Menuju konten utama

Apa Hasil Kongres Perempuan 3 dan Siapa Saja Tokohnya?

Hari Ibu ditetapkan pertama kali melalui gelaran Kongres Perempuan 3. Selain itu, apa saja hasil Kongres Perempuan III? Simak selengkapnya di bawah ini.

Apa Hasil Kongres Perempuan 3 dan Siapa Saja Tokohnya?
Nyonya Sujatin Kartowijono ceramah dalam Kongres Perempuan Indonesia (Kowani). (FOTO/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan)

tirto.id - Sejarah Hari Ibu yang diperingati setiap 22 Desember berkaitan erat dengan gelaran Kongres Perempuan Pertama Indonesia di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928. Namun, peringatan Hari Ibu baru ditetapkan satu dekade setelahnya, yakni dalam Kongres Perempuan Indonesia III.

Kongres Perempuan 3 dilaksanakan pada 23-27 Juli 1938 di Bandung. Kerapatan itu dipimpin oleh Emma Poeradiredja, Ketua Pasundan Istri Bandung.

Secara umum, asas dan tujuan Kongres Perempuan Indonesia III masih sama dengan Kongres Perempuan Indonesia II yang dilangsungkan pada 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Dua kerapatan besar tersebut menaruh perhatian besar pada nasib kaum pekerja perempuan dan anak-anak.

Setelah melalui perjalanan panjang pada Kongres Perempuan Indonesia Pertama, Kongres Perempuan Indonesia II, lantas apa saja hasil Kongres Perempuan III?

Hasil Kongres Perempuan Indonesia 3

Hasil Kongres Perempuan 3 tidak lepas dari penyelenggaraan Kongres Perempuan 1 dan 2. Kerapatan besar tersebut menaruh perhatian besar terhadap nasib perempuan pekerja dan anak-anak. Berikut beberapa hasil Kongres Perempuan 3:

1. Pembentukan KPI untuk menggantikan PPPI

Menurut catatan Winingsari Trimurti dalam artikel jurnal berjudul "Perkembangan Kongres Perempuan Indonesia Pertama Tahun 1928 di Yogyakarta" (2015), salah satu hasil Kongres Perempuan III adalah pembentukan Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Badan federasi organisasi wanita ini menggantikan peran Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang dibubarkan melalui Kongres Perempuan 2.

2. Penyampaian mosi kepada "All Islam Congress"

A. Fatikul Amin Abdullah, dalam buku Perempuan Indonesia: Pelopor Lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (2021) menyebutkan, hasil Kongres Perempuan III yang paling menonjol yakni diputuskannya mosi kepada “All Islam Congress”. Mosi tersebut berisi permohonan agar ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkaitan dengan pernikahan diartikan dengan penjelasan sesuai maksud perintah Tuhan dan kehendak Nabi yang suci dan adil.

Hal tersebut masih selaras dengan kongres perempuan sebelumnya yang menuntut persamaan hak dalam rumah tangga dan perkawinan. Pada dasarnya, kaum perempuan Indonesia masa itu meyakini bahwa adat istiadat yang berlaku di Indonesia tidak didasarkan pada agama, terutama tentang pernikahan.

Kaum perempuan pada masa itu berpendapat, jika adat dan aturan pernikahan Indonesia benar-benar berasal dari ajaran agama, tidak akan ada diskriminasi, penindasan, dan ketidakadilan. Mereka juga menyoroti pentingnya penafsiran yang akurat terhadap ayat-ayat Al-Qur'an. Tujuannya adalah agar tidak terjadi pemahaman yang keliru yang dapat berdampak pada kehidupan sosial masyarakat.

3. Mengubah KPKPAI menjadi BPPIP

Berkaitan dengan masalah pernikahan, hasil Kongres Perempuan III mengubah Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-Anak Indonesia (KPKPAI) menjadi Badan Perlindungan Perempuan Indonesia dalam Perkawinan (BPPIP). Berdasarkan keputusan hasil Kongres Perempuan III, badan tersebut bertugas melakukan perbaikan dalam peraturan perkawinan.

BPPIP terdiri dari sebuah studi komisi yang mempelajari kedudukan wanita dalam hukum barat, Islam, dan adat. Studi ini juga mencakup konsultasi biro yang memberikan nasihat kepada wanita tentang perceraian dan mengumpulkan informasi tentang kekurangan dalam praktik pernikahan.

Ada juga biro konsultasi yang bertujuan memberikan nasihat kepada kaum perempuan tentang perkawinan, perceraian, kedudukan anak-anak. Bahkan, jika perlu, mereka akan menyediakan konsultasi tentang masalah yang akan dibawa ke Raad Agama (Pengadilan Agama).

4. Gagasan menyusun undang-undang perkawinan untuk umat Islam

Masih berkaitan dengan masalah perkawinan, atas usulan Maria Ulfah Santoso, dalam kongres pun muncul gagasan menyusun Undang-Undang Perkawinan untuk umat Islam.

5. Pemberian hak untuk dipilih kepada kaum perempuan sebagai anggota dewan kota

Hasil Kongres Perempuan Indonesia III juga menyangkut pemberian hak untuk dipilih kepada kaum perempuan sebagai anggota dewan kota pada tahun 1938.

Hasilnya, empat perempuan terpilih sebagai anggota dewan kota di empat kota berbeda, yakni Emma Poeradiredja (Bandung), Sri Oemijati (Cirebon), Soenarja Mangoenpoespito (Semarang), dan Siti Soendari Soedirman (Surabaya). Hal itu menjadi penanda kemajuan politik kaum perempuan di Hindia Belanda yang mengusung semangat kesetaraan.

6. Penetapan Hari Ibu

Hasil Kongres Perempuan III yang berikutnya adalah penetapan Hari Ibu dengan pemilihan tanggal perayaan pada 22 Desember. Tokoh yang mengusulkan adalah Soetinah Soeparta.

Brigida Intan Printina, dalam buku Merawat Memori Memupuk Kebangsaan: Komitmen Pada Cita-Cita Kongres Perempuan Indonesia (2019), menjelaskan bahwa tanggal tersebut dipilih karena sesuai dengan penyelenggaraan hari pertama Kongres Perempuan Indonesia Pertama. Tujuannya agar masyarakat dapat mengingat dan memberi penghormatan terhadap perjuangan perempuan yang sejalan dengan semangat kesetaraan gender.

Dengan demikian, hasil dari Kongres Perempuan Indonesia 3 mencakup sejumlah keputusan dan tindakan yang berfokus pada peningkatan status, hak, dan perlindungan bagi perempuan Indonesia. Keputusan ini mencakup bidang hukum, agama, politik, dan perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan gender.

Tokoh Kongres Perempuan Indonesia 3

Dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (1978) terbitan Kongres Wanita Indonesia dijelaskan, tokoh Kongres Perempuan Indonesia 3 terdiri dari beberapa orang. Beberapa di antaranya merupakan anggota perkumpulan wanita.

Namun, sebenarnya, Kongres Perempuan Indonesia bersifat umum dan diselenggarakan secara bersama oleh organisasi wanita dari berbagai aliran dan daerah. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan anggapan bahwa KPI bersifat eksklusif dan mengutamakan satu golongan saja.

Dikutip dari buku Perempuan Indonesia: Pelopor Lahirnya Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 (2021), beberapa nama tokoh Kongres Perempuan Indonesia 3 yang namanya terdaftar antara lain:

  1. Emma Poeradiredja, Ketua Pasundan Istri Bandung
  2. Sri Oemijati (Cirebon)
  3. Soenarja Mangoenpoespito (Semarang)
  4. Siti Soendari Soedirman (Surabaya)
  5. Maria Ulfah Santoso
  6. Ny. Datuk Tumenggung (PIPB)
  7. Ny. S. Sumadi atau S. Arujikartawinata (PSII Wanita)
  8. Ny. Zahara Gunawan (Sarekat Istri Jakarta)
  9. Ny. M. Wiria Atmaja (PASI)
  10. Ny. Kasman (JIBDA)
  11. Soetinah Soeparta (Isteri Indonesia)

Baca juga artikel terkait HARI IBU atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Umi Zuhriyah
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin