tirto.id - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali menginspeksi penyediaan saluran instalasi air limbah (IPAL) dan penggunaan sumur air tanah di gedung-gedung di DKI Jakarta. Inspeksi dilakukan di kawasan industri JIEP Pulogadung dan Daan Mogot selama sembilan hari kerja mulai 9-20 Juli 2018.
Inspeksi yang dilakukan oleh Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang DKI Jakarta bersama wali kota dan SKPD sebagai pelaksana lapangan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat membuka apel inspeksi pada Senin awal pekan ini, ada 40 gedung di JIEP Pulogadung dan 40 gedung di kawasan Daan Mogot yang akan diinspeksi. Setelah inspeksi, Pemprov DKI akan menindaklanjuti temuan di lapangan.
Anies menegaskan target utama inspeksi tak langsung memberi sanksi terhadap pengelola gedung yang kedapatan melanggar, melainkan sebagai pembinaan dan koreksi agar pengelola gedung menjalankan pengelolaan limbah dan sumur air tanah sesuai aturan main.
“Yang dibutuhkan justru perubahan perilaku. Nanti kami lakukan tindak lanjut dan saya sampaikan ke semua, aturan ditegakkan, pelanggaran ditindak, tapi yang paling penting ada perubahan,” kata Anies.
Sikap Anies tak berubah persis saat ia menyikapi hasil inspeksi penggunaan air tanah di gedung-gedung kawasan Sudirman-Thamrin pada Maret 2018. Saat itu, Hotel Sari Pan Pacific tidak memiliki sumur resapan dan Surat Izin Pengambilan Air (SIPA) telah kedaluwarsa pada 2013.
Sikap Anies dari temuan inspeksi Maret lalu ini belum memberikan sanksi maksimal kepada pengelola hotel, padahal secara regulasi, pelanggaran tersebut dapat diberikan sanksi administratiif, denda, hingga pidana.
Sanksi administratif merujuk pada Pergub Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Sumur Resapan. Dalam kasus Hotel Sari Pan Pacific telah terjadi pelanggaran Pasal 3 ayat (1) dan (2). Ayat 1 berbunyi, “kewajiban pembuatan sumur resapan bagi perorangan dan badan hukum ditujukan pada: a) setiap pemilik bangunan dan bangunan yang menutup permukaan tanah dan; b) setiap pemohon dari pengguna air tanah.”
Sementara, ayat 2 berbunyi, “Selain kewajiban pembuatan sumur resapan juga diwajibkan membangun di atas lahan lima ribu meter persegi atau lebih diwajibkan menyiapkan satu persen dari lahan yang akan digunakan untuk bangunan kolam resapan di luar perhitungan sumur resapan.”
Sanksi atas hal ini, sesuai pasal 17 ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut, sebagaimana dijelaskan di ayat (2), adalah peringatan tertulis, pembekuan izin, dan pencabutan izin. Ayat (3) pasal yang sama menyatakan, pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara terkait denda mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pedoman Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam dua peraturan itu tertulis pelanggaran seperti yang dilakukan Hotel Sari Pan Pacific bisa dikenai denda sebesar Rp 3 miliar.
Direktur Amarta Institute Nila Ardiane merespons sikap Anies yang tak menerbitkan sanksi maksimal kepada pengelola. Ia menilai langkah itu sebagai upaya awal sudah tepat. Ia beralasan pengawasan dan langkah persuasif penting dilakukan untuk memecahkan persoalan krisis air tanah di DKI Jakarta. Namun, perlu ada langkah berikutnya selain tindakan persuasif.
Ia menekankan “yang penting diketahui semua pihak adalah langkah-langkah yang juga sudah disiapkan gubernur setelah ini.”
Apa langkah Pemprov DKI Jakarta usai aksi-aksi inspeksi?
Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang DKI Jakarta Benni Agus menyampaikan langkah Pemprov DKI Jakarta ke depan tak berbeda seperti yang disampaikan Anies, yakni pembenahan perilaku sekaligus pemberian sanksi kepada pelanggar.
“Ada sanksi. Dua-duanya berjalan bersama sanksi dan pembenahan,” kata Benni kepada Tirto, Selasa (10/7/2018).
Benni menjelaskan penerapan sanksi sesuai tahapan pada Pasal 17 Pergub No 20 tahun 2013 tentang Sumur Tanah. Tahap pertama dimulai dengan memberikan dua kali surat peringatan. Surat peringatan pertama disertai rekomendasi pembuatan rencana kerja perbaikan pengelolaan kepada pelanggar. Jika tidak dijalankan, terbit surat peringatan kedua.
“Kalau enggak ada progres ya kami tutup, kami cabut izinnya,” kata Benni.
Saat ini, kata Benni, terdapat lima gedung yang terancam surat peringatan kedua dari hasil inspeksi tahap pertama, yakni Wisma Kosgoro, Da Vinci, Sinarmas, Plaza Sentral, dan Sampoerna. Jika dalam waktu dekat mereka tidak berbenah, maka akan dicabut Surat Izin Pemanfaatan Air Tanah (SIPA).
“Kalau dulu istilahnya disegel. Dinyatakan rekomendasi bahwa perizinan dibekukan,” kata Benni.
Benny menambahkan pihaknya akan mengetatkan pengawasan berkala dan pendampingan terhadap pengelola gedung di Jakarta agar mematuhi prinsip hukum pengelolaan air tanah dan limbah.
“Kami telah meminta komitmen dari para pengelola melaporkan progres rencana kerja [pengelolaan air] mereka secara berkala,” ucap Benni.
Benni menyatakan, dalam inspeksi tahap pertama terdapat 69 dari 80 pengelola gedung yang sudah memenuhi panggilan Pemprov DKI Jakarta dan berkomitmen membuat rencana kerja pengelolaan air tanah.
Dari 69, terdapat empat pengelola gedung yang sudah secara tegas berkomitmen membenahi penyediaan dan pengelolaan air tanah, serta pengelolaan limbah, yakni Hotel Mandarin Oriental, Hotel Le Meridien, Menara Astra, dan The Sultan Residence. Keempatnya pun telah perbaikan di bawah pengawasan Pemprov DKI Jakarta.
Langkah serupa juga akan diterapkan sebagai tindak lanjut untuk inspeksi tahap dua di kawasan JIEP Pulogadung dan Daan Mogot. Namun, saat ini ia mengaku belum mengetahui progres sementara inspeksi tersebut.
“Nanti Jumat saya baru mengumpulkan teman-teman di lapangan. Setelah itu baru kami akan kasih tahu hasilnya. Garis besarnya gitu lah pokoknya tindakannya,” kata Benni.
Harus Beralih ke Air PAM
Rencana lanjutan Pemprov DKI Jakarta usai aksi inspeksi dianggap tak cukup oleh Anggota Komisi D DPRD DKI dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Bestari Barus. Menurutnya, yang paling penting dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah menghentikan penggunaan air tanah untuk industri dan hal lainnya.
“Dampaknya kan jelas itu permukaan tanah terus turun. Dampaknya buruk,” kata Bestari kepada Tirto.
Bestari menyebut Pemprov DKI seharusnya memerintahkan semua pelaku bisnis dan pengelola gedung menggunakan air PAM Jaya yang berbayar. Penggunaan air PAM ini bisa menguntungkan Pemprov DKI secara finansial dan membuat pengelolaan air ke arah yang lebih maju.
Saat ini, kata Bestari, penggunaan air PAM Jaya masih minim. Menurutnya, sampai 2015 pemakaian air tanah masih sebesar 63-65 persen atau hanya lebih kurang 35 persen yang memakai air PAM.
Kondisi tersebut dianggap Bestari sangat mengkhawatirkan bagi kondisi permukaan tanah Jakarta, lantaran semakin banyak air tanah yang digunakan, peluang terjadinya bencana semakin tinggi.
“Itu kan wilayah bisnis kelas tinggi. Berarti punya kemampuan untuk mengadakan air yang bukan dari bawah tanah. Harusnya dibuat kebijakan [di kawasan] Sudirman-Thamrin enggak boleh lagi pakai air bawah tanah. Semua pakai PAM. Supaya kelestarian di bawah tanah terjaga,” kata Bestari.
Secara regulasi, Pemprov DKI Jakarta memang sudah mengenakan pajak air tanah bagi mereka yang memanfaatkan air tanah, selain sebagai sumber pendapatan daerah juga untuk mengerem laju penggunaan air tanah. Namun, pajak air tanah ini masih jadi persoalan ihwal efektivitasnya.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih