tirto.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan Harvey Moeis dan Helena Lim sebagai tersangka kasus korupsi tata niaga timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. Keduanya saat ini ditahan dalam rangka proses penyidikan.
Kejagung menetapkan Harvey dan Helena sebagai tersangka usai mendapat cukup bukti bahwa keduanya terlibat kasus korupsi periode 2015-2022 itu. Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Kuntadi juga telah mengetahui peran Harvey Moeis dan Helena Lim di kasus korupsi tersebut.
“Tim penyidik memandang telah cukup alat bukti sehingga kami tingkatkan statusnya sebagai tersangka, yaitu saudara HM selaku perpanjangan tangan dari PT RBT,” ujar Kuntadi dikutip dari Antara, Rabu (27/3/2024).
Harvey Moeis ditetapkan sebagai tersangka korupsi IUP PT Timah Tbk., pada Rabu (27/3/2024). Suami artis Sandra Dewi itu langsung ditahan pada hari yang sama oleh Jampidsus Kejagung.
Sehari sebelumnya, pada Selasa (26/3/2024) Kejagung menetapkan Helena Lim "Crazy Rich PIK" sebagai tersangka. Penetapan Helena sebagai tersangka menyusul proses penggeledahan rumahnya yang ada di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK).
Kuntadi menjelaskan bahwa tersangka Helena Lim terlibat dalam mengelola hasil tindak pidana kerja sama sewa peralatan di wilayah IUP PT Timah Tbk. Lantas, bagaimana peran Harvey Moeis dan Helena Lim dalam kasus korupsi IUP PT Timah Tbk?
Peran Harvey Moeis dan Helena Lim di Kasus Korupsi Timah
Harvey Moeis dan Helena Lim sama-sama merupakan tersangka dalam kasus korupsi IUP PT Timah Tbk. Menurut Kejagung, keduanya memiliki peran yang berbeda dalam tindak korupsi tersebut.
Menurut Kuntadi peran Harvey Moeis dalam kasus PT Timah adalah sebagai perpanjangan tangan PT RBT dan mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah. Hal ini terjadi sekitar tahun 2018 hingga 2019.
Kuntadi menjelaskan bahwa Harvey Moeis menghubungi Direktur Utama PT Timah MPRT alias RZ untuk memfasilitasi kegiatan tambang liar. Ia juga terbukti melakukan pertemuan dengan RZ untuk membahas kegiatan tersebut.
“Sekitar tahun 2018 sampai dengan 2019, saudara HM menghubungi Direktur Utama PT Timah, yaitu saudara MRPT alias RZ dalam rangka mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah,” jelas Kuntadi.
Setelah beberapa kali melakukan pertemuan dengan RZ, disepakati bahwa Harvey Moeis menangani kegiatan pertambangan timah ilegal. Kegiatan itu disamarkan dengan dalih bisnis menyewa peralatan peleburan timah.
Selanjutnya, Harvey yang merupakan wakil dari PT RBT menghubungi beberapa smelter yang berperan dalam kegiatan ilegal tersebut. Smelter yang dihubunginya termasuk PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT Tim.
Tersangka lainnya, yaitu Helena Lim berperan dalam mengelola uang haram hasil korupsi dan pertambangan ilegal. Ia juga terlibat dalam pembagian hasil keuntungan kepada tersangka yang terlibat.
"Tersangka HLN sekira tahun 2018 sampai dengan 2019, diduga kuat telah membantu mengelola hasil tindak pidana kerja sama sewa menyewa peralatan processing peleburan timah di wilayah IUP PT Timah Tbk," ungkap Kuntadi.
Helena mengelola uang tersebut dengan memberikan sarana dan fasilitas kepada pemilik smelter. Dana yang disalurkan oleh Helena kepada sejumlah smelter disamarkan sebagai penyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Kasus korupsi IUP Timah yang mencatut Helena Lim dan Harvey Moeis memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Menurut pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) aktivitas tambang ilegal PT Timah ini menyebabkan kerugian negara hingga ratusan triliun.
Menurutnya kerugian ekologis di hutan akibat kasus tersebut diperkirakan mencapai Rp157,8 triliun. Selain itu, kerugian ekonomi lingkungan juga mencapai angka yang cukup besar, yakni sekitar Rp60,2 triliun. Biaya untuk memulihkan semua lahan yang terkena dampak mencapai Rp5,2 miliar.
Bambang juga menyatakan bahwa secara keseluruhan, total kerugian akibat kerusakan lingkungan diperkirakan mencapai Rp223,3 triliun. Perlu diketahui
Saat ini Kejagung masih menunggu perhitungan kerugian negara dan perekonomian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Diperkirakan, jumlah kerugian total akan melebihi angka tersebut.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Yonada Nancy & Iswara N Raditya