Menuju konten utama

DPRD: Pemprov DKI Belum Maksimal dalam Pengawasan Air Tanah

Belum maksimalnya pengawasan terhadap air tanah mempengaruhi pendapatan pajak DKI Jakarta.

DPRD: Pemprov DKI Belum Maksimal dalam Pengawasan Air Tanah
Gedung bertingkat di Jakarta yang menyebabkan penurunan permukaan air tanah. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta, Santoso, menganggap bahwa pengawasan Pemprov atas penggunaan air tanah masih belum maksimal dan mengakibatkan pendapatan pajak sektor tersebut masih minim.

Tahun lalu, misalnya, target pajaknya hanya dipatok sebesar Rp100 miliar. Padahal, pajak tersebut ditarik untuk mengontrol pemakaian air tanah secara berlebihan oleh industri-industri besar di Jakarta. Ia bahkan menduga ada petugas pengawasan air tanah yang menerima suap sehingga melakukan memanipulasi meteran air tanah.

"Soalnya dulu kan Dinas pajak hanya melihat. Tapi yang mencatat yang mengecek (mengawasi) ini dinas lain, lingkungan hidup. Kalau sekarang enggak tahu di dinas apa, energi perindustrian sepertinya," ungkapnya saat dihubungi, Senin (12/3/2018).

Oleh sebab itu, anggota fraksi Demokrat itu berharap inspeksi yang dilakukan Pemprov ke bangunan-bangunan gedung mulai hari ini dapat mengerek pencatatan pajak dari sektor air tanah.

Sebab, menurutnya, banyak gedung memakai air tanah ilegal bertahun-tahun tidak dikenakan denda dan pajak, melainkan hanya ditutup hanya karena alasan pengendalian lingkungan.

"Jadi daerah itu dianggap oleh dinas lingkungan hidup bahwa air tanahnya enggak boleh diambil lagi. Jadi baru dalam sisi pelestarian lingkungan. Bukannya mereka enggak bayar. Jadi ini [dianggap] akan merusakkan lingkungan makanya distop," tuturnya.

Pernyataan Santoso diafirmasi oleh Direktur Amrta Institute Nila Ardhiani. Ia berujar, fungsi pajak sebagai kontrol pemakaian air tanah di Jakarta memang belum dimaksimalkan. Dari data lembaganya, persentase penggunaan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air di Jakarta relatif tidak berkurang selama 15 tahun.

Dari tahun 2000 hingga 2015, sebanyak 63-65 persen dari total kebutuhan air di Jakarta masih disuplai dari bawah tanah. Angka tersebut didapat dari total air PAM yang dijual ke masyarakat (M3) dikurangi total kebutuhan air di Jakarta.

“Nah itu ketemu sekitar 33 sampai 35 persen [air PAM yang dijual]. Sisanya bisa dipastikan itu pakai air tanah. Karena di Jakarta itu kan air permukaan kayak air danau itu tidak bisa langsung dipakai. Jadi memang sisanya masih memakai air tanah,” papar Nila.

Beberapa alasan yang membuat industri tidak beralih ke PAM dan tetap memakai air tanah dari sumur-sumur ilegal. Menurut Nila, salah satunya lantaran pengelolaan air tanah belum menjadi prioritas pemerintah saat ini.

“Bagian yang mengurusi air tanah ini masih kurang peralatan, kurang teknologi. Jadi mereka masih perlu di-support kalau pemerintah memang memerlukan air tanah secara baik, database-nya bisa dikelola dengan baik, Badan yang mengurusi air tanah ini perlu diperbaiki kemudian jumlah pegawainya perlu ditingkatkan,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait AIR TANAH JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yantina Debora