan aturan tersebut.
Penilaian Formappi ini sama seperti PSHK setahun sebelumnya. Dalam laporan 2020, PSHK menganggap DPR kehilangan peran check and balances. “Apabila di masa lampau penunggangan pemerintahan lazim dilakukan melalui kudeta, beberapa waktu belakangan, proses penunggangan dilakukan menggunakan institusi-institusi demokrasi dari aktor-aktor demokrasi itu sendiri,” catat PSHK.
Pengawasan DPR juga cenderung sia-sia dalam konteks penanganan pandemi. Rebecca Gordon dan Nic Cheeseman dalam artikel berjudulLegislative Leadership in the Time of Covid-19 (2020) menyebut sebabnya adalah pemerintah mengeluarkan perppu yang memungkinkan mereka mengambil kebijakan tanpa harus berkonsultasi dengan DPR. Hanya PKS yang menentang peraturan tersebut.
Memang, alokasi dana masih bisa diawasi. Tapi, kata Gordon dan Cheeseman, “dilaporkan bahwa hanya terjadi sedikit debat atau diskusi soal perubahan anggaran.”
“Legislator punya peran mencegah pemerintah mengadopsi kebijakan kontraproduktif dan mendorong pemerintah melakukan respons yang cepat. Tapi ini hanya bisa terjadi jika negara punya legislator yang mau bekerja dan memang punya fungsi pengawasan yang kuat, yang tidak terjadi di sebagian kecil negara,” catat Cheeseman dan Gordon.
Jika tren seperti ini terus berlanjut, apa yang mungkin bisa diharapkan dari DPR pada tahun-tahun ke depan?
Editor: Rio Apinino