tirto.id - Enam bulan menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, persaingan calon presiden (capres) juga kian bergejolak. Di bulan Agustus 2023 saja, ada setidaknya dua kejadian besar yang kemungkinan memberi dampak bagi pemilihan presiden pada 14 Februari 2024 mendatang.
Pertama, dari deklarasi dukungan dua partai parlemen, Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto. Dukungan ini memperkuat basis koalisi pendukung Menteri Pertahanan Republik Indonesia ini.
Berkaca dari kondisi parlemen saat ini, dukungan PAN dan Golkar membuat partai pendukung Prabowo (ditambah Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB) menguasai 265 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau sekitar 46 persen total kursi.
Sementara itu Koalisi Perubahan untuk Persatuan, yang berisikan Partai Demokrat, Nasional Demokrat (Nasdem), serta Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang mendukung Anies Baswedan, menguasai 163 kursi DPR (28,35 persen).
Hanya ada dua partai pendukung Ganjar Pranowo yang punya kursi di DPR, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan total kursi di parlemen sebanyak 147 (25,56 persen).
Kejadian kedua yang mungkin memengaruhi pemilihan capres yang terjadi pada Agustus 2023 adalah "menyeberang"-nya Budiman Sudjatmiko untuk mendukung Prabowo Subianto. Budiman, salah seorang aktivis reformasi '98, diketahui adalah kader PDIP yang setia tergabung sejak tahun 2004, dan pada periode 2009-2014 serta 2014-2019 menjadi anggota DPR RI dari partai berlambang banteng moncong putih tersebut. Pilihannya untuk tidak tegak lurus terhadap arahan pilihan capres partai membuatnya kemudian dipecat dari PDIP.
Kondisi ini menjadi indikasi kondisi di sejumlah partai politik yang dukungannya terpecah di internal. Jika di dalam tubuh partai saja terpecah, bagaimana dengan publik? Kemungkinan pendukung partai untuk memilih capres yang tidak sejalan dengan koalisinya menjadi mungkin terjadi.
Fenomena dukungan publik terhadap capres yang tidak sejalan dengan partai pilihannya ini dikenal dengan istilah split-ticket voting. Sebaliknya, jika pemilih mendukung partai politik yang sejalan dengan capres pilihannya disebut dengan straight-ticket voting.
"Fenomena seperti ini (split-ticket voting), sebenarnya umum terjadi. Misalnya di negara-negara yang relatif tradisi kepartaiannya mapan seperti Amerika itu saja terjadi," terang Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia (Indikator) Hendro Prasetyo, pada Jumat (18/8/2023).
"Di Amerika sering terjadi mereka yang memilih senat dari partai A tapi kandidat presidennya dari partai B," tambahnya memberi contoh saat memaparkan rilis survei nasional bertajuk "Split-ticket Voting dan Tren Elektabilitas Bakal Capres dan Partai Politik Jelang Pemilu 2024" yang disiarkan di kanal YouTube Indikator.
Kondisi ini juga yang kemudian terlihat terjadi di Indonesia, setidaknya berdasar hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga.
Survei Indikator
Hasil survei dari lembaga Indikator menunjukkan fenomena split-ticket voting masih banyak ditemukan dari koalisi partai yang ada saat ini. Fenomena ini setidaknya ditemukan di Partai Demokrat, PPP, PKB, dan Golkar.
Dengan asumsi angka 50 persen dijadikan ukuran untuk memilah antara straight-ticket voting dan split-ticket voting, terlihat kalau dukungan pemilih Partai Demokrat ke Anies Baswedan baru sebesar 44,9 persen. Terdapat 32 persen pemilih Demokrat yang memilih Ganjar Pranowo, dan 22 persen yang memilih Prabowo Subianto.
Sementara di PPP, perolehan perpecahan suaranya lebih merata lagi. Sebagai pendukung Ganjar, hanya ada 34,6 persen pemilih PPP yang condong ke Guberur Jawa Tengah itu. Sekitar 30 persen memilih Prabowo dan 20,8 persen mendukung Anies Baswedan.
Di PKB, yang menjadi partai koalisi Prabowo, dukungan justru lebih banyak ke Ganjar (40,3 persen) sementara dukungan ke Prabowo di bawahnya (30,5 persen), diikuti Anies (25 persen).
Sementara Golkar dan PAN, dua partai yang baru tergabung koalisi dengan Prabowo, dukungan untuk Mantan Danjen Kopassus itu sama di kedua partai tersebut, sekitar 36 persen. Tetapi di pemilih Golkar dukungan untuk Anies masih mencapai 30,8 persen, sementara untuk Ganjar 28,6 persen. Sedangkan pemilih PAN, besaran dukungan ke Ganjar sebesar 33,3 persen sementara ke Anies 29,9 persen.
Namun, perlu diingat survei yang dilakukan Indikator ini dilakukan pada 15-21 Juli 2023, sebelum deklarasi PAN dan Golkar untuk Prabowo. Ada indikasi basis pemilih dari dua partai tersebut belum terkonsolidasi kepada capres yang baru saja diusulkan oleh partai.
Di sisi lain, survei Indikator juga menemukan fenomena straight-ticket voting yang kuat di partai-partai pengusung utama para bakal capres, yakni Gerindra, PDIP, PKS, dan Nasdem.
Gerindra menjadi yang paling solid, dengan proporsi pemilihnya yang tegak lurus juga mendukung Prabowo, mencapai 76,7 persen.
Sedangkan di PDIP, meski ditinggal salah satu kader kuatnya, Budiman Sudjatmiko, tampaknya itu hanya menjadi kasus terpisah. Survei mencatat 69,5 persen pemilih PDIP cenderung juga memilih kader capres pilihan partai, yakni Ganjar Pranowo.
Di Koalisi Perubahan, selain Demokrat, Nasdem dan PKS punya pemilih partai yang sejalan dengan pilihan partai untuk mendukung Anies sebagai capres. Di antara pemilih Nasdem, proporsi pemilih Anies mencapai 62,9 persen sementara di PKS 68,6 persen.
Secara kolektif, Indikator merangkum, koalisi partai yang mendukung Anies punya persentase 57,4 persen untuk memilih mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Sementara di koalisi partai pendukung Ganjar, terakumulasi 66,2 persen yang kemudian memilihnya sebagai capres. Sementara di koalisi partai pendukung Prabowo, persentase pendukung partai yang memilihnya ada 49,1 persen secara akumulasi dari empat partai.
Adapun survei yang dilakukan Indikator melibatkan 1.811 responden yang tersebar di seluruh provinisi di Indonesia dengan metode wawancara tatap muka.
Survei Libang Kompas
Survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 27 Juli-7 Agustus 2023 menunjukkan fenomena yang serupa. Hanya Gerindra, PDIP, Nasdem, dan PKS yang pemilihnya punya pilihan sejalan dengan partai.
Hasil survei terhadap 1,364 responden tersebut menunjukkan di pemilih partai lain cenderung terjadi split-ticket voting. Gerindra masih menjadi basis terkuat dan yang paling tegak lurus dalam memilih capres, dengan 62,3 persen dukungan pemilih partai akan terlimpah pada Prabowo. Hanya 3,8 persen dan 5,4 persen pemilih yang mendukung Anies dan Ganjar.
Di kubu PDIP, 62,2 persen pemilih partai sejalan dengan partai dalam mendukung Ganjar, menurut temuan Litbang Kompas. Hanya 1,5 persen yang mendukung Anies dan 9,6 persen ke Prabowo.
Di Nasdem dan PKS, fenomena yang serupa juga ditemukan dengan angka yang cenderung serupa, sekitar 50 persen pemilih kedua partai tersebut akan memilih Anies Baswedan, hanya sekitar 6 persen yang mendukung Ganjar dan sekitar 14 persen yang mengalihkan dukungan ke Prabowo.
Sementara split-ticket voting yang terjadi di Partai Demokrat masih lebih besar kepada Anies (24,7 persen) dibanding ke Prabowo (20 persen) dan Ganjar (14,7 persen). Tidak ada suara yang benar-benar dominan.Sama halnya dengan Golkar, yang mengusung Prabowo, tetapi masih cukup besar suara pemilihnya yang ke Anies (12,2 persen) dan Ganjar (11,2 persen), meski masih menempatkan Prabowo sebagai calon yang paling banyak dipilih pendukung partai (27,6 persen).
Di antara pemilh PAN, dukungan pada Ganjar (21,3 persen), lebih tinggi ketimbang Prabowo (19,1 persen). Anies juga masih mendapat 14,9 persen dukungan dari pemilih PAN. Fenomena pemilih PKB yang meski besar mendukung Prabowo (34,6 persen), masih cukup besar juga (25 persen) yang mendukung Ganjar.
Sedangkan di antara pendukung PPP, Anies malah sangat dominan dengan 42,9 persen. Ganjar yang diusung partai, malah hanya mendapat 19 persen dukungan. Di bawahnya, masih ada Prabowo dengan 9,5 persen.
Tentu perlu diingat, sama dengan survei Indikator, survei Litbang Kompas dilakukan sebelum deklarasi dukungan PAN dan Golkar untuk Prabowo. Sehingga besar kemungkinan pemilih kedua partai tersebut juga belum terkonsolidasi. Indikasi ini terlihat dari masih besarnya pemilih dari pendukung kedua partai tersebut yang memilih tidak tahu (Golkar 37,8 persen dan PAN 36,2 persen)
Survei LSI Denny JA
Tidak mau ketinggalan, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA juga mengumumkan hasil survei mereka terkait basis dukungan partai politik terhadap capres, Rabu (30/8/2023).
Survei ini dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden pada 1-8 Agustus 2023.
Temuannya juga masih senada dengan temuan survei Indikator dan Litbang Kompas. Straight-ticket voting ditemukan di empat partai; Gerindra, PDIP, Nasdem, dan PKS.
Sama juga dengan temuan survei lain, pemilih Gerindra yang kemudian memilih Prabowo memegang persentase terbesar, mencapai 86,4 persen, dibanding yang memilih capres lain.
Sementara pendukung PDIP yang sejalan dengan partai, mendukung Ganjar, mencapai 70,1 persen.
Di Koalisi Perubahan, pemilih Nasdem yang mendukung Anies mencapai 52,4 persen. Sementara pemilih PKS pendukung Anies mencapai 66 persen.
Menariknya di survei LSI Denny JA, terlihat kalau straight-ticket voting ditemukan juga di Golkar dengan pemilih sejalan mencapai 65,6 persen. Meski begitu, masih ada sebagian pemilih Golkar yang mendukung Ganjar, sebesar 22,7 persen, dan Anies sebesar 10,2 persen.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty