tirto.id - “Di sini terlihat banyak sekali ketentuan-ketentuan bahkan ketentuan perundangan yang tidak ditaati.”
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melontarkan ucapan itu usai sidak penggunaan air tanah dan pengelolaan air limbah di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Senin (12/3/2018).
Anies menemukan sejumlah pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pengelola Hotel Sari Pan Pacific, antara lain: tidak ada sumur resapan, instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) yang tidak sesuai, serta Surat Izin Pengambilan Air Tanah (SIPA) yang telah berakhir pada 2013.
Direktur Amrta Institute, Nila Ardiani mengapresiasi tindakan Anies yang melakukan inspeksi pemakaian air tanah di bangunan-bangunan bertingkat di Jakarta. Namun, tindakan Anies harus dilanjutkan dengan pengusutan modus pencurian air tanah yang selama ini berlangsung di DKI Jakarta.
Nila mengatakan pemakaian air tanah di sejumlah gedung di ibu kota sangat sulit dideteksi lantaran berada di tempat yang tertutup atau bahkan tersembunyi.
“Kami berharap tim yang menginspeksi itu dilengkapi dengan peralatan-peralatan yang memadai, sehingga modus pencurian ini bisa terungkap,” kata Nila kepada Tirto, Selasa (13/3/2018).
Menurut Nila, setidaknya ada enam modus pencurian air yang dipraktikkan para pengelola gedung di Jakarta. Pertama, menyedot air tanpa mengajukan Surat Izin Pengembalian Air (SIPA). Kedua, mengambil air melebihi izin yang diberikan. Ketiga, tetap menggunakan air saat izin berlaku telah habis. Keempat, memanipulasi dan memodifikasi meter air. Kelima, bekerja sama dengan petugas pencatat angka. Keenam, membuat pipa tambahan yang tidak terkena meter air.
Nila meminta agar Pemprov DKI meningkatkan layanan air perpipaan, serta meminta pengelola gedung membangun infrastruktur sanitasi-drainase agar pemakaian air tanah dapat dikendalikan sampai tingkat aman.
Alasannya, jika pengambilan air tanah dilakukan terus-menerus dan berlebihan akan menyebabkan berkurangnya pasokan air bersih, penurunan tanah, kerusakan infrastruktur dan banjir. Berdasarkan data Amrta Institute persentase penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air di Jakarta relatif tidak berkurang selama 15 tahun.
Dari periode 2000 hingga 2015, sebanyak 63-65 persen dari total kebutuhan air di Jakarta masih disuplai dari bawah tanah. Angka tersebut didapat dari total air PAM yang dijual ke masyarakat (M3) dikurangi total kebutuhan air di Jakarta.
“Nah itu ketemu sekitar 33 sampai 35 persen [air PAM yang dijual]. Sisanya bisa dipastikan itu pakai air tanah. Karena di Jakarta itu kan air permukaan kayak air danau itu tidak bisa langsung dipakai. Jadi memang sisanya masih memakai air tanah,” kata Nila.
Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta, Santoso menganggap bahwa pengawasan Pemprov DKI atas penggunaan air tanah selama ini masih belum maksimal dan mengakibatkan pendapatan pajak sektor tersebut masih minim.
Tahun lalu, misalnya, target pajak dari air tanah hanya dipatok sebesar Rp100 miliar. Padahal, pajak tersebut ditarik untuk mengontrol pemakaian air tanah secara berlebihan oleh industri-industri besar di Jakarta. Ia bahkan menduga ada petugas pengawasan air tanah yang menerima suap sehingga melakukan memanipulasi meteran air tanah.
"Soalnya dulu kan dinas pajak hanya melihat. Tapi yang mencatat yang mengecek [mengawasi] ini dinas lain, lingkungan hidup. Kalau sekarang enggak tahu di dinas apa, energi perindustrian sepertinya,” katanys saat dihubungi, Senin (12/3/2018).
Anggota Fraksi Demokrat di DPRD DKI itu berharap inspeksi yang dilakukan Pemprov ke bangunan-bangunan gedung dapat mengerek pencatatan pajak dari sektor air tanah. Menurutnya, banyak gedung memakai air tanah ilegal bertahun-tahun tidak dikenakan denda dan pajak, melainkan hanya ditutup hanya karena alasan pengendalian lingkungan.
“Jadi daerah itu dianggap oleh dinas lingkungan hidup bahwa air tanahnya enggak boleh diambil lagi. Jadi baru dalam sisi pelestarian lingkungan. Bukannya mereka enggak bayar. Jadi ini [dianggap] akan merusakkan lingkungan makanya disetop,” katanya.
Direktur PAM Jaya, Erlan Hidayat menyampaikan, kebijakan Pemprov DKI untuk menginspeksi gedung-gedung bertingkat soal penggunaan air tanah telah dimulai dari proses sosialisasi agar pengguna gedung mengurangi pemakaian air tanah.
“Pemilik gedung kami undang, kami bilang ini kita tambahin air lho. Di Kuningan, Gatot Subroto, Sudirman, Thamrin, pakai ya air (PAM)-nya,” kata Erlan saat ditemui di Gedung Kementerian PUPR, Jakarta Selatan, Selasa (13/3/2018).
Erlan juga mengakui program pipanisasi air di Jakarta belum memenuhi seluruh kebutuhan air bersih untuk penduduk di wilayah DKI. Ia mengklaim bahwa persentase pipanisasi air di Jakarta sudah mencapai 60 persen. Jumlah ini berbeda dengan data yang disampaikan Amrta Institute.
"Memang enggak di semua daerah kita punya pipa yang ada airnya. Tetapi di daerah yang sudah ada pipa dan airnya, mbok ya jangan ambil terus dong (air tanah),” katanya.
Menurutnya, yang dilakukan Gubernur DKI Anies Baswedan dengan menginstruksikan tim untuk menginspeksi gedung-gedung tersebut. Tujuannya agar lokasi-lokasi yang sudah tersentuh pipanisasi menghentikan pemakaian air tanah.
“Lokasi-lokasi yang PAM JAYA sudah lakukan sosialisasi [pipanisasi] pada tahun 2016-2017,” kata Erlan.
Langkah Pemprov DKI
Dalam konteks ini, Pemprov DKI akan melakukan inspeksi rutin terkait pemakaian air tanah di gedung-gedung bertingkat di Jakarta yang dimulai sejak Senin kemarin. Hal ini sesuai dengan Keputusan Gubernur Nomor 279 tahun 2018 tentang Tim Pengawasan Terpadu Penyediaan Sumur Resapan dan Instalasi Pengolahan Air Limbah Serta Pemanfaatan Air Tanah di Bangunan Gedung dan Perumahan.
Kepala Seksi Pemanfaatan Air Tanah Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, Ikhwan Maulani mengatakan, gedung-gedung yang kedapatan memakai air tanah tanpa izin akan diminta untuk mengurus perizinan ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu dan Satu Pintu (PM-PTSP).
Untuk sementara, pemakaian air tanah gedung-gedung itu akan dikenakan harga taksiran yang harus disetorkan ke Pemprov. “Jadi selama itu kami akan lakukan taksasi atau penutupan sementara. Jadi pilihan dia aja mau tutup sementara silahkan, mau bayar juga silahkan,” kata Ikhwan, saat dihubungi, Senin (12/3/2018).
Ikhwan mengatakan, taksiran yang dipakai untuk menetapkan harga mengacu pada Pergub 38 tahun 2017. "Jadi perhitungan misalnya apartemen, pemakaiannya berapa kubik, kita hitung dengan langganan PAM-nya,” katanya.
Kepala Dinas PM-PTSP, Edi Junaedi mengatakan bahwa rentang waktu pengurusan izin pemanfaatan air bawah tanah sumur bor berkisar dua bulan lebih. Alasannya karena izin harus mendapat rekomendasi dari Kementerian ESDM.
Acuan yang dipakai dalam pemberian rekomendasi tersebut adalah Permen ESDM No. 02 Tahun 2017 Tentang Cekungan Air Tanah di Indonesia. Pada aturan ini disebutkan bahwa Cekungan Air Tanah (CAT) menjadi dasar pengelolaan air tanah di Indonesia dan menjadi acuan penetapan zona konservasi air tanah, pemakaian air tanah, pengusahaan air tanah, serta pengendalian daya rusak air tanah.
"Jadi itu di sana urusannya memang agak lama, ya. Makannya ini kami dorong mereka untuk urus dulu. Nanti sanksinya bagaimana nah itu belum tahu," ujarnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz