Menuju konten utama

Keterkaitan Kongres Perempuan Pertama dan Kongres Sumpah Pemuda

Kongres Perempuan Pertama dan Kongres Sumpah Pemuda punya keterkaitan erat. Salah satunya berhubungan dengan perjuangan menuju Indonesia merdeka.

Keterkaitan Kongres Perempuan Pertama dan Kongres Sumpah Pemuda
Keterkaitan Kongres Perempuan Pertama dan Kongres Sumpah Pemuda. Presiden Sukarno bersama pejuang wanita ketika Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 Desember 1928. FOTO/Dok. Kowani

tirto.id - Kongres Sumpah Pemuda dan Kongres Perempuan Pertama tercatat sebagai peristiwa penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Keduanya menjadi penanda bahwa bangsa Indonesia, khususnya kalangan pemuda, menyadari pentingnya persatuan demi merebut kemerdekaan Indonesia.

Dua peristiwa bersejarah tersebut pun dikenang hingga saat ini. Tanggal dicetuskannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober, diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sementara itu, Kongres Perempuan Pertama dilaksanakan pada tanggal 22-25 Desember 1928. Hari pertama gelaran Kongres Perempuan Indonesia itu kemudian diluhurkan sebagai Hari Ibu.

Sama seperti Kongres Pemuda II, Kongres Perempuan juga menekankan pentingnya persatuan demi mencapai kemerdekaan. Secara spesifik, kalangan perempuan berupaya memperjuangkan hak-haknya serta meneruskan apa yang telah dicapai para pendahulu.

Kongres Perempuan Pertama menjadi titik balik kesadaran kaum perempuan untuk memikirkan diri mereka dan mengembangkan potensinya guna memajukan bangsa Indonesia.

Lantas, bagaimanakah keterkaitan antara kongres perempuan pertama dengan kongres sumpah pemuda?

Keterkaitan antara Kongres Perempuan Pertama dengan Kongres Sumpah Pemuda

Keterkaitan antara Kongres Perempuan Pertama dengan Kongres Sumpah Pemuda cukup kuat, terutama ihwal semangat kebangsaan dan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.

Dikutip dari buku Sumpah Pemuda Latar Sejarah dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional (2008), yang ditulis Momon Abdul Rahman, dkk., sebelum diadakan Kongres Pemuda Pertama pada 1926, banyak perempuan terpelajar yang aktif dalam pergerakan. Mereka juga memutuskan bergabung dengan organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya.

Mereka terinspirasi dari pidato Bahder Djohan pada Kongres Pemuda I 1926 untuk memperkuat peran perempuan di tengah kehidupan masyarakat yang masih patriarki. Pidato tersebut mendorong kaum wanita untuk mulai memperjuangkan emansipasi, terutama dalam bidang politik dan pendidikan.

Ilham tersebut nyatanya tidak hanya berkutat di kepala. Dua tahun setelahnya, dalam gelaran Kongres Sumpah Pemuda pada 27-28 Oktober 1928, banyak perwakilan perempuan yang hadir dan mengusulkan gagasannya.

Poernamawoelan, misalnya, naik ke mimbar sebagai penyampai pidato pertama Kongres Pemuda 2. Pada kesempatan itu ia menggugah semangat para pemuda-pemudi dan menyuarakan pentingnya upaya mencerdaskan bangsa dengan suasana tertib dan disiplin pendidikan.

Selain Poernamawoelan, ada Siti Soendari, Emma Poeradiredja, Suwarni Pringgodigdo, Johanna Masdani Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel, yang juga ambil bagian dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu.

Bahkan, Bambang Sularto dalam buku Wage Rudolf Supratman (1977) mencatat, jumlah perempuan yang hadir di Kongres Sumpah Pemuda lebih banyak dibanding Kongres Pemuda 1.

Besarnya kontribusi perempuan dalam Kongres Pemuda 2 membuat semangat persatuan para wanita semakin membara. Dengan keyakinan itu, bersama beberapa rekan seperjuangannya, Nyi Hajar Dewantara—istri dari Ki Hajar Dewantara—mengusulkan penyelenggaraan Kongres Perempuan Pertama.

Pada 22 Desember 1928, rencana itu terwujud. Kongres Perempuan Indonesia resmi dihelat di Yogyakarta selama empat hari berturut-turut. Penyelenggaraan kongres tersebut tidak lepas dari keterkaitannya dengan Kongres Sumpah Pemuda.

Di Kongres Perempuan Pertama, tokoh-tokoh pergerakan wanita seperti S.K Trimurti, Maria Ulfa, Poernamawoelan, Siti Soendari, Ny. Prawirodirdjo, secara aktif memberikan pemahaman kepada perempuan lain, terutama dalam urusan politik dan pendidikan.

Kongres Perempuan Pertama itu juga mengilhami penyelenggaraan kerapatan besar kaum wanita yang berikutnya.

Kongres Perempuan Indonesia ke-2 dilaksanakan di Solo pada 25-29 Maret 1932, dipimpin oleh Ny. Mustadjab. Kemudian, pada 1938, Kongres Perempuan Indonesia 3 diadakan, yang kemudian menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Siapa saja yang terlibat dalam Kongres Perempuan 1?

Kongres Perempuan Pertama dihadiri oleh 15 pembicara yang berasal dari sepuluh organisasi yang berbeda. Hampir sebagian merupakan organisasi yang sudah mapan dan terkenal pada masa itu. Peserta kongres merupakan utusan dari 23 organisasi yang berlandaskan agama Islam, Katolik, dan non-agama.

Sekitar 1000 orang yang menghadiri Kongres Perempuan Pertama berasal dari golongan bangsawan, berumur muda (berusia sekitar dua puluhan), dan mengenyam pendidikan formal modern di Barat, baik Belanda maupun Prancis.

Penggagas Kongres Perempuan Indonesia adalah R.A. Soekonto, Nyi Hajar Dewantara (istri Ki Hajar Dewantara), dan Sujatien Kartowiyono. Selain tiga tokoh perempuan yang menjadi pemrakarsa, terdapat 11 tokoh perempuan lain yang terlibat dalam Kongres Perempuan Pertama. Berikut ini sejumlah tokoh yang terlibat dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama:

  1. R. A. Sukonto
  2. Siti Munjiah
  3. Siti Sukaptinah Soenaryo Mangoenpoespito
  4. Sunaryati Sukemi
  5. Raden Ayu Catharina Sukirin Hardjodiningrat
  6. Sujatin Kartowijono
  7. Nyi Hajar Dewantara
  8. Nyi Driyowongso
  9. Alfiah Muridan Noto
  10. Badiah Muryati Goelarso
  11. Hajiah Mawardi
  12. Ismudiyati Abdul Rachman Saleh
  13. R. A Suryo Mursandi
  14. Raden Ayu Bintang Abdulkadir

Hasil Kongres Perempuan Indonesia 1

Pada masa pendudukan Belanda, kedudukan perempuan di tengah masyarakat masih belum setara. Susan Blackburn dalam buku Kongres Perempuan Pertama (2007) mencatat, sistem patriarki tradisional, yang dianut oleh sebagian besar masyarakat pada masa itu, membuat ruang gerak kaum perempuan terbatas.

Hal itulah yang membuat para perempuan bertekad memperjuangkan emansipasi. Salah satunya melalui kontribusi di Kongres Pemuda 1 dan 2, serta Kongres Perempuan Indonesia.

Kongres Perempuan Pertama, yang dilaksanakan di Pendopo Dalem Jayadipuran (milik Tumenggung Joyodipoero), Yogyakarta, dihadiri lebih dari 1000 orang dari berbagai organisasi perempuan, termasuk beberapa perkumpulan pemuda.

Kongres Perempuan Indonesia berhasil terselenggara selama empat hari meskipun dengan pengawasan ketat pemerintah Hindia-Belanda. Bahkan, berdasarkan catatan Suratmin, dkk. dalam buku Biografi Tokoh Kongres Perempuan Indonesia Pertama (1991), Ketua Kongres Perempuan Pertama Ny. Sukonto berkali-kali dipanggil oleh intel pemerintah Belanda untuk diinterogasi terkait penyelenggaraan kongres tersebut.

Berikut ini poin-poin hasil Kongres Perempuan Indonesia 1:

  1. Mendirikan badan pemufakatan dengan nama "Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI)".
  2. Didirikan studie fonds (dana studi) untuk anak-anak perempuan yang tidak mampu membayar biaya sekolah dan berusaha memajukan kepanduan putri.
  3. Mencegah perkawinan di bawah umur.

Kongres Perempuan Indonesia 1 juga melahirkan tiga mosi yang kemudian dikirim kepada pemerintah Hindia-Belanda. Isinya sebagai berikut.

  1. Penambahan sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan.
  2. Supaya pada pernikahan pemberian keterangan tentang taklik (janji dan syarat-syarat perceraian) diwajibkan.
  3. Diadakan peraturan sokongan untuk janda-janda dan anak-anak piatu pegawai negeri.

Baca juga artikel terkait SUMPAH PEMUDA atau tulisan lainnya dari Umi Zuhriyah

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Fadli Nasrudin